Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Sisi Lain Dari Pagar Sekolah: Pengalaman Dan Penyesalan

Part 1

Panggil aku Alisa aja, ya (bukan nama asli, sih). Cerita ku dimulai pas aku meluncur ke SMP di tahun 2014. Nah, waktu itu kan lagi heboh-hebohnya tuh soal pembulian, bikin sekolah ku nggak jadi adain MOS yang biasanya rame banget. Sebagai gantinya, kita dikasih acara Pengenalan Lingkungan Sekolah atau PLS, biar lebih santuy tapi tetep seru.

Pas pertama kali aku masuk SMP, aku langsung ditempatin di kelas VII A. Begitu aku melongok ke dalam kelas, langsung deh aku rasain atmosfernya yang beda. Banyak anak yang tinggi-tinggi kayak tiang listrik. Trus, cewek-ceweknya juga, waduh, muka-muka badas semua, tatapannya aja udah bikin hati ciut nyalinya.

Nah, karena aura kelas yang agak intimidating gitu, aku memutuskan buat mencari safe zone. Aku akhirnya gabung dengan geng yang pendiam-pendiam. Ini lho, grup anak-anak yang kalau di kelas tuh jarang  ada yang nyadar keberadaannya, karena mereka tenang-tenang aja, nggak banyak cingcong.

\~\~\~

Sebulan pertama sekolah sih, bisa dibilang lancar jaya. Aku nggak ketemu sama yang namanya di-bully atau dikasarin, jadi bisa dibilang, aku aman-aman aja. Tapi, di kelas ku, ada segelintir orang yang hobinya nyebelin banget. Mereka ini suka banget ngeledek orang lain dengan cara yang nggak pake otak, alias sembarangan dan nggak lucu.

Di kelas ku, ada situasi yang bisa dibilang agak wild. Jadi, gini, beberapa anak di kelas ini suka main malak. Bukan cuma ke anak kelas, mereka juga berani malakin siapa aja yang kebetulan lewat depan kelas. Gimana nggak bikin kening berkerut?

Terus, nih, yang cewek-cewek di kelas ku, banyak yang hobi caper—attention seeker gitu lah. Dimana-mana harus jadi pusat perhatian, dari mulai gaya berpakaian sampai cara ngomong yang sometimes too much.

Yang cowok? Jangan ditanya. Master gombal semua. Mulutnya nggak pernah berhenti ngeluarin kata-kata manis yang kadang bikin siapapun yang denger bisa setengah mual setengah baper.

\~\~\~

Hari itu, pelajaran IPS dan yang ngajar adalah Bu Mia, wali kelas kita. Bu Mia ini dikenal galak banget, jadi tiap dia masuk kelas pasti ada aja yang jadi sasaran omelannya. Begitu juga hari itu, dia langsung ngomentarin keadaan kelas yang kotor banget karena baru aja abis hujan gede, jadi banyak gedobal, tanah dan lumpur yang nyangkut di lantai kelas dari sepatu kita semua.

"Kelas kalian ini kayak kebun binatang, kotor," kata Bu Mia dengan muka yang jelas-jelas nggak suka.

Trus dia melototin kelas sambil tanya, "Siapa yang piket hari ini?"

Empat dari kita, termasuk aku, angkat tangan sebagai tanda jawab. Mata Bu Mia langsung menyorot kita. Jujur, jantung rasanya mau copot pas itu.

"Jam istirahat nanti bersihkan," perintahnya dengan nada serius.

Kami yang ditunjuk sebagai petugas piket saling pandang. Ada rasa lega karena ternyata hari ini kita nggak kena marah-marah lebih lanjut, tapi ya tetap aja harus bersihin 'kebun binatang' ini.

Setelah kami semua ngucapin "Baik, Bu" secara kompak, tiba-tiba aja kelas jadi sepi banget, macam di film-film pas adegan tegang gitu.

Bu Mia langsung buka suara, "Pengaturan tempat duduk kelas ini kurang bagus," komentarnya.

Duh, gayanya serius banget, bikin semua orang di kelas langsung tegang. Bener-bener deh, tiap Bu Mia ngomong pasti ada aja yang bikin kita semua jantungan.

"Lihat nih, kalian ini mahkluk sosial, bagaimana bisa saling mengenal dan akrab kalau cuma temenan sama orang yang udah kenal dari SD?" lanjut Bu Mia.

"Ibu bakalan atur tempat kalian semua." Wah, mendengar itu, rasanya kayak mau naik roller coaster aja, deg-degannya minta ampun.

"Kalian semua berdiri di belakang," perintah Bu Mia.

