"Dalam Tasbihku, ku langitkan doa atas namamu, meski aku tidak tahu apakah doaku yang akan pulang sebagai pemenangnya." ~ Hawaa
Hubungan persaudaraan tak sedarah yang sudah terjalin ternyata menumbuhkan cinta diantara Adam dan Hawaa, tapi semua itu harus terhalang, saat Adam memilih menganggap Hawaa hanya sebatas saudara.
Hawaa yang telah kecewa, kembali dibuat terluka saat Adam datang mengenalkan kekasihnya, Anissa yang ingin Adam ajak serius.
"Saat kamu melangitkan doa dengan nama orang lain, kamu harus siap menerima jawaban, dari doa itu." ~ Adam
Inikah jawaban, dari Doa yang Hawaa langitkan, ataukah ada jawaban lain yang belum kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Tiga
"Nisa, kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan?" tanya Adam.
"Aku sadar, bahkan sesadar-sadarnya! Dua bulan aku kira itu sudah cukup untuk aku bertahan. Sedikitpun tak ada perubahan pada dirimu. Jika kamu mencintai Hawaa, kenapa menikahi aku bukan dia? Kamu takut dengan Abi? Seharusnya kamu itu gentle, berterus terang tentang perasaanmu itu pada kedua orang tuamu!" ucap Annisa dengan suara makin tinggi.
Mungkin kesabarannya telah sampai puncak. Dia tak bisa lagi menahan luapan emosi. Tak peduli ada yang mendengar.
"Apa nada bicaramu tidak bisa direndahkan sedikit, Nisa. Nanti ada yang mendengar," ujar Adam mencoba mengingatkan Annisa.
"Kenapa jika ada yang mendengar? Kamu takut mengakui perasaanmu itu. Kamu dan Hawaa itu sebenarnya saling cinta, tapi gengsi mengatakan. Takut tak direstui juga. Seharusnya jika sadar kalian sulit untuk bersatu, lupakan cinta konyol kalian!" ucap Annisa semakin terlihat emosi.
"Nisa, semua bisa dibicarakan baik-baik, jangan pakai emosi," ucap Adam dengan suara pelan. Sepertinya tingkat emosinya rendah, sehingga tidak terbawa-bawa emosi.
"Baiklah, besok kita bicara bertiga dengan Kak Hawaa. Ada banyak yang ingin aku tanyakan!" balas Annisa.
"Kenapa harus melibatkan Hawaa, Nisa?" tanya Adam masih dengan suara lembut.
"Tentu saja harus melibatkan Kak Hawaa, karena ini ada kaitannya dengan dia. Makan siang kita bicara bertiga!" seru Annisa.
Adam terpaksa menganggukan kepalanya tanda setuju. Dia takut suara keras Annisa terdengar Abi dan Bunda.
Setelah Adam setuju, Annisa lalu membaringkan tubuhnya. Dia membelakangi suaminya itu. Mencoba menahan tangis. Semua juga ada andil dari dirinya. Dia juga salah. Bukankah dari awal dia tau jika cintanya Adam bukan untuknya. Kenapa mau menerima lamaran dan pernikahan ini.
Namun, Annisa berharap dengan kebersamaan akan tumbuh rasa cinta pada diri pria itu. Apakah dia salah mengharapkan cinta Adam? Gadis itu bertanya dalam hatinya.
***
Pagi hari setelah sarapan, Annisa langsung menemui Hawaa yang sedang mengobrol dengan bunda. Dia tak mau menunda lagi, harus menyelesaikan sekarang juga, biar semua ada titik terangnya.
"Kak Hawaa, nanti makan siang kita ke kafe, ya. Bisa'kan?" tanya Annisa.
"Tentu saja, Dek. Kita berdua saja?" Hawaa balik bertanya.
"Bertiga dengan Adam, Kak!" jawab Annisa.
Hawaa sebenarnya cukup terkejut mendengar ucapan adik iparnya itu. Namun, ditutupi dengan senyuman.
