Seorang wanita mandiri yang baru saja di selingkuhi oleh kekasihnya yang selama ini dia cintai dan satu-satunya orang yang dia andalkan sejak neneknya meninggal, namanya Jade.
Dia memutuskan untuk mencari pria kaya raya yang akan sudah siap untuk menikah, dia ingin mengakhiri hidupnya dengan tenang. Dan seorang teman nya di bar menjodohkan dia dengan seorang pria yang berusia delapan tahun lebih tua darinya. Tapi dia tidak menolak, dia akan mencoba.
Siapa sangka jika pria itu adalah kakak dari temannya, duda kaya raya tanpa anak. Namun ternyata pria itu bermasalah, dia impoten. Dan Jade harus bisa menyembuhkan nya jika dia ingin menjadi istri pria itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyaliaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Aku mengamati sekitar, pelanggan bar mulai masuk dan keluar bergantian. Aku yakin Ryan akan kesusahan, rasanya aku ingin membantu. Dia masih belum mempekerjakan orang. Tapi jika aku membantunya aku hanya akan menghambatnya karena dia harus mengajari aku terlebih dahulu caranya. Aku tidak pandai, menjadi seorang bartender bar rasanya berbeda dengan membuat minuman dingin yang ku buat di pantai.
Selama aku sedang berpikir, Hana menghabiskan minumannya dan berdiri. Dia masuk begitu saja ke wilayah petak yang hanya ada Ryan disana, dia membantunya. Aku mengamatinya, dia sungguh cekatan. Aku tak tahu jika Hana bisa meracik minuman seperti Ryan. Dia sangat ahli, meskipun tangannya tak secepat Ryan. Tapi kurasa itu sudah membantu. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk bercerita.
Hanya tersisa aku dan Rhine yang tidak sibuk. Aku menatapnya berkali-kali dengan selang waktu tiap beberapa detik. Dia tampak melihat sekitarnya, kupikir dia sedang menjalankan rencana bisnis dalam kepalanya. Aku melihat bibirnya bergerak seakan sedang menghitung dan membisikkan sesuatu pada dirinya sendiri.
"Sampai kapan kau akan menatapku seperti itu?" Rhine menatapku dan menyentuh hidungku dengan ujung jarinya. Aku ketahuan, dia menyadari tatapanku.
"Entahlah, mungkin sampai kita pulang," aku menyipitkan mataku padanya sambil tersenyum yang mengeluarkan suara dehaman nakal.
"Jade, cobalah," Hanya mengejutkan aku dan Rhine, kami langsung beralih pada segelas minuman yang baru saja di letakkan Hana di hadapanku. Aku menatap Rhine dan Hana bergantian, aku tak yakin dengan minuman yang diberikan Hana.
"Tidak, dia tak bisa minum alkohol." Rhine menggeser gelasnya menjauh dariku.
"Alkoholnya sangat rendah paman, menurutku dia akan baik-baik saja. Benar kan Jade?" Hana meyakinkanku, tapi bagaimana pun aku berpikir kurasa bukan ide baik meminumnya meskipun kadar alkoholnya rendah.
Drrtt. Drttt.
Ponsel Rhine yang ada di atas meja bergetar, dia mengambilnya. Aku tidak sempat melihat siapa yang menelepon. Dia memperingati ku untuk tidak minum minuman dari Hana sebelum dia pergi menjawab telepon. Hana juga menjauh dariku karena ada orang yang memesan. Aku mengambilnya, aku memutar-mutar kan gelasnya membuat isinya terombang-ambing.
Tak lama, kehadiran seorang pria mengejutkanku. Dia duduk di kursi tempat Hana duduk sebelumnya, di sampingku. Pandanganku teralihkan pada nya, mata coklat, rambut ikal, dan kemeja putih. Dia tidak memasang semua buah bajunya, hingga menampakkan dadanya. Aku yakin dia punya otot yang bagus di balik kemeja itu. Dan aku yakin dia lebih muda dariku.
"Butuh teman nona?".
"Tidak, terimakasih." aku menolak dengan sopan dengan senyuman tipis, mencoba untuk tak ingin menyakitinya.
"Hemmm, tapi aku boleh duduk disini kan?" tanya pria itu lagi. Aku tak menjawab tapi hanya mengangguk, lagipula Hana sepertinya masih lama untuk kembali ke kursinya. Aku juga tak ingin sendirian di meja panjang itu, Rhine juga masih belum kembali. "Hans," pria itu mengulurkan tangannya padaku.
