NovelToon NovelToon
Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Romantis / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Aku punya cerita nih, soal dunia ku yang banyak orang bilang sih kelam, tapi buat ku malah keren dan penuh dengan keseruan. Aku punya circle, sebuah geng yang isinya anak-anak yahut yang terkenal jahil dan berani. Seru abis pokoknya! Mereka itu sahabat-sahabat yang selalu ada buat ngelakuin hal-hal yang bikin adrenaline kita ngacir.

Kita sering hang out bareng, kadang sampe lupa waktu. Dari yang cuma nongkrong asyik di tempat-tempat yang biasa kita tongkrongin, sampe yang agak miring kayak nyoba barang-barang yang sebenernya sih, yah, kurang direkomendasiin buat anak muda. Tapi, yah, lagi-lagi itu semua bagian dari mencari identitas dan pengalaman di masa remaja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 23

Bapak dengan gesitnya sudah beraksi. Dia tidak butuh waktu lama untuk mengusir pacet itu dari kakiku.

Bapak mencari-cari sesuatu di dalam kantong celananya. Dan tiba-tiba, di tangannya muncul sebatang rokok yang dia ambil tembakau atau mbako-nya, lalu dia membakarnya di sekitar pacet.

Rasanya agak sadis, tapi apa boleh buat?

"Kamu enggak pakek autan?" tanya bapak sambil memperhatikan bekas gigitan pacet yang telah membuat kakiku bengkak.

Aku hanya bisa menggeleng pelan, "hehehe, enggak pak. Suka gatel aku kalau pakai autan," jawabku sembari mencoba menyembunyikan rasa gatal yang terus menggangguku.

"Sini kakiknya," ucap bapak sambil berjongkok.

Tanpa ragu, aku turut berjongkok dan mengulurkan kakiku yang sudah tergigit pacet tadi. Bapak memeriksa bekas gigitan itu dengan cermat.

"Kadang, kalau bekas gigitan pacet itu darahnya masih ngalir terus, lho. Kalau enggak cepat dihentikan, bisa-bisa banyak pacet yang mengejarmu," cerita bapak sambil tertawa.

Ketika bapak menempelkan mbako ke bekas gigitan pacetku, aku merasa ragu. Bagaimana mungkin tembakau bisa mengusir pacet dan menghentikan darah?

Tapi entahlah, mungkin ada keajaiban di balik hal-hal seperti ini.

"Jangan manja ya, udah gedek," tawa bapak sembari memperhatikan reaksiku yang masih ragu.

Aku mencoba untuk tak terlalu bergantung pada metode aneh ini, dan kembali fokus pada pekerjaanku. Namun, sesekali aku masih melihat pacet-pacet itu mengintai lagi.

Tubuh mereka lentur, gerakannya gesit, membuatku merasa jengkel.

"Aku jengkel, jengkel banget sama yang namanya pacet. Bikin giguk atau ngilu lihatnya," keluhku dalam hati.

Aku sering merasa tergoda untuk bertindak secara sadis terhadap pacet-pacet itu. Terkadang, aku membunuh mereka dengan alat untuk nyadap karet atau deresan.

Aku bahkan pernah mencoba untuk memasukkan mereka ke dalam batok karet, tapi mereka selalu bisa melepaskan diri dengan mudah.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah perilaku ini menunjukkan bahwa aku memiliki masalah psikologis? Apakah aku psikopat?

Rasanya aneh, tapi aku merasa puas ketika berhasil menghabisi pacet-pacet itu.

\~\~\~

Setiap kali pulang ke rumah, bapak selalu saja suka bermain-main dengan gas motornya.

"Kamu tuh lucu banget. Cuma di ajak naik motor aja sampe bengek," celetuk bapak dengan tawa yang terdengar begitu riang.

Aku hanya bisa mencubit perutnya sebagai balasan, tapi malah membuatnya semakin tertawa dengan bebas.

"Naik motor sih naik motor, pak. Tapi jangan terlalu nekat gitu. Kalau ceblok gimana?" gerutuku dengan nada serius.

Namun, bapak tetap cuek dengan jawabannya yang selalu santai, "Kan bapak udah bilang, kalau jatuh ya ketanah enggak akan sakit," ucapnya sambil terkekeh.

"Bapak!" teriakku, merasa kesal dengan sikapnya yang terlalu santai.

Tapi entah kenapa, bapak malah semakin kocak. Dia lagi-lagi mengangkat ban depan motornya, hampir saja aku terjungkal.

"Tenang aja. Percaya sama bapak. Bapak tuh udah sekelas Rossi," katanya dengan nada yakin, sementara aku hanya bisa menggelengkan kepala.

Bapak memang punya sisi keras dan kadang-kadang lucu juga. Tapi kalau lagi ngelucu begini, ya enggak ada lucu-lucunya.

\~\~\~

Setelah sampek  rumah, aku langsung istirahat sebentar sebelum mandi dan makan.

Waku aku lagi enak-enaknya makan sambil menghayal, tiba-tiba mamak muncul.

"Kamu makannya banyak banget," ejeknya sambil melirik piringku yang kosong dan rencananya aku mau nambah lagi.