"Boleh ...," jawab Hawaa.
Setelah mengatakan itu, Annisa pamit dan masuk ke kamar. Dia tak ingin mengganggu anak dan ibu yang sedang melepas kangen itu. Adam tadi mengajak istrinya pulang, tapi Anisa menolak karena ingin mengajak Hawaa makan siang.
Annisa menduga suaminya itu sengaja mengajak pulang agar dia melupakan keinginan mengajak Hawaa. Tapi, tekadnya sudah bulat untuk bicara bertiga.
***
Setelah solat Zuhur, Hawaa mengajak Annisa untuk pergi sesuai janji mereka. Dalam perjalanan ke-duanya saling diam. Terlihat sekali kecanggungan.
"Kita makan dimana, Nis?" tanya Hawaa memecahkan kesunyian di antara mereka.
"Di kafe X aja, Kak. Adam telah menunggu di sana!" jawab Annisa.
Hawaa lalu melajukan mobil menuju kafe yang Annisa katakan. Sepanjang jalan, Nisa sesekali melirik ke arah gadis di sebelahnya.
Annisa mengagumi ketenangan Hawaa. Dia juga selalu tersenyum walaupun tidak sedang bicara dengan seseorang.
"Pantas Adam sangat mengagumi Hawaa, walau dia manja tapi dia bisa tenang menghadapi semuanya. Aku yakin dia tau jika ada yang ingin aku katakan, tapi tetap bisa tenang," gumam Annisa dalam hatinya.
Satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di tujuan.Ketika masuk ke restoran, Adam telah menunggu di sana. Pria itu mempersilakan keduanya duduk. Seperti biasanya pria itu lalu memesan makanan untuk sang kakak. Dan kembali juga dengan istri bertanya.
"Kamu mau pesan apa, Nisa?" tanya Adam.
"Apa kamu tak mengetahui satu pun makanan kesukaanku, Dam?" Annisa balik bertanya.
Annisa tersenyum miring. Dua tahun lebih mereka dekat, tak ada satupun makanan yang dia suka tersimpan di memori otak Adam. Padahal mereka telah serumah selama dua bulan.
"Maaf, Nisa!" ucap Adam lemah karena merasa sangat bersalah.
"Kata maaf dari kamu itu basi, Dam. Bosan aku mendengarnya. Hanya maaf yang bisa kamu ucapkan tanpa mencoba untuk memperbaiki atau merubah yang salah!" ucap Annisa mulai lagi terbawa emosi.
Annisa menarik napas dalam. Entah mengapa dia selalu saja terbawa emosi jika mengobrol dengan Adam.
"Astaghfirullah, Nisa. Kenapa bicara begitu?" tanya Hawaa. Dia yang tak pernah marah atau terbawa emosi merasa takut mendengar ucapan Annisa yang cukup tinggi. Apa lagi Adam itu telah menjadi suaminya.
"Kamu tak akan mengerti jika tak berada di posisi aku saat ini! Apa kamu tau jika sampai detik ini aku tak pernah di sentuh oleh Adam karena di pikiran dan hatinya hanya ada kamu, kamu dan kamu!" ucap Annisa makin tersulut emosi.
Ucapan Annisa itu bukan saja membuat Hawaa terkejut tapi juga Adam. Dia tak menyangka sang istri akan mengatakan semua rahasia rumah tangga mereka pada Hawaa.
"Kenapa dengan aku, Nisa?" tanya Hawaa dengan suara pelan karena masih syok dengan ucapan adik iparnya itu.
"Jangan pura-pura tak mengerti Kak Hawaa. Adam itu mencintai kamu. Dia menikah denganku hanya untuk mencoba menghilangkan rasa cintanya padamu. Dia takut tak direstui Abi dan Bunda. Aku ini hanya dinikahi sebagai istri pajangan!" ucap Annisa makin emosi.
...----------------...