"Jade," aku meraih tangannya singkat bersikap baik dan menariknya cepat. Seharusnya aku memakai cincin. Setidaknya dia bisa melihatnya dan tahu jika aku sudah menikah. Namun kami tidak berganti cincin seperti di mimpiku, hanya hubungan yang tertulis di kertas. Aku merasa sedih tentang itu.
"Ternyata dia lebih cantik dari dekat," gumam Hans pelan. Sangat pelan, namun aku yakin mendengarnya berkata itu, dengan jelas.
"Kau kesini sendirian?" aku penasaran, aku yakin pria seperti nya tidak akan datang sendiri ke bar. Aku sangat meragukan itu.
"Ah tidak, aku dengan teman-teman ku. Disana," dia menunjukkan arah dengan jarinya. Aku mengikuti arah yang dia tunjuk. Sekelompok pria duduk di meja yang ada di pojok. Kulihat ada beberapa botol minuman di mejanya. Mereka melambai padaku. Aku mengangguk.
"Sering datang kesini?"
"Sesekali," jawabku ragu.
"Oh ya? Berarti mungkin kita bisa bertemu lagi. Aku akan mentraktir mu malam ini," ucapnya sambil mengambil sesuatu dari dompetnya. Sebuah kartu.
"Eh? Tidak usah, aku bisa membayarnya sendiri."
"Tidak apa, aku tahu. Aku hanya ingin meminta nomor mu sebagai gantinya," dia mengedipkan satu matanya padaku. Aku mengernyit heran. "Nona," dia memanggil Hana.
"Ya?" balas Hana. Dia melirik padaku, aku menggeleng padanya.
"Tambahkan tagihannya dalam pesananku," ucapnya sambil menunjuk gelas ku. Hana tampak bingung. "Aku tadi memesan di meja tujuh yang di pojok sana," lanjutnya.
Hana tertawa kecil, membuat pria itu bingung. Tepat saat Hana ingin meraih kartunya, seseorang merampasnya dahulu. Hans terkejut, kami juga. Rhine mengambil kartunya dan mengembalikannya lagi. Dia mengeluarkan dompetnya dan juga mengambil sebuah kartu, black card. Berbeda dengan kartu kredit yang baru saja aku dan Hana lihat.
"Wanita itu bersamaku, aku yang akan membayar minumannya," ucap Rhine sambil memberikan kartunya pada Hana. Aku dan Hana ternganga heran dan kami saling beradu mata, Hana mencoba untuk ikut memainkan peran mengikuti alur yang ada.
"Ah, baik tuan." Hana mengambil kartunya.
Rhine menunduk dan berbisik pada pria yang duduk di sampingku, "Kau terlalu muda untuk bersaing denganku." Rhine menepuk-nepuk bahunya sebelum berjalan ke arahku. Rhine merangkulku dan duduk di tempatnya semula.
Pria tadi tampak kesal, dia meremas kartunya dan pergi. Aku hanya bisa tertawa kecil melihat sikapnya.
"Senang berkenalan dengan anak kecil?" ucap Rhine setelah melepas rangkulannya. Dia tampak sedang tidak dalam mood yang baik, kurasa dia cemburu.
"Bukan begitu, dia tiba-tiba datang dan ingin membayar minumannya."
"Lalu meminta nomormu?"
"Kau tahu?"
"Hah, trik lama. Itu terlalu umum di ketahui sesama pria, seharusnya kau lebih berhati-hati. Kenapa tak bilang saja jika kau sudah menikah?"
"Aku.. Aku ingin bilang tadi."
"Benarkah? Aku tidak mendengar kau bilang aku suamimu."
"Eh? Kau juga tidak bilang aku istrimu." Aku menatapnya tak ingin kalah. Kami beradu tatapan.
"Suami?" ucap Ryan. "Istri?" ucap Hana. Mereka berkata bergantian. Mereka berdua tercengang tak percaya.
"Itu.." aku berpikir sejenak bagaimana mengatakannya setelah menatap Ryan dan Hana.
"Ya. Kami sudah menikah," jawab Rhine tegas sambil berdiri. Aku pun tercengang melihatnya, betapa percaya dirinya dia mengatakan itu. Aku tersenyum senang. Dia meraih tanganku dan menarik ku untuk ikut berdiri.
Rhine mengambil sebuah kunci dari balik meja, kemudian menarik ku pergi ke lorong yang selama ini tak pernah ku lalui, Ryan dan Hana masih mematung tak berkata-kata melihat kepergian ku dan Rhine.
...----------------...
gk rela sebenarnya klo hrus pisah sm mereka.. 😢😢
kira2 Ryan&Hana udh ada anak jg blm ya🙈😅
klo emg Rhine bkn jodoh nya,,, kasih Kade jodoh yg lebih baik lagi thoorrr