Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanda yang Semakin Jelas
Pagi itu, suasana desa masih seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda. Warga yang biasanya sibuk di ladang atau pasar, kini lebih sering berkumpul di masjid atau warung kopi Pak Tarman, berdiskusi tentang apa yang mereka lihat dan dengar. Ceramah Ustadz Abdullah malam sebelumnya masih melekat kuat di pikiran mereka. Kabar-kabar tentang kejadian aneh di luar desa membuat mereka semakin waspada. Semua mulai mempersiapkan diri dengan cara masing-masing, ada yang memperbanyak ibadah, dan ada yang mulai menimbun persediaan makanan.
Di rumah Pak Haji Muchtar, para tetua desa berkumpul untuk membicarakan langkah apa yang harus diambil. Mereka duduk melingkar di teras rumah yang luas, ditemani angin sepoi-sepoi yang terasa agak panas.
“Kita nggak bisa diam saja, Pak Haji,” kata Pak Tarman dengan nada khawatir. “Warga desa mulai panik. Semakin banyak yang datang ke masjid, bertanya soal tanda-tanda akhir zaman. Mereka butuh kepastian, butuh bimbingan.”
Pak Haji Muchtar mengangguk pelan. Wajahnya terlihat lebih tua dari biasanya, seakan beban berat sedang ia pikul. “Benar, Tarman. Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai kita malah menambah kepanikan mereka. Kita harus tetap tenang, menguatkan iman, dan mencari jalan keluar.”
“Tapi apa yang bisa kita lakukan, Pak Haji?” tanya Pak Salman, seorang petani tua yang juga hadir di sana. “Tanah kita semakin kering, hewan ternak sudah banyak yang mati. Ini belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah ini benar-benar tanda bahwa dunia akan segera berakhir?”
Pak Haji Muchtar menghela napas panjang. “Saya pun tidak tahu, Salman. Tapi yang jelas, kita tidak boleh putus asa. Saya rasa kita harus mulai membuat persiapan. Mungkin kita bisa mulai menanam tanaman yang lebih tahan kering, atau mencari cara lain untuk mendapatkan air.”
Di tengah perbincangan yang semakin serius itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Seorang anak muda, Syaiful, datang dengan wajah cemas. “Pak Haji, maaf mengganggu. Saya baru dapat kabar dari kota. Ada kejadian aneh di sana.”
Semua orang langsung memusatkan perhatian pada Syaiful. “Apa yang terjadi, Ful?” tanya Pak Tarman dengan nada mendesak.
Syaiful menelan ludah sebelum menjawab. “Di kota, banyak orang tiba-tiba jatuh sakit tanpa sebab yang jelas. Beberapa rumah tiba-tiba dipenuhi lalat dan tikus. Air sumur-sumur mengering, dan ada yang mengatakan bahwa mereka melihat sosok-sosok aneh di malam hari. Banyak orang mulai ketakutan, mereka bilang ini semua pertanda buruk.”
Wajah para tetua desa semakin tegang mendengar kabar tersebut. Pak Salman meremas tangannya dengan gelisah. “Ini benar-benar seperti yang dikatakan Ustadz Abdullah. Kita harus segera bertindak, Pak Haji. Kita harus melindungi desa ini.”
Pak Haji Muchtar berdiri, menatap wajah-wajah khawatir di depannya. “Kita tidak bisa lari dari ini, teman-teman. Yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa, memperkuat iman, dan saling mendukung satu sama lain. Kita akan mengumpulkan semua warga malam ini di masjid, kita akan membicarakan ini bersama-sama.”
Malam harinya, masjid kembali dipenuhi oleh warga desa. Kali ini, suasananya lebih tegang daripada sebelumnya. Wajah-wajah penuh kekhawatiran terlihat di antara jamaah. Pak Haji Muchtar berdiri di depan, didampingi oleh Ustadz Abdullah.
“Saudara-saudaraku sekalian,” kata Pak Haji membuka pertemuan, “kita semua tahu apa yang sedang terjadi. Cuaca semakin aneh, banyak kejadian yang di luar nalar. Kita tidak bisa mengabaikan semua ini. Tapi kita juga tidak boleh putus asa. Kita harus bersatu, saling membantu, dan berdoa agar Allah memberikan perlindungan dan petunjuk.”
Ustadz Abdullah maju dan melanjutkan, “Ingatlah, ini semua adalah ujian. Ujian bagi kita semua untuk tetap kuat dalam iman. Jangan biarkan ketakutan menguasai hati kita. Yang harus kita lakukan adalah mendekatkan diri pada Allah, memperbanyak ibadah, dan tetap berpegang pada ajaran-Nya.”
