NovelToon NovelToon
Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Saat Aku Bernafas Aku Berharap

Status: tamat
Genre:Tamat / Mafia / Konflik etika / Mengubah Takdir / Romansa
Popularitas:10.5k
Nilai: 5
Nama Author: Rurri

Mengejar mimpi, mencari kebahagiaan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, Raka harus menghadapi keadaan pahit atas dosa-dosa sosialnya, juga konflik kehidupan yang tak berkesudahan.

Meski ada luka dalam duka, ia harus tetap bersabar. Demi bertemu kemanfaatan juga kebahagiaannya yang jauh lebih besar dan panjang.

Raka rela mengulang kembali mimpi-mimpinya. Walaupun jalan yang akan dilaluinya semakin terjal. Mungkinkah semesta akan mengamini harapannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rurri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Batas Kesanggupan

"Raka, kamu kenapa?" tanyanya Tegar.

Disusul Aryanto. "Kekenyangan kali, lama nggak pernah makan enak. Hahaha."

Teman yang lain ikut tertawa.

Aku menyeringai di batas ke sanggupan.

Supri berucap. "Baru kali ini, aku merasakan rasanya roti yang harganya paling seribuan, kok, bisa senikmat ini, yah. Padahal waktu di rumah, banyak makanan dan jajanan yang tersedia. Tapi, jangankan untuk di makan. Melihatnya saja, aku sudah bosan."

Pandangan beralih pada Supri.

"Betul itu," celetuk Tegar bersamaan dengan beberapa teman yang lainnya. Mengiyakan.

Aryanto menimpali. "Ahh ... . Itu cuma perasaannya kalian saja. Jangankan roti, sandal jepit yang sudah dipotong-potong dan diberi toping. Kalau kalian yang makan, kalian juga akan mengatakan rasanya enak. Apalagi kalau makannya di depan kamera. MANTAPPP ... ," serunya. Meniru gaya iklan.

"Kalau itu, kebiasaannya Supri." Tegar menuding Supri.

"Daripada kamu, siang - malam yang di makan hanya harapan." Supri membalas Aryanto.

Kelakar mereka bersusulan membumbung di langit-langit atap tahanan pengadilan.

Aku menyembunyikan luka lara. Ingin teriak tak sanggup. Biarlah pahitnya melekat bersama perjalanan yang telahku pilih dan rasa ini sudah pernah singgah. Disesali hanya akan menambah sakit.

"Kamu kok, jadi pucat nggak bersemangat gitu sih, Raka. Kenapa? Masih kangen sama ibumu," celotehnya Tegar.

"Sedang nggak enak badan," sahutku.

"Dari tadi kayaknya nggak begini deh," ucapnya Tegar.

"Nggak apa-apa, paling masuk angin dikit, bentar lagi juga hilang," sahut Aryanto.

Aku mengiyakan.

Sepintas Tegar menyentuhku dan berkata. "Betul, kamu nggak apa-apa, Raka."

Aryanto menyambar. "Nggak usah di khawatirkan. Jangankan hanya masuk angin biasa, berhari-hari jadi bulan-bulanan saja, ia sanggup melewatinya. Nggak kayak kamu, Tegar. Belum di sentuh, sudah teriak minta ampun. Hahaha."

Tegar geram. "Kalian beraninya keroyokan."

"Apa mau dicoba? satu lawan satu." Aryanto menatap Tegar.

Tegar mundur.

Aku berucap, mengalihkan perhatian. "Katanya, hari ini, indra kuncoro akan di gelandang ke sini. Apakah kalian sudah siap bertemu dengannya."

"Bagaimana nih," ucap Supri sedikit panik.

"Ini yang perlu kita pikirkan bersama," ucapku pada mereka.

"Pasti, ia bakal mengancam kita. Karena kitalah, indra kuncoro di tangkap kembali. Apa rencana kamu berikutnya?" tanyanya Supri.

