Nb : konten sensitif untuk usia 18 tahun ke atas !
Parade Hitam, wabah Menari.
Kisah kelam dalam hidup dan musik.
Tentang hati seorang anak manusia,
mencintai tapi membenci diri sendiri.
Sebuah kisah gambaran dunia yang berantakan ketika adanya larangan akan musik dan terjadinya wabah menari yang menewaskan banyak orang.
------------------------------------------------
Menceritakan tentang Psikopat Bisu yg mampu merasakan bentuk, aroma, bahkan rasa dari suatu bunyi maupun suara.
Dia adalah pribadi yang sangat mencintai musik, mencintai suara kerikil bergesekan, kayu terbakar, angin berhembus, air tenang, bahkan tembok bangunan tua.
Namun, sangat membenci satu hal.
Yaitu, "SUARA UMAT MANUSIA"
------------------------------------------------
Apa kau tahu usus Manusia bisa menghasilkan suara?
Apa kau tahu kulitnya bisa jadi seni indah?
Apa kau tahu rasa manis dari lemak dan ototnya?
Apa kau tahu yang belum kau tahu?
Hahahaha...
Apakah kau tetap mau menari bersamaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sad Rocinante, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian II - A Day We Happy
"Madam, saya telah mengembalikan anak bermata biru itu seperti yang anda perintahkan Madam." Damien menunduk dan berjalan menuju sudut ruangan.
"Ya, terimakasih, Damien."
"Madam, apakah saya bisa bertanya?" tanya Damien dengan suara berat dan tegang.
"Silakan."
"Ke-kenapa anak itu di keluarkan dari kurungan? I-itu tidak adil sebagai hu-hukuman Madam," ujar tertatih.
"Hmm ... jadi hanya itu yang ingin kau tanyakan Damien? Hmm ... sudah dua minggu dia ada dalam kurungan, tetapi tidak terlihat ada tanda-tanda gila darinya sedikit pun, dan yang paling penting kita sedang membutuhkan banyak madu sebagai fariasi pilihan bagi pembeli." terang Madam Brielle.
"Baik, Madam, saya mengerti."
"Baguslah kalau kau mengerti, anakku, segera panggil Emilie kemari."
"Baik, Madam."
Damien segera pergi memanggil Emilie yang sedang berada di ruangan susu.
"Permisi, Madam ... bolehkah saya masuk?" Emilie mengetuk pintu ruangan Madam Brielle.
"Ya silahkan, Emilie, ada yang ingin kukatakan kepadamu."
"Terimakasih, Madam," jawabnya sopan "Hal apa yang sekiranya ingin Madam katakan kepada saya?" lanjut Emilie.
"Tolong kamu mandikan semua anak-anak di ruangan madu dan ganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih bagus."
"Baik, Madam, saya akan segera memberitahukannya kepada para suster agar segalanya lebih cepat."
"Ya, saya persilahkan kamu pergi." Madam Brielle menutup matanya kembali beristirahat.
"Baik, Madam."
Emilie dan empat orang suster lainnya mengarahkan anak-anak dari ruangan madu untuk membersihkan diri mereka sendiri di aliran sungai terdekat, banyak dari mereka yang merasa bahagia dan menikmati kesejukan air, ada yang melompat kegirangan kedalam air, dan ada pula yang hanya mengibas-ibaskan air dengam tangannya.
Tetapi tidak sedikit pula yang takut memasuki air karena merasa dingin dan tidak terlalu terbiasa mandi. Begitu pula dengan Mercury, sama sekali benci menyentuh air apalagi harus bersama dengan manusia-manusia menyedihkan itu.
Namun, karena kakinya terasa kaku serta sekujur tubuhnya masih lemah, terpaksa Mercury tidak bisa melawan ketika dia diangkat oleh dua orang suster yang bahkan mengangkatnya seperti menyentuh kotoran saja, terpaksa dan merasa jijik.