Di antara jamaah, seorang wanita bernama Bu Mariam mengangkat tangan. Suaranya bergetar ketika ia berbicara, “Ustadz, bagaimana nasib anak-anak kami? Mereka masih kecil, mereka belum mengerti apa-apa. Bagaimana kita bisa melindungi mereka?”
Ustadz Abdullah tersenyum lembut, berusaha menenangkan. “Bu Mariam, yang paling penting adalah kita sebagai orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak kita. Ajaran mereka untuk tetap tenang, ajak mereka berdoa, beribadah. Insya Allah, Allah akan melindungi mereka.”
Pak Salim, yang tadi siang mendengar cerita dari Syaiful, berdiri. “Ustadz, kalau memang ini semua pertanda bahwa Dajjal akan segera datang, apakah kita tidak sebaiknya pergi dari desa ini? Mencari tempat yang lebih aman?”
Pertanyaan itu membuat suasana semakin tegang. Ustadz Abdullah terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan namun tegas, “Saudara-saudara sekalian, kita tidak tahu kapan Dajjal akan datang, atau di mana dia akan muncul. Yang pasti, tidak ada tempat yang benar-benar aman jika kita tidak memiliki iman yang kuat. Tempat yang paling aman adalah di dekat Allah. Di mana pun kita berada, jika kita bersama Allah, insya Allah kita akan selamat.”
Kata-kata Ustadz Abdullah sedikit banyak menenangkan hati para jamaah. Namun, ketakutan tetap ada di benak mereka. Setelah pertemuan di masjid selesai, para warga pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan yang campur aduk.
Di rumah Pak Tarman, keluarganya berkumpul di ruang tengah. Istrinya, Bu Tarman, terlihat gelisah. “Mas, apa yang harus kita lakukan? Saya takut dengan semua yang terjadi. Anak-anak kita, mereka masih kecil.”
Pak Tarman meraih tangan istrinya, berusaha menenangkan. “Kita harus tetap tenang, Bu. Jangan sampai anak-anak melihat kita panik. Kita akan lebih sering ke masjid, berdoa, dan berusaha menjaga agar mereka tidak terlalu memikirkan hal ini. Yang penting, kita tetap bersama.”
Sementara itu, di rumah-rumah lain, warga desa juga merasakan ketegangan yang sama. Di rumah Bu Mariam, anak-anaknya yang masih kecil bertanya, “Ibu, kenapa semua orang terlihat takut? Apakah ada monster yang akan datang?”
Bu Mariam tersenyum, mencoba menghapus kekhawatiran di wajahnya. “Tidak, Nak. Tidak ada monster. Hanya saja, kita harus lebih sering berdoa, agar kita semua dilindungi oleh Allah. Ayo, kita berdoa bersama.”
Hari-hari berikutnya terasa lebih berat. Ladang-ladang semakin kering, hewan ternak semakin sedikit yang bertahan. Warga desa semakin sering berkumpul di masjid, memperbanyak ibadah, dan saling memberikan dukungan. Mereka tahu bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan mudah.
Namun, di tengah semua kesulitan itu, ada secercah harapan. Ustadz Abdullah dan para tetua desa terus berusaha membangkitkan semangat warga, mengingatkan mereka bahwa ini semua adalah ujian yang harus dihadapi dengan sabar dan tawakal.
Dan meskipun dunia di luar desa mereka terasa semakin tidak menentu, warga desa berusaha untuk tetap teguh. Mereka tahu bahwa selama mereka tetap bersama, saling mendukung, dan berpegang teguh pada iman, mereka akan bisa menghadapi apa pun yang akan datang.
Tanda-Tanda yang Kian Jelas
Malam itu, suasana di desa terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin bertiup lembut, membawa aroma kering tanah yang tak lagi tersiram hujan. Bintang-bintang di langit terlihat lebih redup, seolah ikut merasakan keprihatinan yang tengah menyelimuti bumi. Warga desa berkumpul di masjid, menanti Ustadz Abdullah yang katanya akan kembali memberikan ceramah. Mereka merasa butuh pegangan di tengah ketidakpastian yang terus menghantui.
Ustadz Abdullah datang dengan wajah yang lebih tenang namun tegas. Ia melangkah ke mimbar dengan mantap, diiringi tatapan penuh harap dari para jamaah. Setelah menyapa dan membuka dengan doa, ia mulai berbicara dengan nada yang lebih serius daripada biasanya.
