“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 23
Terhitung 23 jam sudah Lee Gun dan Kim Suzi berada dalam rendaman.
Posisi mereka dalam kolam yang tak begitu besar itu dibiarkan berjarak.
Sayang sekali tak ada jalan melarikan diri, atau lebih tepatnya, Gun tidak berpikir untuk melarikan diri.
Entahlah bagi Suzi.
Tangan-tangan mereka dibelenggu rantai yang tertancap di tepi, cukup kuat. Bergerak terlalu banyak pergelangan akan terluka.
Jika begini rasanya seperti berada dalam tawanan perang.
Puas dengan pikirannya sendiri, Gun menggerakkan kepala dan wajahnya ke arah Suzi yang tertunduk lemas di seberang, rambut panjang tergerai lepek karena basah. Gadis itu tak ada suaranya sejak lima jam lalu.
"Bertahanlah, Suzi. Aku yakin kau mampu. Air yang merendam dan tanpa makanan bukan sesuatu yang bisa membunuhmu, 'kan?" Dia memandangi dari kejauhan. Rasa iba menyergap, mulai cemas dengan keadaan fisik wanita itu sekarang. "Kim Suzi."
Suho pernah mengatakan saat interview dirinya ketika itu, Suzi sering sakit-sakitan saat kecil, bukan tak mungkin dewasa ini pun anak gadis itu akan mengulang sejarah kesehatannya yang buruk.
Semoga tidak.
"Bertahanlah, kumohon. Hidupku terancam bangkrut jika kau tak baik-baik saja. Presiden bisa memenggal kepalaku karena gagal menjagamu dengan baik."
Dan berbicara omong kosong juga bukan hal yang buruk.
Walau jatuhnya kepedulian Gun demi dirinya sendiri, setidaknya dia sudah berharap yang baik untuk Suzi dan itu lumayan tulus.
Di tengah harapan agar waktu 48 jam segera usai, seseorang datang berkunjung.
Gun mengangkat wajah untuk meraih pandangan jelas dari pemilik tubuh yang baru saja ditangkapnya melintasi hadapan.
"Aku lihat kau masih baik-baik saja." Tinggi badan yang menjulang dan tubuh sekurus Shaggy Scooby-Doo, orang itu berdiri lurus di hadapan Gun, dan ucapannya tentu juga ditujukan untuk pemuda itu.
Adalah Munjong, pria tua yang sangat dihormati di kaum Gaepyoung, berperan sebagai tetua--pemilik keagungan yang dianggap penting eksistensinya.
Lee Gun mendengus tapi tak mengatakan apa-apa untuk membalas cakap pria tua dengan jubah kelabu itu.
"Dari auramu, aku tahu kau kuat. Aku tahu kau mampu melawan bahkan menghabisi seluruh penduduk Gaepyoung dengan tanganmu sendiri kemarin," ujar Munjong, menarik perhatian Gun lurus padanya. "Tapi kau tak melakukannya," lalu menyambung sembari tersenyum tipis. "Dan aku juga tahu kau tak melakukan apa pun dengan wanita darah biru itu."
Selain tatapan yang berubah menajam menatap gerak mulut pria tua berjanggut tebal di hadapannya, Gun masih bungkam, selebih dalam dirinya pasrah jadi pendengar---untuk saat ini setidaknya.
"Jangan berpikir berikutnya kau bisa melawan."
Terkesan memperingatkan, tapi Gun masih belum cukup dibuat takut. Wajahnya masih sedatar biasa.
"Ketahuilah, Nak ...." Pandangan Munjong beralih pada Suzi yang sepertinya dalam keadaan pingsan karena lemas. "Kau dan gadis itu ... sudah bertakdir."
Tebal alis Gun nyaris saling beradu karena kernyitan dalam. Kalimat ujung lelaki tua sepertinya cukup berhasil menarik sedikit perhatiannya. "Bertakdir? Maksudmu?" Dia bertanya ingin tahu, penasaran apa artinya.
Tapi sepertinya Tetua Munjong tidak berencana untuk menjawab dan menjelaskan. Dengan kedua tangan yang sudah dikaitkan di balik punggung, dia tersenyum seraya menjauhkan diri dari tepian kolam. "Persiapkan dirimu untuk pernikahan," katanya, kemudian melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Kolam hukuman itu berada di dalam sebuah goa. Ada sebilah pintu oval yang jadi sarana, Tetua Munjong baru saja melewatinya untuk keluar, meninggalkan Gun bersama setumpuk rasa penasaran di kepalanya.