Mercury didudukkan dengan kaki lurus di samping sungai dan dimandikan oleh para suster, dia dan setiap anak diganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih bersih, nyatanya tidak terlalu bagus juga, biasa-biasa saja, bagaimanapun hal tersebut sudah menjadi kebahagiaan bagi anak-anak itu, mereka tertawa bahagia tanpa tahu maksud di baliknya.
Hahahaha ....
"Anak-anak yang telah mengganti pakaiannya segera bergegas kembali ke ruangan untuk diberi makan," teriak Emile yang merasa sedikit jengkel akan keributan yang diciptakan para anak-anak.
"Ayo, ayo, cepat ...!"
"Hey, yang disana cepat berpakaian."
Para anak-anak pun berjalan memanjang beriringan menuju ruangan mereka, begitu pula Mercury yang diangkat oleh dua suster juga berjalan di barisan paling belakang.
Betapa kagetnya para anak-anak karena ruangan bau dan jorok mereka telah bersih dan beraroma wewangian minyak dan kayu alam.
"Terimakasih kerja kerasnya, Tuan Damien," hormat salah satu suster kepada Damien yang terlihat memegang sapu.
"Ya," jawab Damien singkat lalu pergi kedapur.
Sesaat setelahnya, nampak Damien dan tiga orang suster datang dengan membawa makanan berupa bubur di dalam ember besi dan roti serta ikan, makanan sehari-hari mereka.
Terkadang dalam satu bulan bisa saja mereka dapat makanan berupa daging, rasanya enak sekali, berbeda dengan daging lainnya yang dijual di pasaran, sungguh Damien adalah juru masak yang handal.
"Anak-anak, segera berbaris dengan teratur!" bentak Emilie memecahkan keributan.
"Silakan, Tuan Damien," lanjutnya.
Damien menumpahkan satu sendok irus kepada setiap piring anak-anak yang mengantri di hadapannya, dua suster lain selanjutnya membagikan roti dan ikan sampai semua kebagian termasuk mengantarkan makanan kepada Mercury, lebih tepatnya mendorong piringnya dengan cepat di lantai ke hadapan Mercury.
Semua anak yang nampak bahagia pun menyantap makanan mereka dengan rakus, semuanya habis bersih.
Banyak anak-anak yang sampai menjilati piring dan lantai yang terkena tumpahan bubur mereka saking laparnya, hari ini hari yang berbeda bagi mereka.
"Anak-anak, segera beresi tempat makan kalian dan bersihkan lantainya, serta bagi anak perempuan masing-masing ikatkan rambut teman kalian. Mengerti?!" teriak Emilie, menepuk-nepuk tangannya.
"Baik, Nyonya."
"Baik, Nyonya."
Semua anak melakukan kegiatannya masing-masing, anak laki-laki membersihkan lantai sedangkan perempuan mengikat rambut teman mereka bergantian. Sementara itu Mercury yang sendirian di sudut ruangan hanya bisa menahan sakit dan pusing di kepalanya karena harus mendengarkan semua celoteh dari manusia-manusia di sana.
Setelah semuanya bersih kembali dan rambut anak-anak perempuan sudah terikat rapih, mereka kembali duduk ke tempat mereka masing-masing: bersandar ke dinding karena sama sekali tidak ada kursi di sana.
Semuanya berkumpul bersama teman mereka Dan saling berbincang tentang hal apa yang sebenarnya terjadi kepada mereka, hari ini berbeda dari biasanya, bahagia sekali.
Tapi tidak bagi Mercury, dia hanya seorang diri menanggung salip di pundaknya, salip yang akan menggantung orang-orang ini.
"Anak-anak ..., hei dengar! Karena hari telah sore silakan kalian tidur dan jangan berisik, serta jangan sekali-kali mengotori baju yang kalian kenakan, barang siapa yang esok hari bajunya kotor akan dikirim ke kurungan," teriak Emilie kembali dengan menepuk-nepuk tangannya karena ributnya ruangan sangat gila.