Tanpa banyak cingcong, kami semua langsung berdiri rapi di belakang kelas, kayak pasukan siap diatur. Bu Mia mulai deh nyebutin nama satu-satu untuk menentukan tempat duduk yang baru.

Jantungku rasanya mau copot, soalnya aku takut banget enggak sebangku lagi sama temen SD-ku atau temen pendiam yang biasa nyaman aku ajak ngobrol.

Dan bener aja, nasib berkata lain. "Alisa, duduk dengan Miranda," ucap Bu Mia.

Sontak aku langsung merinding. Miranda? Itu loh, salah satu anggota geng paling ditakuti di kelas, yang mukanya bisa buat adonan beton langsung mengeras.

Jangan salah, Miranda dan gengnya itu tinggi-tinggi dan punya muka yang kalo dipandang bisa bikin kamu mundur selangkah dua langkah. Belum lagi gosip yang beredar, mereka punya koneksi ama senior-senior yang catatannya di buku piket lebih banyak daripada prestasinya. Jadi bisa dibayangin dong, gimana deg-degannya hati kecilku.

Di pojokan kelas yang rada suram itu, aku ditempatin sebangku sama Miranda, anaknya para geng serem yang suka bikin deg-degan sekelas.

"Lu aja yang deket jendela," katanya santai.

"Iya," jawab ku agak kikuk.

Asli, nervous banget! Pas aku duduk, pikiran ku udah ngelantur ke mana-mana, mikirin kemungkinan jadi babu buat geng mereka. Sementara itu, sih, lihat temen-temen akrab ku masih bisa ketawa riang sama orang-orang yang sepertinya safe-safe aja buat jadi temen. Lah aku? Hidup ku kayanya bakal full drama deh!

\~\~\~

Pelajaran Bu Mia sebenernya jelas sih, tapi entah kenapa hari itu gue kayaknya lagi gak bisa konsen, semua materi yang dia sampaikan kayaknya angin doang yang masuk ke otak ku, nothing makes sense!

Tiba-tiba aja bel istirahat berbunyi, wah, ini musik terindah yang pernah aku denger hari ini.

Rencana awal sih, mau nyerbu ke kantin sama mantan sebangku, tapi eh, tapi... Miranda, sebangku baru yang killer look itu, ngejegal rencana ku dengan satu ajakan fatal, "Kantin yuk," katanya dengan muka datar.

Dalam hati, ku kayak di persimpangan jalan, bingung abis! Kalo aku tolak dia, takutnya dia tersinggung, tapi kalo aku iya-in, kayaknya aku bakal lebih dalam terjebak di jurang sosialisasinya si Miranda ini.

Sementara itu, mata ku kebetulan nyasar ke Lia dan Bina yang udah lari duluan ke kantin, mereka malah sempet-sempetnya melambai ke aku, itu lambaian 'goodbye, friend' atau 'selamat berjuang' dan bisa jadi "kita enggak mau ikut campur'?

Akhirnya dengan segala drama batin yang ada, aku hanya bisa menghela napas dan melontarkan, "Ayuk," seadanya.

\~\~\~

Aku jalan bareng Miranda dan gengnya menuju kantin, dan gak nyangka banget, di sepanjang jalan itu kayanya mereka punya aura 'boss' gitu. Orang-orang yang dari arah berlawanan langsung ngalah dan minggir.

Biasanya kalo aku yang harus lewatin mereka, pastilah aku yang mesti ngibrit ke pinggir, merelakan jalan yang lurus.

Sampai di kantin, wow, mereka langsung dapetin tempat duduk strategis yang selama sebulan aku  sekolah disini, belum pernah sekalipun aku kebagian. Tempat itu selalu penuh, dan kebayang deh, biasanya aku cuma bisa makan di kelas atau lesehan di koridor kelas, yang jelas bukan di 'VIP seat' kayak gini.

Aku ikut mereka duduk, sembari mikir, "Ini sih kayak VIP access pas konser, tapi versi kantin sekolah."

Jadi terasa beda banget, dari yang biasanya cuman bisa ngelihat tempat itu dari kejauhan, kali ini aku bisa langsung menikmati.

Tapi di sisi lain, aku juga jadi mikir, jadi bagian dari mereka itu seperti dapet 'privilege' istimewa, tapi ada harga yang mesti dibayar.

Terpopuler

Comments

Amelia

Amelia

halo salam kenal ❤️🙏

2024-05-17

1

Anita Jenius

Anita Jenius

seru nih mengangkat masalah pembullyan.

2024-05-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!