Maya, seorang wanita muda yang cantik dan sukses dalam karier, hidup dalam hubungan yang penuh dengan kecemburuan dan rasa curiga terhadap kekasihnya, Aldo. Sifat posesif Maya menyembunyikan rahasia gelap yang siap mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aili, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Bertambah Parah
Meskipun sudah berusaha, perasaan cemburu Maya tidak kunjung reda. Malahan, rasa cemburunya semakin parah. Hal-hal kecil yang sebelumnya bisa diabaikan, kini menjadi pemicu pertengkaran besar.
Suatu malam, Aldo pulang terlambat dari kantor karena rapat mendadak. Saat dia masuk ke apartemen, dia langsung disambut oleh tatapan tajam Maya.
“Kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang sekarang?” tanya Maya dengan nada dingin.
Aldo melepaskan sepatunya dan mencoba menjelaskan. “Maaf, ada rapat mendadak di kantor. Aku sudah kirim pesan tadi, tapi mungkin kamu nggak sempat baca.”
Maya menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. “Iya, tapi kenapa nggak bisa kasih tahu sebelumnya? Aku nungguin kamu.”
Aldo mengerti bahwa Maya merasa tidak nyaman, tapi dia merasa lelah harus terus-menerus meyakinkan Maya. “Aku nggak bisa selalu kasih tahu sebelumnya, Maya. Kadang-kadang ada hal yang nggak terduga di kantor.”
Maya mendekati Aldo dengan wajah penuh kecemasan. “Aku cuma nggak mau kehilangan kamu. Aku takut ada orang lain yang lebih baik dariku.”
Aldo memegang tangan Maya dengan lembut. “Aku sudah bilang berkali-kali, kamu adalah satu-satunya buat aku. Kamu harus percaya itu.”
Namun, kata-kata Aldo sepertinya tidak mampu meredakan kecemasan Maya. Malahan, malam itu berakhir dengan pertengkaran besar. Maya semakin yakin bahwa ada sesuatu yang Aldo sembunyikan darinya, sementara Aldo merasa frustasi karena usahanya untuk meyakinkan Maya selalu berakhir sia-sia.
Di tempat kerjanya, Aldo juga merasakan dampak dari situasi ini. Setiap kali telepon atau pesan masuk dari Maya, dia merasa tertekan dan sulit untuk fokus. Bosnya mulai memperhatikan penurunan performanya dan memberi peringatan bahwa jika hal ini berlanjut, posisinya di perusahaan bisa terancam.
Sementara itu, di kantor Maya, situasinya juga tidak lebih baik. Pikiran tentang Aldo terus-menerus mengganggu konsentrasinya. Dia sering kali memeriksa ponselnya, memastikan bahwa Aldo tidak sedang bersama wanita lain. Teman-teman kerjanya mulai merasa khawatir dengan perubahan sikap Maya yang semakin tidak fokus dan sering terlihat gelisah.
Suatu hari, Maya mendapat tugas penting untuk mempresentasikan proyek besar di depan klien. Namun, karena pikirannya terlalu terfokus pada Aldo, dia membuat banyak kesalahan dalam presentasinya. Bosnya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya dan memberikan kritik keras setelah rapat.
“Apa yang terjadi denganmu, Maya? Kamu biasanya sangat profesional dan bisa diandalkan. Ini bukan kamu yang biasa aku kenal,” kata bosnya dengan nada tegas.
Maya hanya bisa menunduk, merasa malu dan bersalah. “Maaf, Pak. Saya akan berusaha lebih baik.”
Namun, dalam hati, Maya tahu bahwa masalah ini lebih besar dari sekadar usaha. Rasa cemburu yang terus menggerogoti pikirannya telah merusak banyak aspek dalam hidupnya. Dia merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak bisa dia kendalikan.
Malam itu, Maya dan Aldo kembali berdebat hebat. Aldo yang merasa lelah dengan terus-menerus berusaha meyakinkan Maya, akhirnya kehilangan kesabaran.
“Maya, aku nggak tahu harus bagaimana lagi! Aku sudah lakukan segala cara untuk bikin kamu percaya, tapi nggak ada yang cukup!” teriak Aldo, suaranya penuh frustasi.
Maya terisak. “Aku nggak bisa berhenti merasa takut. Aku butuh kamu di sini, di sampingku, setiap saat.”
Aldo menghela napas, merasa putus asa. “Kita nggak bisa terus begini, Maya. Ini nggak sehat untuk kita berdua.”
Aldo keluar rumah lagi malam itu, mencari udara segar untuk menenangkan pikirannya. Dia duduk di taman dekat apartemen mereka, mencoba mencari cara untuk mengatasi masalah ini.
