Dalam diamnya luka, Alina memilih pergi.
Saat menikah satu tahun lalu, ia dicintai atau ia pikir begitu. Namun cinta Rama berubah dingin saat sebuah dua garis merah muncul di test pack-nya. Alih-alih bahagia, pria yang dulu mengucap janji setia malah memintanya menggugurkan bayi itu.
"Gugurkan! Aku belum siap jadi Ayah." Tatapan Rama dipenuhi kebencian saat melihat dua garis merah di test pack.
Hancur, Alina pun pergi membawa benih yang dibenci suaminya. Tanpa jejak, tanpa pamit. Ia melahirkan seorang anak lelaki di kota asing, membesarkannya dengan air mata dan harapan agar suatu hari anak itu tahu jika ia lahir dari cinta, bukan dari kebencian.
Namun takdir tak pernah benar-benar membiarkan masa lalu terkubur. Lima tahun kemudian, mereka kembali dipertemukan.
Saat mata Rama bertemu dengan mata kecil yang begitu mirip dengan nya, akhirnya Rama meyakini jika anak itu adalah anaknya. Rahasia masa lalu pun mulai terungkap...
Tapi, akankah Alina mampu memaafkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 28.
Di Jakarta, uang mampu membelokkan keadilan. Dengan kekuatan finansial mereka, Dita memperoleh kebebasan bersyarat. Prabu dengan mudah, mengatur pembebasan istrinya yang telah resmi ditahan.
Berbeda dengan Erika. Ia tidak menginginkan keistimewaan, apalagi campur tangan orang tuanya. Ia sungguh ingin menebus kesalahan dan menjalani proses hukum sebagai bentuk pertobatan. Namun sayang, orang tuanya tak berbeda jauh dari keluarga Dita. Keras kepala, ambisius dan menolak mendengar suara anak sendiri. Maka tanpa persetujuan Erika, mereka mengeluarkan Erika dari tahanan secara diam-diam.
Kabar tersebut mengejutkan Devan dan Alina, kekuasaan keluarga besar Davin di Jogja rupanya tak banyak berarti di Jakarta. Nyonya Ayunda gelisah, amarahnya nyaris meluap saat mendengar Dita telah menghirup udara bebas.
“Huh! Lalu sekarang bagaimana, Pah?” geramnya dengan suara tinggi.
Tuan Yudistira tak segera menjawab. Tatapannya tajam, sorot matanya menyipit seperti menimbang sesuatu yang berat. Lalu dengan suara dingin dan penuh tekad, ia berkata. “Jika mereka bisa lolos dari hukum, maka kita akan hancurkan keangkuhan mereka. Harta yang mereka rampas darimu, saatnya kita rebut kembali. Davin, apakah kamu siap menghancurkan ayah kandungmu sendiri?”
Davin mengepalkan tangan, sorot matanya penuh muak dan benci. “Jangan sebut dia ayahku! Kita hancurkan semuanya, sampai ke akar-akarnya.”
Nyonya Ayunda menoleh ke Davin, sedikit ragu. “Lalu bagaimana dengan Rama? Jika suatu hari dia kembali dan tahu bahwa kita menyerang kejayaan orang tuanya...?”
Davin menarik nafas dalam-dalam, suaranya mantap. “Jika dia telah berubah, dia akan mengerti dan bisa bangkit kembali dari nol. Aku bahkan siap membantunya membangun hidup dari awal. Tapi jika dia memilih memihak orang tuanya dan menentang kita, maka dia pun akan kulawan tanpa ampun.”
Hari itu juga, mereka mulai menyusun langkah. Rencana demi rencana dirancang untuk menggulingkan kekuasaan dan reputasi Prabu serta Dita, sekali dan untuk selamanya.
Namun di tengah rapat keluarga yang penuh strategi, seorang asisten rumah tangga datang sambil membawa sebuah paket besar.
