Anastasya menikah dengan Abimayu karena perjodohan orang tua mereka. Namun setelah menikah Abimayu bersikap acuh kepada Ana karena dia belum bisa menerima Ana dalam hidupnya. Sedangkan Ana telah lama jatuh cinta kepada Abimayu sejak pertama kali melihatnya. Ana terus berusaha untuk membuat Abimayu agar bisa menerima dirinya. Tapi Abimayu tetap tidak bisa menerimanya setelah mengetahui Ana adalah wanita yang suka pergi ke klub malam.
Mampukah Ana meluluhkan Abimayu sampai Abimayu menerimanya?
Mampukah Ana bertahan mencintai Abimayu disaat Abimayu selalu mengabaikannya?
jangan lupa lanjutkan baca kisahnya disini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adwiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, mereka akhirnya sampai di pesantren tempat tinggal orang tua Abimayu. Mereka tiba ketika sudah masuk waktu zuhur.
Sebelum turun dari mobil, Abimayu mengingatkan Ana untuk memakai hijabnya. Ana tidak membantah, dia dengan segera memakai hijab itu di kepalanya.
"Bawa ini! Anggap saja ini sebagai rasa pedulimu kepada orang tuaku."
Hati Ana terasa sakit mendengar ucapan Abimayu. Sampai begitu nya Abimayu menilai dirinya. Abimayu menganggap seolah dia tidak memiliki rasa kepedulian dan rasa hormat lagi kepada orang yang lebih tua. Dia juga tahu caranya untuk menghormati orang lain, apalagi ini adalah mertuanya. Tidak semua yang ada pada dirinya adalah keburukan. Dia juga manusia yang punya hati dan masih tahu caranya untuk bersikap baik.
Di sepanjang jalan, kepala Ana bergerak ke kiri dan ke kanan untuk melihat ke sekeliling pesantren itu. Beberapa orang santri yang bertemu mereka menyapa mereka.
"Aku tidak ingin tinggal sendiri di sini, Aku takut!" ucap Ana saat Abimayu ingin pergi sholat berjamaah ke Musholla pesantren, karena sekarang sudah tiba waktu Zuhur dan saat ini abah dan uminya juga sedang tidak ada di rumah. Mereka juga sedang di Musholla ketika zuhur begini.
"Tidak ada yang perlu kamu takutkan di sini. Kalau tidak, kamu boleh ikut aku ke Musholla." ajak Abimayu.
"Ayo!" sambil memegang dan menarik tangan Abimayu untuk segera pergi.
" E.. e... kamu," Abimayu menepuk keningnya. Ana dengan sesukanya menyentuhnya yang sudah berwudhu.
"Jangan sentuh aku!" ucap Abimayu.
"Aku hanya ingin menuruti perintah Mas Abi. katanya aku boleh ikut ke musholla." Ana berkata tanpa rasa bersalah karena telah membatalkan wudhu Abimayu.
"Tapi kamu tidak boleh sembarangan menyentuhku, " jelas Abimayu.
"Jika tidak ingin disentuh walaupun hanya sebatas memegang tangan, aku akan memberi tahu abah dan umi tentang kita." Ana mengancam karena tidak mengerti apa maksud dari perkatsan Abimayu.
"Bukan karena itu," ucap Abimayu lagi.
Abimayu kembali ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, dan memutuskan untuk sholat di rumah saja karena lama berdebat dengan Ana, dia sudah mendengar dari pengeras di Musholla bahwa shalat jamaah sudah dilaksanakan.
Sedangkan Ana memilih duduk di ruang tamu sambil melihat ke sekeliling rumah. Dia merasa rumah orang tua Abimayu sangat sederhana dan terasa nyaman.
"Pakai kembali hijabmu! sebentar lagi, umi dan abah akan segera datang," ucap Abimayu setelah selesai shalat, karena dia melihat bahwa Ana sudah melepaskan hijabnya. Ana ternyata tidak mendengar apa yang telah dia katakan sejak dari rumah mereka sebelum berangkat.
"Aku masih kepanasan, Mas!" tolak Ana karena dia sangat risih jika harus memakai hijab, apalagi sekarang masih berada di dalam rumah, rasanya tidak terlalu perlu untuk memakainya.
"Ana!" Abimayu menekan suaranya memanggil Ana karena merasa geram dengan sikap keras kepalanya Ana saat ini.
