Rania terjebak dalam buayan Candra, sempat mengira tulus akan bertanggung jawab dengan menikahinya, tapi ternyata Rania bukan satu-satunya milik pria itu. Hal yang membuatnya kecewa adalah karena ternyata Candra sebelumnya sudah menikah, dan statusnya kini adalah istri kedua. Terjebak dalam hubungan yang rumit itu membuat Rania harus tetap kuat demi bayi di kandungannya. Tetapi jika Rania tahu alasan sebenarnya Candra menikahinya, apakah perempuan itu masih tetap akan bertahan? Lalu rahasia apakah itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 Ada Yang Tidak Terima
Walaupun rumah ini besar dan mewah, tapi Rania tetap merasa bosan karena tidak melakukan apapun di sana. Ia sudah berkeliling rumah itu, melihat setiap ruangannya juga. Selanjutnya menenangkan diri di dekat kolam, juga melihat bunga-bunga. Itu saja tidak cukup, tetap membuatnya bosan.
"Mbok Nina lagi kemana ya? Kok gak ada sih?" tanyanya seorang diri.
Kalau ada wanita paruh baya itu, mungkin mereka mengobrol lagi membicarakan apapun. Rumah besar ini hanya dirinya seorang jadi terasa sepi dan sunyi. Rania memutuskan bersantai di sofa yang ada di ruang TV, lalu memejamkan matanya.
Brak!
Pintu utama yang terbuka dengan keras membuat Rania kembali membuka mata. Ia beranjak untuk melihatnya, mengernyit bingung melihat kedatangan seorang wanita dewasa dengan penampilan glamor nya masuk. Rania pun memutuskan menghampirinya.
"Maaf anda siapa ya?" tanyanya.
Tatapan wanita itu memicing, "Saya yang harusnya tanya kamu siapa, kenapa ada di rumah ini?" tanyanya balik.
"Nama saya Rania, saya--"
"Oh jadi kamu yang namanya Rania? Kamu istri keduanya Candra, kan?"
Rania sedikit terkejut mendengar nada suara wanita itu yang keras, Ia pun mengangguk pelan. Tatapan wanita itu pun semakin tidak suka, membuat Rania dilanda rasa tidak nyaman. Sebenarnya siapa?
"Dasar pelakor, wanita murahan kamu. Tidak tahu malu sekali sudah menjadi orang ketiga di rumah tangga orang lain!" omelnya marah.
"Sa-saya tidak begitu," bantah Rania.
"Mau ngeles apa kamu hah? Bahagia kamu dinikahin suami orang yang kaya raya?"
"Bukan Bu, saya juga sebenarnya tidak tahu kalau Mas Candra itu sudah menikah. Dia juga yang lebih dulu menjanjikan akan menikahi saya."
"Mana mungkin kamu gak tahu, dasar gak tahu diri. Kamu pasti yang duluan godain Candra kan? Sampai kalian tidur bareng. Benar-benar menjijikan!"
Rasanya dada Rania sakit sekali dituduh seperti itu, Ia yang ingin membela pun tidak mau didengar dan terus dibantah dengan suara keras. Terlihat sekali aura kebencian dari wanita paruh baya itu, jadi siapakah dia?
"Kamu tidak tahu siapa saya? Saya Ibunya Livia, kasihan sekali anak saya itu pernikahannya sudah kamu hancurkan."
Ternyata Ibunya Livia, batin Rania.
"Bu, tolong percaya kalau saya tidak bermaksud menjadi orang ketiga di pernikahan anak Ibu. Mas Candra yang perkosa saya sampai saya hamil, tapi kenapa anda menyalahkan saya di sini? Menganggap saya orang yang paling bersalah."
"Heh memang kamu yang salah, kalau saja kamu tidak bekerja di Villa itu pasti tidak akan kejadian."
"Tapi saya kerja di sana juga hanya jadi pembantu, saya tidak pernah terbayangkan juga akan mengalami kejadian seperti itu."
"Biasanya memang selingkuhan itu selalu tidak mau di salahkan ya, padahal kamu dan Candra sama-sama saja salah."
"Terserah Ibu mau percaya atau tidak, yang pasti saya sudah menjelaskan dengan benar tadi."
"Dasar orang kampung, tidak punya sopan santun sekali ya pada orang yang lebih tua."
"Apa?"
"Saya itu aneh sama Candra, kok bisa-bisanya dia tertarik sama cewek kampung yang levelnya jauh di bawah kami. Kamu itu sama Livia gak ada apa-apa nya, anak saya terlalu sempurna. Jangan coba-coba mau menandingi dia kamu!"