“Tuan, ini ada paket. Tapi tidak ada nama pengirim.”
Deg.
Jantung Alina berdebar, kecurigaannya langsung tertuju pada satu nama... Kirana. Ia menatap Davin dengan cemas, lelaki itu juga memandang paket tersebut dengan sorot waspada. Bungkusnya penuh gambar dinosaurus, hewan favorit Daffa.
Davin membuka dengan hati-hati, jemarinya menelusuri pita kado lalu merobek kertas pembungkus dengan perlahan seolah-olah di dalamnya bisa saja tersimpan ancaman tersembunyi.
Namun yang mereka temukan justru mengguncang hati.
Sebuah boneka dinosaurus besar tergeletak di dalam kotak, dan di atasnya ada selembar kertas bertuliskan tangan.
Untuk anakku tersayang, Daffa.
Maafkan Papa belum bisa datang. Doakan Papa segera bisa bertemu kamu, ya... Nak. Alhamdulillah, Papa dalam keadaan baik-baik saja.
Alina dan Davin saling bertatapan. Dalam diam, mereka tahu satu hal yang pasti jika Rama telah muncul dan masih hidup. Tak peduli bagaimana pun caranya, mereka harus menemukan pria itu demi Daffa yang tak pernah berhenti menanyakan di mana ayah kandungnya berada.
.
.
.
Klinik siang itu sunyi, hanya sesekali terdengar langkah kaki perawat dan suara pelan dari ruang konsultasi. Di ruang perawatan, Gendis tengah sibuk memeriksa tekanan darah seorang pasien lanjut usia. Tidak banyak pasien seperti di rumah sakit besar, namun kesibukan tetap menyita perhatiannya.
Hingga sebuah suara memanggil pelan, memecah konsentrasinya.
“Gendis, ada yang mencarimu di luar,” ujar salah satu rekan sejawatnya.
Gendis mengira itu Galang, suaminya yang beberapa hari ini tak memberi kabar. Namun alangkah terkejutnya ia saat melihat sosok yang berdiri di depan pintu klinik.
“Mas Rama?”
“Ada sesuatu yang perlu saya bicarakan,” ujar Rama pelan. “Tentang... suamimu.”
Gendis langsung menegakkan tubuhnya, raut wajahnya dipenuhi kecemasan. “Mas Rama sudah dapat informasi itu?”
Rama mengangguk. “Bisa kita bicara sebentar? Kalau kamu tidak sedang sibuk.”
Gendis sempat ragu, namun kemudian menjawab. “Bisa, Mas. Tapi... agar tak muncul fitnah, kita bicara di taman samping saja. Di sana lebih terbuka, banyak pasien dan keluarga mereka.”
“Baik,” jawab Rama singkat.
Mereka berjalan beriringan tanpa bersentuhan, lalu duduk di kursi taman yang berjajar di bawah pohon ketapang. Jarak di antara mereka dijaga, namun ketegangan terasa menggantung di udara.
“Sebenarnya, suamimu... dia menerima beberapa foto. Foto kamu sedang bersama seorang pria. Wajahmu terlihat jelas, tapi wajah pria itu... samar.”
“Saya tahu, Mas Galang bilang dia dapat bukti itu dari Mbak Ratna dan Ibu mertua saya.”
Rama mengangguk pelan. “Dan foto itu... editan, fitnah yang disusun rapi. Tapi sayangnya, suamimu percaya begitu saja.”
'Sama sepertiku, aku percaya mentah-mentah pada hasutan Erika tanpa menyelidiki lebih dalam!' Batin Rama.
Mata Gendis membulat, tubuhnya kaku. “Astaghfirullah... jadi benar Ibu dan Mbak Ratna yang menuduh saya macam-macam?”
Rama hendak membuka mulut, ingin mengutarakan sesuatu tentang Galang dan Ratna. Namun... belum sempat kata-kata itu keluar, suara lantang menerjang dari arah belakang.