“Saudara-saudaraku, beberapa waktu lalu kita telah menyaksikan peristiwa dukhon. Kabut misterius yang menyelimuti dunia dan membuat banyak orang terkejut, bahkan ketakutan. Semua tanda yang kita lihat dan rasakan bukanlah sekadar kebetulan. Ini adalah pertanda besar dari Allah, bahwa zaman yang kita jalani sudah mendekati masa akhir.”
Para jamaah mendengarkan dengan seksama. Beberapa terlihat menggigit bibir, menahan rasa cemas yang tiba-tiba menyeruak. Wajah-wajah yang biasanya ceria kini terlihat lebih muram, dipenuhi rasa penasaran dan ketakutan akan apa yang akan disampaikan oleh sang ustadz.
Ustadz Abdullah melanjutkan, “Di dalam hadits, Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan banyak tanda-tanda akhir zaman. Salah satu yang paling besar adalah kemunculan Imam Mahdi, pemimpin yang akan menegakkan keadilan di seluruh dunia, di saat umat manusia sedang dalam kegelapan. Dan tahukah kalian, saudara-saudaraku, bahwa ternyata Imam Mahdi sudah muncul?”
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Jamaah terkejut, beberapa mulut menganga tidak percaya. Mereka saling berpandangan, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Tiba-tiba suasana masjid menjadi gaduh. Bisikan-bisikan mulai terdengar dari berbagai penjuru, beberapa orang bahkan tampak ketakutan.
“Bagaimana bisa, Ustadz?” tanya Pak Tarman, salah satu jamaah yang sering menjadi juru bicara warga. “Apa benar Imam Mahdi sudah muncul? Bagaimana bisa kita tidak mengetahuinya?”
Ustadz Abdullah mengangkat tangannya, meminta jamaah untuk tenang. “Betul, Pak Tarman. Imam Mahdi telah muncul dan dibaiat di Mekkah. Hanya saja, tidak semua orang bisa mengetahui dan menyadarinya. Ini adalah ketetapan Allah. Ia muncul di saat umat sedang dalam kebingungan dan ketidakpastian. Dan mungkin saja, kita tidak menyadarinya karena iman kita belum cukup kuat untuk mengenali tanda-tanda ini.”
Jamaah terdiam. Beberapa orang terlihat menundukkan kepala, mungkin merasa malu atau menyesali diri. Suara desahan dan tarikan napas panjang terdengar di antara jamaah. Rasa takut mulai berubah menjadi kekhawatiran dan kegelisahan.
“Apakah ini berarti akhir zaman sudah dekat, Ustadz?” tanya Bu Mariam dengan suara yang bergetar. “Bagaimana nasib anak-anak kita? Bagaimana dengan keluarga kita?”
“Tenang, Bu Mariam. Justru ini adalah kesempatan bagi kita untuk mempersiapkan diri. Kehadiran Imam Mahdi bukanlah sesuatu yang perlu kita takuti. Sebaliknya, ini adalah harapan baru. Dia datang untuk menegakkan keadilan, untuk membawa kita kembali ke jalan yang benar. Tugas kita adalah memperkuat iman, memperbanyak amal, dan bersiap menyambutnya dengan hati yang penuh keyakinan,” jawab Ustadz Abdullah dengan tenang.
Namun, meski sudah dijelaskan seperti itu, kecemasan tetap terlihat di wajah para jamaah. Mereka saling berpandangan, seolah mencari keyakinan di antara satu sama lain. Suasana masjid kembali hening, hanya terdengar suara angin malam yang berhembus pelan.
“Ustadz,” kali ini Pak Haji Muchtar yang bicara, “apa yang harus kita lakukan? Apakah kita perlu pergi ke Mekkah untuk menemui Imam Mahdi?”
Ustadz Abdullah menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil untuk bertemu dengannya. Yang perlu kita lakukan adalah mempersiapkan diri. Persiapkan diri kita dengan memperbaiki ibadah, memperbaiki hubungan dengan sesama, dan memantapkan iman kita. Jangan sibuk mencari-cari tanda, tapi sibuklah memperbaiki diri.”
Suasana kembali hening. Ustadz Abdullah menatap jamaah dengan tatapan penuh harap. “Saudara-saudaraku, saya tahu semua ini terdengar menakutkan. Tapi ingatlah, Allah selalu bersama kita. Dia tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang beriman. Mari kita hadapi semua ini dengan kepala tegak, dengan hati yang yakin. Dan jika Allah menghendaki, kita akan menjadi bagian dari umat yang terpilih untuk mengikuti Imam Mahdi dan berjuang di jalan Allah.”
