Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 23
Mamah memang keterlaluan, bukannya membantu dia justru memintaku mendatangi Shanum dan memintanya untuk mencabut gugatan. Beginilah jadinya, aku hanya dipermalukan di sana meski sudah menyingkirkan egoku.
Sebagai laki-laki aku pantang memohon, tapi untuk kali ini aku justru melakukannya. Lihat saja, Shanum. Hari ini kamu telah menginjak-injak harga diriku. Besok atau lusa kamulah yang akan aku rendahkan. Roda kehidupan ini berputar, tak akan selamanya aku berada di bawah.
"Sial! Shanum memang keterlaluan, bukannya kasihan dia malah bikin aku malu." Aku geram, ingin rasanya mencabik-cabik wajah sok cantik perempuan itu.
Dulu, aku memang pernah mengagumi. Dia sahabatku yang terbaik, selalu berbagi, tak pernah sungkan membantu. Royal dan tidak perhitungan. Sempat aku merasa beruntung karena akhirnya dapat menikah dengan Shanum. Akan tetapi, sikapnya yang mengatur membuatku merasa tak dihargai.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah memberitahu Mamah perihal hasil rengekanku kepada Shanum. Dia harus tahu kalo istriku itu keras kepala dan tidak mau mengalah.
"Gimana? Kamu berhasil rayu dia, 'kan?" sambar Mamah begitu aku masuk ke dalam rumah.
Kuhela napas, kubanting diri di sofa berseberangan dengan tempat duduk wanita itu. Ia menatapku tak sabar, ingin tahu hasilnya.
"'Kan, Raka udah bilang kalo Shanum itu nggak akan pernah berubah pikiran. Dia itu keras kepala, Mah. Mentang-mentang punya Banyak uang, nggak pernah bisa ngehargain Raka. Cuma bikin Raka malu aja tahu nggak," sungutku seraya mendengus kesal berpaling dari tatapan Mamah.
Mamah mendesah berat, terlihat tak terima dengan hasil yang aku bawa karena ia harus merelakan tabungan untuk aku pakai nantinya.
"Terus gimana?" tanya Mamah ragu dan enggan.
"Ya, terpaksa Raka pinjem tabungan Mamah dulu. Jangan perhitungan sama anak, Mah. Ini juga, 'kan, buat kebaikan Mamah," ujarku merayu wanita pelit di hadapanku.
Kenapa amat perhitungan dengan anak sendiri? Padahal uang yang dia punya bukan miliknya pribadi.
"Nanti dulu, Mamah mau coba ngomong sama mamahnya Shanum dulu. Siapa tahu dia bisa ngerayu anaknya supaya batalin gugatan. Kami ini masih sahabat, dan nggak pernah ada masalah selama ini," ucap Mamah menggebu.
Dengan yakinnya ia bangkit dari sofa dan masuk ke kamar. Lalu, keluar lagi sambil menenteng tas dan berlalu pergi dari rumah. Percaya diri sekali Mamah, apa mungkin mamah Shanum mau mendengar ucapan Mamah? Rasanya tidak, tadi saja dia seperti enggan bertemu denganku.
Kurebahkan tubuh, menengadah menatap langit-langit rumah. Terlihat bersih dan rapi setelah ada campur tangan Shanum memperbaiki. Tak kupungkiri dia memang baik, apalagi setelah menjadi istri. Aku hanya tidak menyangka dia akan perhitungan pada akhirnya.
Kucoba memejamkan mata, malas untuk beranjak. Bahkan, aku membiarkan toko ditangani Doni dan Irwan. Sama sekali tak pernah melihatnya. Biarlah, meski begitu pemasukan toko selalu datang ke rekeningku. Enaknya menjadi bos, tanpa bekerja uang terus berdatangan.
Dering ponsel yang berbunyi menyentak lamunan, kurogoh saku dan melihat si penelpon. Shila lagi? Mau apa dia sebenarnya?
"Hallo!"
Enggan sebenarnya mengangkat telpon dari perempuan itu, tapi aku merasa kasihan terhadapnya karena laki-laki yang sudah menanam benih di rahim Shila tak ingin bertanggungjawab. Pengecut.
Raka kamu di mana? Aku minta maaf, aku udah denger tentang kamu sama Shanum.
Shila terdengar sedih, suaranya lirih dan bergetar. Aku tak tega mendengarnya. Rasa kesal di hati terhadapnya menguap begitu saja. Dia perempuan menyedihkan, direnggut dengan paksa kesuciannya, tapi kemudian diabaikan.