"Saya tidak pernah berpikir begitu."
"Huh bohong, pasti kamu sedang merencanakan untuk menyingkirkan Livia kan supaya bisa jadi istri satu-satunya Candra? Nanti setelah itu, kamu bisa menguasai harta dia."
"Anda sudah keterlaluan, berpikir saya seburuk itu."
"Memang, kamu itu sangat buruk di mata saya."
Baru saja akan membalas, Rania meringis merasakan keram di perutnya. Ia menahan tangannya di dinding mencoba tidak terjatuh, sambil mengatur nafasnya yang mulai tidak teratur.
"Kamu tidak akan bisa menjadi orang kelas atas seperti kami, toh kamu dari kampung dan dulunya bahkan cuma jadi babu. Hebat ya bisa naik kasta, sekarang malah jadi Nyonya. Senang kamu?"
"Sudah hentikan," pinta Rania.
"Saya cuma mau sadarkan kamu saja, untuk jaga batasan dan jangan bersikap seperti Nyonya di sini. Ingat ya, Nyonya di sini hanya Livia."
"Terserah Ibu mau bilang dan hina saya apalagi, Ibu kesini hanya mau mengata-ngatai saya, kan?"
"Memang, toh kamu memang harus diberikan pelajaran. Dasar cewek kampung!"
"Kalau sudah, lebih baik Ibu pergi saja dari sini."
Kedua mata wanita paruh baya itu terbelak, Ia pun menunjuk Rania, "Kurang ajar ya kamu, berani ngusir saya hah?!"
"Bukan begitu, tapi Ibu di sini hanya membuat keributan."
"Heh saya itu lebih lama di sini dibanding kamu, kamu baru kemarin aja di sini sudah sombong ya."
Rasanya Rania lelah sekali menghadapi wanita paruh baya itu. Selain telinganya sakit mendengar suara kerasnya, perutnya juga merasa tidak nyaman. Rania lalu berbalik memilih pergi saja, tapi bahunya malah ditahan. Wanita itu mencengkram tangannya, membuatnya kesakitan.
"Mau kemana kamu? Saya belum puas ngata-ngatain kamu!"
"Lepasin."
"Kenapa hah? Kamu ngerasa sekarang kalau kamu itu semurah itu?!"
Tiba-tiba mbok Nina datang dengan tergopoh ke arah mereka, akhirnya pulang juga. Terlihat ke khawatiran di matanya melihat keributan itu, Ia datang terlambat. Sekarang apa yang harus dilakukannya?
"Nyonya tolong lepaskan Nona Rania, kasihan," pinta bi Nina.
"Apa-apa an sih kamu mbok? Kamu kenapa baik ke dia? Lebih belain pelakor ini?!"
"Bukan begitu Nyonya, tapi Nona Rania sedang hamil. Wajahnya sudah pucat, saya takut dia kenapa-napa."
"Halah dia itu lagi akting memelas, padahal pasti di hatinya ketawa puas ngejek saya."
"Tapi--"
"Ahhk." Rania meringis merasa perutnya semakin keram, Ia hampir jatuh tapi untungnya mbok Nina menahan tubuhnya.
"Ya ampun Nona, anda tidak papa?" tanyanya khawatir.
"Perut aku sakit mbok," jawab Rania pelan.
"Kita ke rumah sakit ya Nona? Bibi takut Nona kenapa-napa."
"Cih lebay banget, dia itu gak kenapa-napa!" ketus Ibu Livia sambil menyentak kasar tangan Rania.
Tetapi mbok Nina berusaha mengabaikan wanita rempong itu, memapah Rania keluar rumah untuk pergi ke rumah sakit. Ia akan ikut dan mereka di antar supir, mbok Nina juga dengan perhatian menghapuskan keringat di kening dan leher Rania.
"Nona tahan ya, yang sabar," ucapnya.
"Mbok, telpon Tuan, kasih tahu kalau Nona Rania ke rumah sakit," ucap si supir.
"Iya nanti kalau sudah sampai di rumah sakit mbok telpon. Tono, tolong lebih cepat ya. Kasihan ini Nona Rania kaya nahan sakit."
"Iya ini juga."
Terlihat dua pelayan itu sangat khawatir melihat keadaan Rania, berharap di dalam hati semoga perempuan muda yang sedang hamil itu tidak kenapa-napa. Karena pasti kalau terjadi sesuatu yang buruk, mereka pun akan terkena omelan.