"Supaya kalian aman. Pertama, kalian jangan berbicara apapun pada indra kuncoro dan pada para CS-nya, saat berhadap-hadapan nanti." Berpikir sejenak. "Prihal kenapa, ia bisa di tangkap kembali, kalian berpura-pura saja nggak tahu apa-apa. Meskipun, sebenarnya indra kuncoro sudah mengetahuinya, di depannya mereka, kalian tinggal lemparkan saja semua tuduhannya padaku. Paham!" seruku.

Mereka mengangguk.

"Kedua, kalau kita sudah berada di dalam ruang persidangan. Buang jauh-jauh sifat pengecut kalian. Bicaralah seadanya pada majelis hakim, seperti waktu awal kita menjadi saksi. Bahwa kalian hanyalah anak buahnya indra kuncoro, hanya menjadi suruhannya, dan nggak tahu apa-apa terkait bisnis gelapnya. Adapun, soal uang palsu itu diedarkan ke mana. Jawab saja dengan tegas, yang tahu hanya indra kuncoro. Ingat, jangan sampai kalian tergiur iming-iming dan janji manisnya mereka, dan jangan pernah takut pada ancamannya. Ini negara hukum, jangan lupa itu." Aku menatap mereka satu per satu. "Kalian masih ingatkan? apa yang sudah dikatakan oleh marto pada kalian. Kesaksian kita jangan sampai berubah, kalau kita nggak ingin seumur hidup mendekam di sel tahanan."

Supri memotong. "Kalau kita kalah di persidangan dengan indra kuncoro, bagaimana? Atau sebaliknya, kalau kita menang bagaimana? Apakah kita akan langsung di bebaskan," tanyanya Supri.

Aku meluruskan. "Di persidangan ini, nggak ada istilah menang dan kalah. Adanya, turut melakukan dan membantu melakukan. Atau pendek kata, actor utama dan yang membantu. Supaya kita bisa bebas dengan cepat, kita harus ikuti, apa yang sudah pernah marto jelaskan pada kita," bujukku.

"Siap perintah ... " tegas Aryanto.

Aku meneruskan. "Dan yang ketiga. Kita bukanlah, bonekanya mereka. Jangan pernah mengantungkan harapan dan keinginan kalian pada mereka. Sekalipun mereka beruang ataupun mempunyai kuasa di jalanan. Susah - senangnya kita dan keluarga kita, bukanlah di tangan mereka yang beruang atau berkuasa. Berhentilah menjadi penjilat yang menjijikkan," ungkapku.

"Nah, ini contohnya ... " Aryanto menuding ke Supri.

"Sama-sama penjilat, nggak usah menjilat," balasnya Supri pada Aryanto.

Aku melerai. "Sudah ... . Kita laki-laki, jadi apa kita nanti, harus tetap berdiri di kaki sendiri. Yang pasti, kita harus menyudahi semua keburukan ini, agar kelak anak keturunan kita, nggak menjadi korban atas apa yang sudah kita berbuat." Membayangkan dosa. "Percetakan gelap, gudang obat-obatan terlarang, dan juga trafficking, penampungan gadis-gadis remaja yang seringkali kalian salurkan untuk dijadikan wanita penghibur. Semuanya harus dihentikan." Menghela nafas pelan. "Hari ini adalah waktu yang tepat untuk kita memperbaiki semuanya."

Aryanto menyeletuk. "Ini cita-citaku dari dulu, Raka. Hanya saja, aku nggak tahu, akan memulainya dari mana?"

Tegar menggaruk kepala.

Yang lain tersenyum kecut.

Supri menyenggol. "Iman masih setipis tisu, sudah berani teriak. Hati-hati, nanti terkena air ambyar."

Aryanto meringis.

Aku membela. "Nggak apa-apa, yang penting punya niat baik. Semoga hari ini, kita bisa merealisasikannya."

Semua mengamini.

"Setelah kita keluar dari sini, mulailah dengan kehidupan baru. Jalani hidup dengan sewajarnya saja," pungkasku pada mereka.

Selang beberapa menit, bus tahanan dari sektor satu yang membawa indra kuncoro dan para CS-nya tiba di halaman gedung pengadilan. Ramai para wartawan langsung menyambut mereka. Mengikuti setiap langkahnya seiring dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada mereka. Bagaikan padi yang berisi, mereka menunduk, menolak terkenal.

