NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Dan CEO Dingin Nisa And Rey

Gadis Kecil Dan CEO Dingin Nisa And Rey

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Syari_Andrian

Pengingat bahwa Aku tidak akan pernah kembali padamu. "Nico kamu bajing*n yang hanya menjadi benalu dalam hidupku. aku menyesal mengenal dan mencintai mu."

Aku tidak akan bersedih dengan apa yang mereka lakukan padaku. "Sindy, aku bukan orang yang bisa kamu ganggu."

Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitiku kembali

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syari_Andrian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Interogasi Sindy...

Di ruangan yang remang-remang, Sindy duduk terikat di kursi logam dengan wajah penuh kemarahan dan kesombongan yang mulai pudar. Tangannya diikat erat di belakang kursi, dan di depannya berdiri Rey bersama salah satu anak buah Arfan.

"Baiklah, Sindy," kata Rey dengan nada tenang namun penuh tekanan. "Kita bisa melakukan ini dengan cara mudah, atau cara sulit. Pilihan ada di tanganmu."

Sindy mendengus. "Kau pikir aku akan bicara? Kalian tidak tahu dengan siapa kalian berurusan."

Rey menatapnya tajam, lalu memberi isyarat kepada salah satu anak buah Arfan, yang langsung mengambil ember berisi air dingin dan menyiramkan isinya ke tubuh Sindy. Sindy terkejut, menggigil karena dingin, tetapi tidak mengatakan sepatah kata pun.

"Jadi, Sindy," Rey melanjutkan, "katakan siapa saja yang bekerja denganmu. Dan apa rencana kalian sebenarnya?"

Sindy tertawa kecil meskipun tubuhnya gemetar. "Kalian benar-benar naif. Bahkan jika aku memberitahumu, apa yang bisa kalian lakukan? Semua ini sudah terlalu besar untuk kalian kendalikan."

Rey mendekat, menunduk sehingga wajahnya sejajar dengan Sindy. "Oh, kami tahu lebih banyak dari yang kau pikirkan. Dan jika kau tidak ingin hal-hal menjadi semakin buruk, aku sarankan kau mulai berbicara sekarang."

Sindy menyipitkan matanya, mencoba membaca Rey. "Kau hanya menggertak. Kau tidak akan berani menyentuhku."

Rey tersenyum tipis. "Oh, aku tidak perlu menyentuhmu." Dia melirik ke arah anak buah Arfan yang langsung mengeluarkan sebuah laptop dan menunjukkan rekaman yang mereka temukan—dokumen transaksi, foto-foto Nico dan Sindy bersama, serta bukti lainnya.

"Ini hanya sebagian kecil dari apa yang kami punya," kata Rey sambil melipat tangan di dada. "Kami tahu kau dan Nico tidak bekerja sendiri. Kau pikir aku akan percaya kalau kau melakukannya hanya untuk balas dendam? Siapa di belakang ini semua, Sindy?"

Sindy menggertakkan giginya, jelas merasa terpojok. "Aku tidak akan mengatakan apa-apa," katanya dengan suara rendah, tetapi Rey bisa melihat ketakutan di matanya.

Salah satu anak buah Arfan mendekat dengan alat rekaman. "Kami bisa memanfaatkan setiap kata yang kau ucapkan, bahkan tanpa persetujuanmu. Jadi lebih baik kau mulai berbicara sebelum semuanya terlambat."

Sindy tetap bungkam, tapi Rey punya cara lain. "Baiklah. Kalau begitu, aku akan memberitahumu sesuatu. Nico sudah kami lacak. Kami tahu di mana dia sekarang, dan dia tidak akan bisa melindungimu lagi. Kau sendiri dalam semua ini."

Mata Sindy melebar sesaat sebelum dia kembali mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Kalian tidak akan bisa menangkap Nico. Dia lebih pintar dari kalian semua."

Rey tersenyum dingin. "Kami tidak hanya akan menangkap Nico, Sindy. Kami akan menghancurkan semua yang kalian bangun. Kau hanya perlu memutuskan apakah kau ingin menjadi bagian dari kehancuran itu, atau kau ingin menyelamatkan dirimu sendiri."

Hening memenuhi ruangan. Sindy terlihat mulai berpikir keras, tapi ketegangan di wajahnya jelas menunjukkan dia sedang menimbang pilihan. Rey tahu dia telah menanam benih keraguan di pikiran Sindy. Sekarang tinggal menunggu waktu sampai dia menyerah.