Setelah ceramah selesai, para jamaah tidak langsung beranjak pulang. Mereka tetap duduk di masjid, berdiskusi dengan suara pelan. Rasa takut dan cemas masih menyelimuti, namun ada juga secercah harapan yang mulai muncul di hati mereka. Ucapan Ustadz Abdullah bahwa Imam Mahdi telah muncul dan siap memimpin mereka memberikan semangat baru.
Di luar masjid, langit terlihat lebih terang meskipun tidak ada bulan. Warga desa berjalan pulang dengan langkah yang lebih pelan. Di benak mereka, berbagai pikiran bercampur aduk. Ketakutan akan masa depan, harapan akan keadilan, dan rasa penasaran akan sosok Imam Mahdi yang kini telah hadir di dunia.
Pak Tarman dan keluarganya berjalan pulang bersama. Istrinya, Bu Tarman, tampak gelisah. “Mas, apa benar semua ini? Apa benar Imam Mahdi sudah muncul?”
Pak Tarman mengangguk pelan. “Kita tidak bisa tahu pasti, Bu. Tapi yang jelas, kita harus lebih dekat dengan Allah. Jangan sampai kita terlena dengan dunia. Ini saatnya kita mempersiapkan diri.”
Mereka berjalan dalam keheningan. Anak-anak mereka yang masih kecil bertanya-tanya apa yang terjadi, tapi Pak Tarman hanya tersenyum dan berkata, “Nanti kalian akan mengerti, Nak. Sekarang, ayo kita berdoa saja.”
Malam itu, banyak rumah yang terjaga hingga larut. Beberapa orang terlihat merenung di teras rumah, berdoa dengan khusyuk, atau sekadar berbincang dengan keluarga mereka. Kejadian-kejadian yang terjadi belakangan ini membuat mereka sadar bahwa dunia sedang memasuki masa yang sangat penting. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, tapi mereka tahu bahwa mereka harus siap menghadapi apa pun.
Di rumah Ustadz Abdullah, ia juga tidak bisa tidur. Ia duduk di ruang tamu, memandangi Al-Qur'an yang tergeletak di hadapannya. Ia merasa berat memikul tanggung jawab sebagai seorang pemimpin spiritual di desa ini. Ia tahu, kabar tentang Imam Mahdi ini akan membawa perubahan besar dalam hidup warga desa.
“Ya Allah, berikanlah petunjuk-Mu,” bisik Ustadz Abdullah pelan. “Jangan biarkan kami tersesat di saat-saat genting ini. Kuatkan hati kami, beri kami kekuatan untuk menghadapi semua ini.”
Pagi harinya, desa masih terlihat sepi. Matahari mulai muncul dari balik bukit, memberikan sinar hangat yang perlahan membangunkan kehidupan. Para warga mulai keluar rumah, melanjutkan aktivitas seperti biasa. Namun, ada yang berbeda dalam tatapan mereka. Ada semangat baru, meskipun tipis, yang mulai tumbuh.
Mereka tahu bahwa kehidupan tidak akan lagi sama. Dunia sedang berubah, dan mereka tidak bisa menghindari perubahan itu. Tapi setidaknya, mereka tidak lagi merasa sendirian. Mereka tahu bahwa di suatu tempat, Imam Mahdi sedang mempersiapkan diri untuk memimpin mereka. Dan itu memberikan mereka harapan, harapan bahwa kegelapan yang menyelimuti dunia ini akan segera berakhir.
Hari itu, masjid kembali dipenuhi oleh jamaah. Mereka datang tidak hanya untuk shalat, tapi juga untuk mendengar kabar terbaru dari Ustadz Abdullah. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang Imam Mahdi, tentang apa yang harus mereka lakukan, tentang masa depan mereka.
Ustadz Abdullah, meskipun merasa beban yang besar di pundaknya, berdiri di hadapan mereka dengan senyum. “Saudara-saudaraku, mari kita bersatu. Mari kita siapkan diri kita sebaik mungkin. Kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil, tapi jika saat itu tiba, kita harus siap. Kita harus siap mengikuti Imam Mahdi, siap berjuang di jalan Allah, siap menghadapi apa pun yang akan datang.”
Kata-kata itu menggema di dalam masjid, menguatkan hati setiap orang yang mendengarnya. Dan mereka tahu, bahwa mulai hari ini, hidup mereka tidak akan lagi sama. Mereka akan mempersiapkan diri, menanti panggilan yang mungkin datang kapan saja. Dan ketika saat itu tiba, mereka akan siap, dengan iman yang teguh dan hati yang penuh harapan.