Indra kuncoro dan CS-nya di giring masuk ke dalam sel tahanan di samping sel tahananku. Mata-mata tajam itu, mengintai kami tanpa bersuara.

Aku mengumpulkan tenaga, menatapnya. "Selamat datang kembali, Bapak Indra Kuncoro."

Indra Kuncoro dan yang lain bergeming, hanya membalas dengan tatapan penuh dendam.

Aku kembali berucap. "Bagaimana rasanya sudah menjadi orang yang terkenal?"

Matanya merah, menatapku.

"Apakah, Bapak sudah merasa bahagia? mendapatkan piagam gelang besi seperti apa yang sudah saya pakai ini." Aku mengangkat kedua tangan ke atas dadaku.

"Jangan main-main kamu dengan saya," ucapnya Indra Kuncoro emosi.

"Saya nggak berani main-main dengan Indra Kuncoro. Mana ada, orang yang berani main-main dengan Bos besar." Mengejek. "Kali ini, saya akan bersungguh-sungguh." Aku menyeringai.

"Apakah kamu sudah bosan hidup, yah." Nadanya meluapkan amarah.

"Justru saya sedang senang-senangnya, menikmati hidup ini," ocehanku pada Indra Kuncoro.

"Hai, anak muda. Bisa diam nggak?" Cs-nya Indra Kuncoro bersuara.

"Apakah salah, kalau saya hanya sekedar bertanya, dan menyambut kedatangan kalian di sini," sahutku menghina.

"Hebat kamu, anak muda!" serunya. "Sudah berani melangkah sejauh ini. Apa yang sedang kamu cari?" tanyanya Gito, salah satu Cs-nya Indra Kuncoro.

"Saya nggak mencari apa-apa," jawabku datar.

"Kalau kamu butuh uang, sebut saja mau berapa?" Tawarannya Gito.

"Saya nggak yakin. Seandainya saya sebut angkanya, kalian nggak akan mampu," sahutku.

"Hahaha." Gito tertawa. "Seratus, lima ratus, atau satu M," ucapnya enteng padaku.

Aku menggelengkan kepala. "Bagi saya, jumlah segitu terlalu kecil."

"Berapa?" tanyanya Gito.

Mengangkat jari tanganku, memberi kode pada Gito. "Dua puluh M." Menggerakkan bibir tanpa bersuara.

1
sean hayati
ceritanyq bagus,jadi ingat masa dulu nunggu kiriman lagu dari seseorang
sean hayati
Setiap ketikan kata author sangat bagus,2 jempol untuk author ya
Rurri: Selamat menunaikan ibadah membaca kak.. 😊☕
total 1 replies
sean hayati
Saya mampir thour,salam kenal dari saya
sean hayati: terima kasih sudah mau membalas salam saya,saling dukung kita ya
Rurri: salam knl juga kak 😊
total 2 replies
tongky's team
Luar biasa
tongky's team
Lumayan
tongky's team
mantap saya suka kata katanya tentang senja dan sepasang merpati
tongky's team
lanjut seru /Good/
Santi Chyntia
Ceritanya mengalir ringan dan pesan moral nya jg dapet, keren kak/Good//Heart/
Choi Jaeyi
cieeee juga nih wkwkk
Amelia
👍👍👍👍👍👍❤️❤️
Rurri
makasih kak, atas pujiannya 😊

karya² kk juga sama bagus²🌷🌷🌷
Amelia
aku suka sekali cerita nya... seperti air mengalir dan tanpa karekter yg di paksa kan👍👍👍
Jecko
Aku tersentuh/Sob/
Amelia
😚😚😚😘😘😘😘
Amelia
mantap...👍👍👍👍
Amelia
🤭🤭🤭🤭🤭🤭🤭
Amelia
wkwkwk...
😅😅
Amelia
hahahaha...🤭🤭
Choi Jaeyi
selalu suka bgt sama kata tiap katanya author😭
Amelia
bagus Thor....👍👍👍👍❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!