"Pak Tua itu," Gun mendengus seraya membuang wajah. "Jika dia bisa melihat kepribadianku, seharusnya dia tahu juga 'kan, saat ini aku sedang tak ingin bermain teka-teki yang kekanakkan. Aku butuh penjelasan."
Dan waktu 48 jam akhirnya berlalu seperti angin.
Dua muda-mudi yang direndam itu sudah kembali bercahaya manakala biasa.
Piring makan dan ramu-ramuan untuk mengembalikan kondisi tubuh mereka nampak tertata bekasnya di atas meja di dalam sebuah ruangan.
Saat ini keduanya tengah disulap menjadi sepasang sejoli dengan riasan pengantin.
Dilakukan oleh para wanita yang sepertinya memang dipekerjakan hanya untuk acara-acara sakral, mata mereka memiliki aura intimidasi yang Gun sendiri pun dibuat seperti manusia yang dimumi sekian tahun, tak bisa membantah.
Saat ini juga tanpa bisa menolak, Suzi sedang dipakaikan busana yang modelnya terbilang aneh namun justru memberi kesan unik saat dia yang mengenakannya. Itu baju pengantin.
Sebaik keadaannya pasca direndam, tidak demikian dengan hati gadis itu. wajahnya bahkan saat ini terlihat murung di depan cermin. Ada beban yang tak terungkap ke permukaan.
"Aku akan menikah ... seperti ini? ... Bagaimana jika Ayah tahu? Akan seperti apa kehidupanku ke depannya?"
Dunianya akan berubah dalam sekejap--sesaat lagi.
Bayangan wajah ibu yang telah lama tak dilihatnya dan ayah yang selalu memberi dukungan, membuatnya merasa telah menghancurkan impian mereka.
Tapi menikah dengan Gun ... bukankah dia juga menyukai pria itu?
Suzi kembali harus bergelut dengan pikirnya.
Berbeda dengan Gun sendiri, dia yang sudah berganti pakaian dengan rapi dan nampak gagah, duduk diam menatap pantulan wajah Suzi di cermin dengan eskpresi sekejap berganti-ganti.
Jika saat di kolam dia takut dipenggal kepala oleh Suho bilamana Suzi mati, bagaimana dengan sekarang? Dia akan menikahi putri orang nomor satu itu, menikahi nona yang selalu dia kawal kemana pun pergi.
Merujuk ke sana, Suho tetap di tempat yang sama.
Apa bedanya Suzi mati atau dinikahinya, bukankah sama-sama bunuh diri sebagai bawahan Suho?
Lalu bagaimana dengan dirinya sebagai Goblin?
"Upacara akan segera dimulai, kalian bisa keluar."
Suara itu walaupun pelan, tapi lumayan menyentak di saat pikiran Gun begitu penuh dengan bayangan masa depannya setelah ini.
Suzi terperanjat, menghela pandangan ke bagian pintu melalui cermin, lalu melihat ke arah Gun, pria itu juga tengah melihat ke arahnya.
"Ayo, Nona, kita menikah. Bukankah ini akan sangat menyenangkan?"
Suzi terperanjat lagi melihat Gun yang berdiri, tiba-tiba pria itu bersemangat. Sejurus tatap dia menangkap kedipan mata Gun. Sesaat mengernyit untuk menangkap apa maksudnya, lalu mengangguk. Dia paham, jika sudah begitu, berarti Gun punya cara lain untuk masalah ini---mungkin.
"Baiklah, kami akan keluar."
Tidak berjalan beriring atau saling bergandeng, Gun dan Suzi diboyong dengan jarak berjauhan oleh para pria. Menuju tempat di mana upacara sakral akan dilangsungkan.
Aula yang tak begitu luas dihias kain-kain putih berkibar dan bunga-bunga berwarna sama.
Sudah banyak orang di sana. Mereka menunggu dengan tak sabar, ingin menyaksikan pernikahan hukuman atas dua sejoli yang menurut pandangan telah membuat kotor desa yang suci itu.
Pernikahan tak dikehendaki--hukuman, itu bahkan terdengar konyol. Dan kekonyolan itu, Lee Gun dan Kim Suzi akan melakukannya sebentar lagi.
Suzi merunduk tegang di tempatnya didampingkan dengan Gun yang justru sibuk memikirkan banyak hal.
Di depan keduanya, Tetua Munjong berdiri dengan jubah berganti putih.
"Kita mulai upacaranya."
😄😄😄😄😄
lanjut thooorrr/Good//Good/
alur critamu itu lo thor ... luar biasa seru n susah di tebak.
sll bikin penasaran di setiap chapternya.. /Ok//Ok/
itulah harga diri lelaki sejati