Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERNIKAHAN
“Saya terima nikah dan kawinnya Marsha Aulia Zlatan binti Harris Zlatan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”
“Bagaimana saksi, sah? Sah?”
“SAH!”
“SAH!!” sorak tamu bergemuruh dengan suana suka cita.
Pernikahan Marsha dan Alan dilakukan secara resmi dan tertutup disalah satu villa milik keluarga Alan yang cukup jauh dari pusat kota. Tidak seperti pernikahan pada umumnya yang penuh haru, sang pengantin baik Marsha mau pun Alan lebih cuek bebek dengan pernikahan mereka. Tidak terlihat rona bahagia, sedih apalagi haru mungkin sudah tidak ada dalam kamus mereka hari ini.
Mereka hanya manut mengikuti setiap runtutan acara tanpa drama. Mungkin begitulah pernikahan tanpa cinta, hambar tiada rasa.
Mendengar kalimat-kalimat petuah nan bijak dalam pernikahan yang disampaikan oleh MC dengan melankolis, membuat para tamu undangan terutama para wanita menangis haru.
‘Please, cepetan aku lelah! Sumpah bulu mata ini berat.’ batin Marsha, ia pun menutup mulutnya menahan kuapan. Ia juga merinding mendengar sanjungan dan godaan dari MC yang sengaja di tujukan padanya dan Alan.
Alan hanya diam, sama sekali tidak tersipu apalagi malu, justru sang MC yang mengada-ada dengan mengatakan mereka tersipu malu. Alan hanya menggeleng tidak percaya, bisa-bisanya tidak tahu mana wajah malu dan cuek.
“Tamu pada mewek, pengantinnya tegar banget ya.” komentar itu Marsha dengar dari seorang laki-laki yang mungkin seumuran dengannya, jelas ia adalah salah satu keluarga Alan, karena Marsha tidak mengenalnya. Para tamu hanya dari keluarganya dan keluarga Alan saja.
Marsha melihat kearahnya, begitu bertemu mata dengannya, laki-laki itu tersenyum ramah seraya mengangkat dagunya lalu melirik Alan sesaat. Marsha berniat membalas keramahannya namun laki-laki itu sudah menunduk ketakutan. Marsha menoleh kearah Alan, ia curiga pria ini sudah melakukan sesuatu pada lelaki itu.
“Kenapa?” tanya Alan datar, lagi-lagi dihadapkan dengan tatapan sinis Marsha. Marsha hanya memicingkan matanya, lalu melengos seperti biasa. Seperti sudah menjadi senjata andalannya dalam diam.
~
Sejak pertengkaran dengan Marsha tempo hari, Reno tidak pernah terlihat lagi oleh Marsha hingga di hari pernikahannya pun Reno masih enggan hadir. Dia benar-benar menjauh, Marsha sedih tapi tidak bisa memaksa, toh sekarang ia juga sudah sah menjadi istri Alandanu Nugraha.
“Padahal Mas Harris bilang pekan depan diurus juga nggak masalah lho, Han.”
“Itulah Mbak, semenjak pindah ke kantor pusat sibuk banget kelihatannya. Kemarin sih bilangnya oke eh tahunya nggak bisa hari ini padahal hari pernikahan adiknya sendiri.” Hana menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir.
‘Menyibukkan diri, iya kali Tan.’ Marsha berseru yang juga sedang duduk mendengarkan percakapan Nadia dan Hani tentang ketidakhadiran Reno di pernikahannya. Tentu itu ia sampaikan hanya dalam hatinya saja.
Marsha bertopang dagu memperhatikan setiap orang yang tidak banyak ini. Harris dan Damar yang asyik bercengkerama dengan petugas KUA seperti sudah selesai dan mengantarkannya untuk pulang, karena terlihat berjalan menuju mobil yang sudah menunggu didepan.
Hana dan Nadia yang berada di dekatnya yang sedang membicarakan Reno dan perusahaan. Beberapa saudara jauh Marsha dan Alan yang tak lebih dari 50 orang, ada yang berkumpul sendiri—salah satunya laki-laki yang berkomentar tadi, dan ada yang sedang bersama Sania. Sepertinya semua menikmati acara ini. Marsha membatin. Hanya dia yang merasa bosan.
Kini matanya mencari sosok Alan yang sudah berstatus suaminya, entah kemana dia. Selesai sesi pemotretan ia hilang bagai debu, tak nampak tapi sebenarnya ada. Kalau ada bagai debu yang mengganggu pernapasan, bisa bersin-bersin karena alergi. Marsha menghela napas berat, lalu memutar bola matanya tersadar untuk apa juga mencari dimana Alan sekarang.