Kadang aku mikir, makan sedikit salah, makan banyak juga salah. Mungkin sebaiknya aku enggak usah makan sama sekali.

"Jangan diledek. Biarin dia makan banyak biar ada tenaga," sela bapak sambil tertawa.

Aku hanya bisa mendengus kesal. "Bapak," panggilku dengan nada kesal, tapi bapak malah semakin tertawa.

Mamakku dengan ringan berucap sambil menuangkan minuman untuk dirinya, "Kalau udah kenyang nanti ambil pisang di bawah."

"Kok aku lagi?" gumamku, kesal.

Rasanya seperti aku menjadi tukang suruh di rumah ini. Sudah mulai lelah dengan semua ini.

Entahlah, rasanya semakin kesini aku semakin merasa bahwa mulutku semakin sulit dikendalikan saat merespons perkataan orang tua.

"Pak..." protes mamak.

Aku memang sebelumnya pernah ngelawan bapak. tapi sekarang rasanya aku malah takut kalau bapak marah. serem banget lihatnya.

\~\~\~

Di sinilah aku berada, di kebun belakang rumah. Jaraknya lumayan jauh karena jalannya naik turun. Ketika aku menemukan buah pisang, aku langsung duduk sambil memandang sungai yang masih terlihat jelas.

"Hidup kok gini banget ya," gumamku dalam hati, mencoba memahami betapa rumitnya segala hal.

Aku masih seorang siswa SMP, tapi beban yang kurasakan terasa begitu berat. Sebagai anak pertama, aku selalu diajari untuk bertanggung jawab.

Aku harus menyelesaikan segala sesuatu sendiri, tidak boleh mudah takut, walaupun sebenarnya aku adalah orang yang paling takut terhadap risiko, terutama jatuh dari motor.

"Aku baru sadar, sudah lama sekali bapak dan mamak tidak memelukku lagi,"

Mungkin karena mereka beranggapan bahwa aku sudah cukup dewasa untuk tidak lagi membutuhkan kasih sayang dalam bentuk pelukan, dan mereka mulai menunjukkan kasih sayang mereka dengan cara yang berbeda.

 Mungkin itu adalah cara mereka melatihku untuk menjadi lebih dewasa dari usiaku.

\~\~\~

Langkahku terasa berat saat aku melangkah pulang dari kebun, memikul beban berat pisang di pundakku.

Seperti biasa, aku membawa pulang hasil panen seperti orang dewasa. Tapi kali ini, pikiranku melayang ke sesuatu yang lebih dalam.

Aku memikirkan bagaimana beban-beban ini mungkin telah membentuk tubuhku. Mungkin karena aku terbiasa membawa pulang pisang di pundakku, aku tidak tumbuh  tinggi seperti teman-temanku.

Beban yang terus-menerus, meskipun hanya sekadar buah pisang, terasa seperti memikul dunia di pundakku.

Selain itu, aku sering membantu bapak di kebun karet termasuk ketika panen karet tugasku ngumpulin karet pakek ember, kadang juga mengangkut sawit, membawa dua jerigen air besar, atau mencari kayu bakar. Kadang, aku bahkan membantu bapak untuk mbabat kebun.

\~\~\~

Dengan langkah berat, aku membuka pintu belakang rumah, menyeret beban pisang masuk ke dalam. Bapak sudah duduk tenang di depan tungku.

"Ngapa nangis?" tanya bapak, matanya melirik ke arahku.

"Kelilipan," jawabku singkat, mencoba menutupi perasaan yang sesungguhnya.

Setelah itu, aku minum, minum yang banyak, sampek  perutku rasanya gak nyaman.

"Jangan suka ngeluh. Lakukan semua hal dengan hati yang lapang," nasehat bapak dengan suara yang hangat.

Aku mencoba menahan tangis, tapi kata-katanya menusuk jantungku. Aku tidak bisa merasa lapang seperti yang diinginkannya. Aku merasa terkekang, terjebak dalam beban yang terus bertambah.

Dan katanya, menahan perasaan yang terpendam tidak akan baik. Dan anak yang terlalu patuh juga tidak baik. Itu artinya, ada yang salah dengan anak itu.

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya berjalan dengan langkah berat menuju kamarku, meninggalkan bapak sendirian di depan tungku.

\~\~\~

Aku tahu beban hidup yang dipikul oleh bapakku bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.

Sejak kecil, dia sudah harus menjadi tulang punggung keluarganya karena menjadi anak laki-laki satu-satunya.

Meskipun dia adalah anak termuda, tapi tanggung jawab yang dia emban justru sangat besar.

Dia adalah sosok yang tegas, tanpa kompromi. Dia selalu mengatakan kepadaku bahwa segala sesuatu harus dilakukan sendiri, karena dia sendiri pernah merasakan betapa sulitnya hidup.

Tapi terkadang, aku bertanya-tanya, jika dia pernah mengalami kesulitan yang begitu besar, mengapa dia juga begitu keras terhadapku?

1
Amelia
halo salam kenal ❤️🙏
Atika Norma Yanti: salam kenal juga ya😄
total 1 replies
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya
Anita Jenius
seru nih mengangkat masalah pembullyan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!