"Kalian mengerti?!" bentaknya lagi.
"Mengerti, Nyonya."
"Mengerti, Nyonga."
"Baiklah, segera tidur semua! Kami pergi dulu. Mari, Tuan Damien dan Para Suster."
Para orang dewasa pergi meninggalkan ruangan anak-anak serta Damien mengunci ruangan itu dari luar agar tidak ada yang bisa meninggalkan tempat itu sampai esok hari.
Seluruh anak-anak menaiki jerami mereka serta tertidur di sana, masing-masing berbagi kehangatan dari selimut tipis mereka, anak yang lebih tua memeluk yang terkecil, dan yang terkecil masuk ke dalam selimut kakak-kakaknya—hangat, sungguh terasa hangat, dan Mercury membencinya.
Anak laki-laki yang nakal melempari Mercury dengan batu-batu kecil dan ranting-ranting pohon, tertawa-tawa melihat Mercury tak bisa menghindari dan mendatangi mereka karena kakinya masih sakit serta kaku, Mercury yang sama sekali tidak perduli hanya menatap mereka dan tersenyum, membuat anak-anak yang tadinya tertawa-tawa menjadi merinding dan langsung menutup kepala mereka dengan selimut, pura-pura tertidur.
Dasar, monster!
***
Mercury merasa ada yang janggal dengan perilaku manusia-manusia dewasa sialan itu, mencoba untuk mencari tahu ada apa sebenarnya. Jelas selama dia disini belum pernah hal seperti sampah ini terjadi sebelumnnya, yang ada hanya anak-anak yang tiba-tiba dikurung atau menghilang begitu saja.
Karena rasa penasarannya, Mercury menutup mata dan menarik napas pelan serta dalam-dalam.
Hahhh ....
Telinga kecilnya mulai berdenyut, bergerak-gerak mencari arah seperti berjalan menembus ruang, berjalan terus mencari detak jantung Damien atau Madam Brielle.
Wusss ...
Flurpp ...
Krock krock ...
Gak ...
Tringg ...
Telinganya terus mencari, melayang terbang seperti berdansa bersama angin, suara lilin, katak, gagak, dan bel kecil tertiup angin sedikit demi sedikit dipisahkan oleh Mercury, agar tidak tergabung menjadi satu dan mengganggu indranya.
Terus berjalan lagi menembus malam, mencoba menemukan satu hal saja yang dapat memuaskan keingin tahuannya.
Hingga semakin jauh dia mencari, telinga mulai menangkap suara langkah kaki.
Tak ... tuk ... tak ....
"Haccih ..., dinginnya malam ini."
Tok tok tok ....
"Ya, silahkan masuk."
"Terima kasih, Madam." Sayup-sayup terdengar suara Madam Brielle dan Emilie.
Ceklek ...
Kreekk ...
Tak ... tuk ... tak ....
Tluk....
"Madam, semua anak telah bersih, kenyang dan tidur nyeyak seperti perintah anda."
"Oh ..., kerja bagus, Emilie, pokoknya kita harus memberikan madu yang terbaik bagi tamu kita besok, ingat ... kepuasan pelanggan adalah hal yang utama, Emilie."
"Baik, Madam, tentu saja."
"Ya, segera kembali kekamarmu dan persiapkan segala hal untuk besok."
"Baik, Madam."
Tak ... tuk ... tak ... tuk ....
Cek lek ....
Mercury percaya bahwa Emilie telah keluar dan menutup pintu kembali.
Tak ... tuk ... tak ... tuk ....
Ssslurrpp ...
Hahh ....
Mercury membuang napas dan kembali membuka mata seperti terkejut. Merasa sudah cukup puas akan hal yang dia dengarkan, dia menutup matanya kembali untuk tertidur dan menunggu hari esok saja.
pokoknya netral dah, baru kali ini ketemu novel klasik kayak novel terjemahan aja