Ana kembali memakai hijabnya dengan wajah kesalnya karena melihat Abimayu sudah mulai marah. Seteleh itu Abimayu mengajaknya untuk menunggu orang tuanya di teras depan rumah, supaya mereka tidak terkejut melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba saja sudah berada di rumah mereka.
"Kenapa kalian tidak menunggu di dalam rumah saja?" tanya Umi Aida ketika sampai di rumah sepulang sholat di Musholla dan melihat anak menantunya berada di teras rumah menunggu mereka.
"Tidak masalah, Umi." Abimayu berkata sambil mencium tangan kedua orang tuanya dan di ikuti oleh Ana.
"Hemm. Ayo kita masuk ke dalam. Kalian pasti lelah," ajak Umi Aida kepada mereka.
Akhirnya mereka semua masuk ke dalam rumah.
"Abah ingin makan siang sekarang? tanya umi Aida kepada Kiayai Mustapa." Biasanya sepulang dari shalat zuhur di musholla, mereka akan makan siang bersama.
"Ya. Abah akan makan sekarang!" ucap kiayai mustapa sambil melepas peci di kepalanya dan meletakkan di atas sebuah meja di ruang tamu.
"Ya sudah, ayo kita makan dulu! Kalian juga ikut makan siang dulu! setelahnya kalian bisa istirahat."
Abimayu mengangguk dan berjalan ke arah ruang makan. Di belakangnya Ana selalu mengikutinya tanpa suara karena masih merasa canggung berhadapan dengan mertuanya.
"Ayo, Nak Ana. Kita makan dulu!" Umi Aida berkata sambil menyiapkan hidangan makanan di atas meja.
Abimayu melihat ke arah Ana yang memandangi makanan di atas meja. Dia merasa tidak tenang melihat Ana yang masih diam, karena selama mereka menikah, dia sudah mengetahui selera makanannya Ana. Dia tidak akan makan sembarangan makanan yang sudah ada di depannya. Di rumah mereka pun, Abimayu mengakui, makanan yang setiap hari dimakannya adalah makanan yang tergolong sehat. Ana sudah mengatur semua tentang makanan yang akan ia makan. Meskipun bukan dia yang memasak, tapi dia mengarahkan pelayan untuk membuat makanan itu. Dia sendiri yang akan membuat daftar belanja yang akan dibeli oleh pelayan untuk persediaan bahan makanan mereka.
Makanan yang dimasak oleh uminya hari ini juga termasuk makanan yang sehat. Meskipun terlihat sangat sederhana.
"Nak Ana," Umi Aida memanggil Ana dengan lembut sambil menyentuh pundaknya. "Ayo dimakan makanannya. Maaf, Umi hanya bisa membuat menu makan siang begini."
Ana menggelengkan kepalanya, dia merasa bersalah mendengar ibu mertuanya berkata begitu. Bukannya dia tidak ingin memakan makanan itu, tapi karena dia merasa kagum melihat kesederhanaan yang ada di rumah ini. Kiayai Mustapa adalah orang yang tergolong mampu, tapi dia lebih memilih untuk hidup sederhana daripada bermewah-mewahan, bahkan rumah yang mereka huni ini juga sangat sederhana. Di dalamnya tidak ada sesuatu barang yang hanya dijadikan sebagai perhiasan atau yang tidak berguna. Semua barang yang ada di rumah ini adalah barang yang memang mereka butuhkan.
"Umi tidak bisa masak makanan seperti orang di luar. Tapi masakan Umi juga tidak kalah enak dengan makanan di luar itu. Abah yakin, Nak Ana pasti suka. Bertahun Abah sudah makan masakan Umi, dan menurut Abah, masakan Umi adalah yang terbaik dari makanan lain yang pernah Abah makan." Kiayai mustapa memuji masakan istrinya dan membuat Umi Aida tersipu malu.
Ana tersenyum mendengar itu, lalu mengambil makanan ke dalam piringnya. Dia juga tahu bahwa makanan yang dimasak oleh mertuanya ini adalah makanan sehat dan sepertinya dia tidak menolak untuk memakannya.
Melihat apa yang dilakukan Ana, Abimayu merasa lega dan tenang, karena Ana tidak menolak makanan yang dimasak oleh uminya. Jika tidak, Ana dia tidak menyukai makanan itu, pasti dia akan mengatakannya dengan jelas yang akan membuat Abimayu merasa malu kepada orang tuanya karena sikap Ana yang terlalu terus terang jika tidak menyukai sesuatu.