Sementara itu, Maya menangis tersedu-sedu di kamar mereka. Dia tahu bahwa rasa cemburunya telah merusak banyak hal, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengendalikannya.
Hubungan mereka kini berada di ujung tanduk. Aldo dan Maya harus segera menemukan solusi, atau mereka akan kehilangan satu sama lain selamanya.
Keesokan paginya, Maya terbangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Dia melihat sekeliling, berharap Aldo sudah kembali, tapi apartemen tetap sepi. Kekhawatiran mulai merayapi pikirannya lagi.
“Aldo, kamu di mana?” bisik Maya pada dirinya sendiri.
Di tempat lain, Aldo duduk di sebuah kedai kopi, memandangi cangkir kopinya yang sudah dingin. Dia merasa buntu, tidak tahu harus bagaimana untuk memperbaiki hubungan mereka. Dia memutuskan untuk menelepon sahabatnya, Bayu, untuk meminta saran.
“Bayu, gue butuh bantuan lo. Gue nggak tahu harus gimana lagi sama Maya,” kata Aldo, suaranya penuh tekanan.
Bayu mendengarkan dengan serius. “Gue ngerti, bro. Kadang lo butuh jarak sebentar buat bisa berpikir jernih. Lo udah coba ajak dia ke konselor hubungan?”
Aldo menghela napas. “Udah, tapi nggak terlalu membantu. Gue bener-bener nggak tahu harus ngapain lagi.”
Bayu berpikir sejenak. “Mungkin lo butuh waktu buat diri lo sendiri. Kasih dia ruang, tapi tetep kasih tahu dia bahwa lo masih ada buat dia. Kadang-kadang, kita butuh waktu sendiri buat bisa ngelihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.”
Aldo terdiam, merenungkan saran Bayu. “Makasih, Bay. Gue bakal coba.”
Sementara itu, Maya juga mencoba mencari dukungan dari sahabatnya, Dinda. Mereka bertemu di sebuah taman kota, tempat yang sering mereka kunjungi saat ingin berbicara dari hati ke hati.
“Aku takut kehilangan Aldo, Din. Tapi aku nggak tahu gimana caranya berhenti merasa cemburu,” kata Maya sambil menangis.
Dinda memeluk Maya dengan lembut. “Maya, kamu harus bisa percaya sama Aldo. Kalau kamu terus-terusan cemburu tanpa alasan, kamu justru akan kehilangan dia. Mungkin kamu butuh waktu buat diri sendiri juga, untuk bisa lebih tenang.”
Maya terdiam, merenungkan kata-kata sahabatnya. “Mungkin kamu benar. Aku harus bisa mengendalikan rasa cemburu ini.”
Malam itu, Aldo kembali ke apartemen. Dia menemukan Maya duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Mereka saling berpandangan, keduanya tampak lelah dan terluka.
“Kita perlu bicara, Maya,” kata Aldo dengan suara tenang.
Maya mengangguk, menyiapkan diri untuk mendengarkan.
“Aku sayang kamu, dan aku ingin kita bisa melewati ini. Tapi kita nggak bisa terus-terusan seperti ini. Kita butuh ruang untuk berpikir dan mencari cara agar bisa lebih kuat sebagai pasangan,” kata Aldo dengan sungguh-sungguh.
Maya menatap Aldo, air mata mulai menggenang di matanya. “Aku juga sayang kamu, Aldo. Aku nggak mau kehilangan kamu. Tapi aku nggak tahu gimana caranya berhenti merasa cemburu.”
Aldo mendekat dan memegang tangan Maya. “Kita harus belajar untuk percaya satu sama lain lagi. Mungkin kita butuh waktu sendiri untuk bisa mengatasi ini. Tapi aku janji, kita akan tetap saling mendukung.”
Maya mengangguk, meski hatinya berat. “Oke, Aldo. Aku akan coba. Aku akan berusaha untuk lebih percaya dan lebih tenang.”
Dengan perasaan campur aduk, mereka sepakat untuk memberi diri masing-masing ruang dan waktu untuk berpikir. Mereka tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah, tapi ini adalah langkah pertama yang harus mereka ambil untuk menyelamatkan hubungan mereka.
Hari-hari berikutnya, Maya dan Aldo mulai menjalani kehidupan mereka dengan lebih mandiri, tetapi tetap berkomunikasi secara teratur. Mereka menggunakan waktu ini untuk merenung, mengatasi ketakutan mereka, dan mencari cara untuk memperbaiki diri.
siapa sebenarnya satria ??
siapa pendukung satria??
klo konseling dg psikolog g mempan, coba dekat diri dg Tuhan. setiap kekhawatiran muncul, mendekatlah dg sang pencipta. semoga dg begitu pikiran kalian bisa lebih tenang. terutama tuk Maya. berawal dr Maya & kini menular ke Aldo