“Sha, paham kan?” tangan Hana menepuk paha Marsha pelan, membuat ia kembali tersadar pada tempatnya.
“Apanya Tan?” Marsha gelagapan, bingung.
“Melamun nih Mbak,” adu Hana pada Nadia. “Ini obatnya jangan lupa diminum setelah bersatu, baca aturannya.” Marsha menatap paper bag mungil yang sudah ada di pangkuannya, dengan cepat ia mengintip isinya. Alisnya masih berkerut menunggu penjelasan Hana selanjutnya karena kata ‘bersatu’.
“Mama dan keluarga Alan udah sepakat kamu jangan hamil dulu sebelum lulus,” ucapan Nadia membuat mulut Marsha terbuka dengan alis yang semakin berkerut. Ia sungguh sangat terkejut.
Nadia berbisik, cukup untuk didengar mereka bertiga. “Obat kan juga nggak menjamin, hanya usaha aja kalau bisa usahanya dua kali. Jangan lupa ingatkan Alan untuk selalu buang diluar, kalau-kalau lupa pakai pengaman.”
Belum juga keterkejutannya tadi mereda, Nadia dengan santainya menambah kalimatnya yang sangat mengerikan untuk didengar oleh Marsha. Kini matanya seakan nyaris melompat saking kagetnya.
“Mama, please!” Marsha nyaris berteriak sambil menutupi telinganya.
Ia tidak menyangka Nadia dan Hana akan menyampaikan dan mengatakannya segamblang itu. Marsha merasa itu adalah hal tabu untuk dibicarakan, namun bukan Marsha tidak mengerti yang dimaksud Nadia hanya saja ia merasa aneh dan jijik membayangkannya, bersama Alan pula, pria asing yang baru ia kenal belakangan ini. Ralat, tidak ia kenal. Marsha beranjak dari tempatnya, semakin stres ia kalau meladeni wejangan pernikahan dari Nadia dan Hana.
“Mau kemana, Sha?” tanya Hana bingung.
“Tidur.” Jawab Marsha datar.
“Lho, udah mau langsung dipraktekkan aja?” goda Hana sukses membuat wajah Marsha merah padam.
“Tanteee!” pekik Marsha yang tertahan karena ia sadar keramaian, Hana terkekeh dan tentu disambut dengan tawa Nadia.
Marsha tidak langsung pergi ke kamarnya, ia berniat mencoba mengitari villa itu sebentar lalu mengakhiri dengan kamarnya. Langkah Marsha terhenti begitu melihat Alan sedang berbicara serius melalui ponselnya.
“Lo udah bilang kan kalau gue masih di luar?” Alan mendengkus, “Nggak, nggak, gue belum bisa kembali. Mungkin dalam waktu setahun,” Alan memijat pelipisnya. Ia terlihat gusar.
“Lo atur aja lah kalau itu, yang jelas nggak ada hubungannya lagi sama gue, paham!” Alan memutuskan sambungan teleponnya.
Marsha yang sedang diam-diam menguping itu kaget ketika Alan sedikit menaikan nada bicaranya, ia pun langsung berbalik dan mengurungkan niatnya pergi ke kamar karena ternyata Alan juga sedang berjalan kesana.
“Lho, kok balik Sha. Katanya mau tidur?” Hana yang masih ditempat semula yang kini sendirian menatap heran pada Marsha yang kembali duduk disampingnya.
“Nggak jadi,” ia meletakkan paper bag kecil yang diberikan Hana tadi ke atas meja, membuat Hana mengasumsikan bahwa Marsha belum masuk ke kamarnya sama sekali.
“Kamu belum ada ke kamar?” tanyanya sambil melihat paper bag kecil yang masih bolak balik ia bawa. Marsha menggeleng pelan,
“Kenapa?”
“Ada Om-om didalam.” Bisik Marsha ogah-ogahan.
Hana membulatkan matanya menatap Marsha tidak percaya, “Maksudnya suami kamu?” Hana meyakinkan tebakannya, kali ini Marsha mengangguk mengiyakan.
Hana terkekeh melihatnya, “Dia suami kamu, Sha.” Bisik Hana sambil mengelus punggung tangannya Marsha bermaksud memberikan kekuatan untuk menerima dan mengatakan BAGAIMANAPUN DIA SUAMIMU.
Kembali? Dalam waktu setahun? Kemana? Maksudnya gimana sih? Ucapan Alan yang Marsha dengar tadi membuatnya berpikir banyak hal. Apa ada hubungannya dengan dirinya?
“Ssttt, Maminya datang tuh, jangan bilang dia Om-om lagi ya.” Hana kini meremas pelan tangan Marsha untuk menyadarkannya yang sedang terlihat melamun.
***