"Aku di rumah. Udahlah, nggak usah minta maaf. Semua ini udah takdir yang harus aku jalanin." Aku mencoba menenangkan Shila saat isak tangis tertangkap gendang telinga.
Aku ngerasa salah karena gara-gara kamu bantuin aku, Shanum jadi salah paham. Padahal aku nggak bermaksud buat rumah tangga kalian hancur. Aku cuma butuh teman yang bisa nguatin aku menghadapi masalah ini.
Tangis Shila semakin menjadi, semakin tidak tega rasanya. Kenapa Shanum harus salah paham, dan tidak bisa menjadi teman Shila? Seharusnya mereka akrab jika saja Shanum tidak keras kepala. Hanya karena cemburu dia terus salah paham.
"Udahlah, nggak apa-apa. Kamu jangan banyak pikiran, kasihan anak yang ada di kandungan kamu, Shila."
Aku menasihatinya, khawatir dengan keadaan Shila. Aku takut dia kembali nekad seperti waktu itu. Benny memang keterlaluan, sudah berbuat, tapi tidak mau bertanggungjawab. Laki-laki pengecut, bisanya bercocok tanam terus meninggalkan.
Makasih, ya, Ka. Kamu udah jadi teman yang baik buat aku. Nggak benci sama aku, tapi mamah tadi nanyain kamu. Dia sakit lagi, Ka. Terlalu mikirin aku. Dia malu kalo anak ini lahir nanti nggak ada bapaknya.
Shila semakin histeris, menangis mengatakan nasibnya yang malang. Aku tertegun mendengar itu, teringat permintaan mamah Shila waktu aku mengantarnya pulang dulu.
"Tante tahu kamu udah punya istri, tapi Tante yakin kamu masih cinta sama Shila. Tolong Tante, tolong bantu Shila. Dia pasti jadi bahan gunjingan kalo melahirkan anak tanpa suami. Laki-laki yang menghamili Shila nggak mau tanggung jawab dan malah nyuruh Shila buat gugurin kandungannya. Kalo kalian masih saling cinta, Tante harap kamu mau nikahin Shila diam-diam aja nggak apa-apa. Sirih juga nggak apa-apa, asal Shila nggak malu nantinya."
Aku menghela napas mendengar permohonan dari wanita itu. Sungguh berat hatiku sebenarnya. Di sisi lain ingin membantu Shila, tapi di lain sisi ada Shanum sebagai istriku. Belum sempat berbicara saja, Shanum sudah melayangkan gugatan cerai. Rumitnya hidupku.
"Nanti aku ke sana jenguk mamah kamu. Udah, ya. Aku mau istirahat."
Kuakhiri panggilan setelah memastikan Shila baik-baik saja. Kembali merenung menatap langit-langit rumah. Apa aku terima saja penawaran mamahnya Shila, ya. Jangan bilang sama Mamah dan Papah, mereka nggak akan pernah setuju.
Jujur, aku memang masih mencintai Shila. Sempat aku berharap dia akan kembali padaku dan menjelaskan semuanya. Ternyata dia tidak datang karena malu telah mengalami hal buruk dalam hidupnya. Ia takut jika aku tidak dapat menerima ketidaksuciannya itu. Padahal, hanya berbicara jujur saja aku pasti akan mengerti.
****
Aku tersentak ketika baru saja terlelap di sofa. Membuka mata dengan cepat dan mendapati Mamah yang duduk melipat kedua tangan dengan wajah cemberut.
"Kenapa, Mah? Kok, kelihatannya kesal begitu?" tanyaku seraya bangkit dari rebahan dan duduk dengan malas.
"Mertua kamu juga ternyata sama keras kepalanya, Raka. Dia menolak permintaan Mamah, padahal Mamah udah akting nangis-nangis di depan dia. Tetap aja, dia nggak mau Shanum mencabut gugatannya," cerocos Mamah dengan wajahnya yang memerah.
Aku tertawa mendengar cerita Mamah, ditambah ekspresi wajahnya yang kurasa amat lucu.
"Udah Raka bilangin, Mamah, sih, ngeyel. Udahlah, kasih pinjem Raka uang Mamah aja. Emang cuma itu jalan satu-satunya," cibirku sembari menadahkan tangan.
Mamah mendengus, dan pergi masuk ke kamarnya.