"Kau pikirkan saja baik-baik," kata Rey sambil berjalan keluar dari ruangan. "Kami akan kembali, dan aku harap kau membuat keputusan yang benar sebelum semuanya terlambat."

Sindy hanya bisa menatap ke arah pintu yang tertutup dengan pandangan penuh kebencian dan ketakutan.

∆∆

Di kampus, suasana terasa lebih santai bagi Nisa. Meski banyak yang terjadi belakangan, dia berusaha kembali fokus pada kehidupan kuliahnya. Beberapa temannya menyambut hangat ketika dia tiba di kelas, namun beberapa lainnya masih membicarakan gosip seputar kasus Sindy yang sempat menjadi pembicaraan hangat.

"Nisa, kamu dengar kabar tentang Sindy?" tanya Jeni, teman dekatnya, saat mereka duduk di bangku kelas.

Nisa menghela napas, lalu menoleh ke arah Jeni. "Aku dengar, Jen. Tapi aku gak mau terlibat lebih jauh soal itu. Yang penting sekarang aku fokus sama hidupku dan gak mau memikirkan dia lagi."

Jeni mengangguk. "Bagus, Nis. Aku juga setuju. Kamu udah banyak ngalamin hal berat belakangan. Lebih baik kamu jaga energi untuk hal-hal yang penting aja."

Saat kelas dimulai, Nisa mencoba berkonsentrasi, namun pikirannya sesekali melayang ke peristiwa-peristiwa yang terjadi. Ada rasa lega karena Sindy kini sudah tidak lagi menjadi ancaman langsung, tapi dia tahu masih banyak hal yang harus dia hadapi.

Ketika jam istirahat tiba, Nisa berjalan menuju kantin bersama Jeni. Saat sedang mengantre membeli makanan, seorang mahasiswa baru yang terlihat canggung mendekatinya.

"Permisi... kamu Nisa, kan?" tanya mahasiswa itu dengan suara pelan.

Nisa tersenyum ramah. "Iya, ada apa?"

"Aku cuma mau bilang terima kasih," katanya, terlihat agak gugup. "Kamu pernah nolong aku waktu ada yang ganggu di parkiran kampus. Aku gak sempat bilang waktu itu, jadi... ya, terima kasih."

Nisa terkejut sesaat, tapi kemudian mengingat kejadian itu. "Oh, itu. Sama-sama, gak usah dipikirkan. Itu hal kecil kok."

Mahasiswa itu tersenyum canggung sebelum pergi. Jeni menatap Nisa dengan kagum. "Kamu kayak pahlawan kampus aja, Nis. Banyak yang kamu bantu tanpa kamu sadari."

Nisa hanya tertawa kecil. "Aku cuma kebetulan ada di sana, Jen. Itu gak ada apa-apanya."

Namun, di tengah percakapan ringan mereka, mata Nisa menangkap sosok Nico di sudut kantin. Dia terlihat berbicara dengan beberapa mahasiswa lain yang tampak asing. Ada sesuatu dalam ekspresi Nico yang membuat Nisa merasa tidak nyaman.

"Jen, aku ke toilet dulu ya," kata Nisa tiba-tiba, mencoba menghindari pandangan Nico.

Jeni mengangguk tanpa curiga. "Oke, aku tunggu di sini."

Nisa berjalan keluar dari kantin dengan langkah cepat, berharap Nico tidak menyadarinya. Tapi perasaannya mengatakan bahwa ini bukan kebetulan. Nico mungkin sedang merencanakan sesuatu, dan Nisa harus waspada.

Di luar kantin, Nisa mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Rey:

**"Aku lihat Nico di kampus. Aku gak tahu dia mau apa, tapi aku punya firasat buruk."**

Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar dengan balasan dari Rey:

**"Jaga jarak darinya. Aku akan cari tahu apa yang dia rencanakan. Jangan khawatir, aku selalu ada buat kamu."**

Nisa menghela napas dalam-dalam, merasa sedikit lega. Tapi dia tahu, ketenangan ini mungkin hanya sementara. Nico tidak akan muncul tanpa alasan, dan Nisa harus bersiap menghadapi apapun yang akan datang.

1
Ellsya
Lumayan
Guillotine
Nyesel kalo gak baca.
thalexy
Thor, masih ingat sama penggemar yang gak sabar nungguin kelanjutan ceritanya?
Regrater
Kepayang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!