“Aku nggak nyangka! Ternyata kamu benar-benar berduaan dengan pria lain!”
Gendis tersentak dan Rama berdiri.
Galang berdiri di antara semak taman, wajahnya memerah karena amarah. Suaranya menggema, matanya menatap Gendis tajam seperti bara api. “Aku datang untuk memperbaiki semuanya, tapi kamu malah duduk santai dengan laki-laki ini?”
“Mas, tolong dengarkan dulu... ini tidak seperti yang kamu bayangkan,” Gendis berdiri tergesa, wajahnya panik. “Aku mau bicara soal fitnah itu. Tentang foto-foto yang kamu terima, semua itu bohong! Mbak Ratna yang__”
“Aku tahu! Aku tahu sekarang, kalau Ratna memfitnah mu. Tapi saat ini... kamu duduk di sini dengan pria lain!“
“Mas, dia bukan siapa-siapa. Ini Mas Rama, pasien klinik ini. Dia datang hanya untuk__”
“Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih, Mbak Gendis telah merawat saya dengan baik. Jangan salah sangka dan menuduh macam-macam. Dia orang baik dan perempuan yang jujur.”
Galang tidak menghiraukan Rama. Dengan mata menyala, ia meraih tangan Gendis dan menariknya menjauh dari kursi taman. Rama menahan diri, ia masih belum jelas hubungan antara Galang dan Ratna.
Namun Rama telah memerintahkan asistennya untuk menyelidiki lebih dalam, mencurigai bahwa Galang dan Ratna menyembunyikan sesuatu yang lebih gelap.
Di sisi lain ketika amarahnya surut dan hanya penyesalan yang tersisa, Galang bersimpuh di hadapan Gendis... dia menggenggam tangan wanita itu erat-erat.
“Maafkan aku,” bisiknya, matanya basah. “Maafkan Mas... aku datang untuk merujuk mu. Mas ingin kita kembali seperti dulu, aku tak akan mudah terhasut lagi... aku bersumpah.”
Gendis memalingkan wajah, hatinya masih dipenuhi luka. Namun ia juga melihat keretakan di mata Galang dan terungkapnya fitnah meski datang terlambat.
“Aku takut, Mas... Aku takut Ibu dan Mbak Ratna akan menyakiti aku lagi. Aku ingin tetap tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara ini, untuk menjaga kehamilanku.”
Galang mengangguk, tidak membantah. “Baiklah... kalau begitu. Biar Mas juga tinggal di sana bersamamu, sampai waktunya Mas harus kembali ke barak.”
Untuk pertama kalinya setelah sekian waktu, Gendis tersenyum kecil. Bukan karena segalanya telah sempurna, tapi karena luka itu akhirnya mendapat ruang untuk disembuhkan.
*****
Malam itu, hujan turun pelan di atap rumah orang tua Gendis. Gendis duduk di ruang tengah, mengenakan sweater tipis dan menggenggam cangkir teh hangat. Galang berada di sampingnya, diam tapi sesekali melirik ke arah istrinya. Mereka sudah kembali satu atap, tapi keheningan yang membungkus mereka masih sarat dengan keretakan yang belum pulih.
Tiba-tiba ponsel Gendis bergetar, sebuah pesan dari nomor tak dikenal muncul.
[ Kalau kau masih percaya pada Galang, lihat sendiri siapa yang dia peluk di atas ranjang beberapa hari ini saat kau tak ada di rumah.]
Tangan Gendis gemetar saat membuka foto yang dilampirkan dalam pesan tersebut, matanya membelalak.
Di layar tampak jelas sosok Galang sedang memeluk seorang wanita yang mengenakan gaun tidur merah muda di atas ranjang, wanita itu tidak lain adalah Ratna.
Jadi gugatan cerai tetap berjalan sesuai keinginan Galang. Tapi sekarang bukan kelegaan yang Galang dapatkan, hanya penyesalan yang dia raih.