Akibat kesalahannya di masa lalu, Freya harus mendekam di balik jeruji besi. Bukan hanya terkurung dari dunia luar, Freya pun harus menghadapi perlakuan tidak menyenangkan dari para sesama tahanan lainnya.
Hingga suatu hari teman sekaligus musuhnya di masa lalu datang menemuinya dan menawarkan kebebasan untuk dirinya dengan satu syarat. Syarat yang sebenarnya cukup sederhana tapi entah bisakah ia melakukannya.
"Lahirkan anak suamiku untuk kami. Setelah bayi itu lahir, kau bebas pergi kemanapun yang kau mau."
Belum lagi suami teman sekaligus musuhnya itu selalu menatapnya penuh kebencian, berhasilkah ia mengandung anak suami temannya tersebut?
Spin of Ternyata Aku yang Kedua.
(Yang penasaran siapa itu Freya, bisa baca novel Ternyata Aku yang Kedua dulu ya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan Erin
Sudah beberapa hari semenjak kejadian malam itu dan sudah beberapa hari juga Freya tidak melihat sosok Abidzar. Pagi itu, memang mereka masih bertemu. Bahkan setelah shalat berjamaah untuk pertama kalinya itu, Abidzar tak serta merta meninggal Freya. Ia justru meminta bi Asih membawakan mereka sarapan. Alhasil pagi itu mereka pun sarapan bersama di paviliun.
Namun keduanya saling bungkam. Tak ada yang mau memulai pembicaraan. Bagi Freya, tak ada yang harus ia bahas. Dirinya hanyalah rahim tebusan. Dirinya di sana hanya untuk mengandung anak laki-laki tersebut. Setelah apa yang keinginan mereka tercapai, maka ia akan segera dibuang.
Sedangkan Abidzar bungkam karena memang ia bingung harus mengatakan apa. Lidahnya begitu kelu. Setiap kali mulutnya ingin terbuka mengatakan sesuatu, yang ada justru hanya kebingungan. Bingung harus mengatakan apa. Bingung harus membahas apa. Bingung harus melakukan apa. Abidzar akhirnya hanya bisa bungkam.
Apalagi setelahnya, Freya tak muncul sama sekali di rumah depan. Freya memang hanya muncul saat sebelum matahari terbit dan saat Abidzar telah pergi bekerja. Ingin Abidzar mengunjungi Freya, tapi ia bingung apa yang harus ia lakukan saat bertemu nanti. Alhasil, beberapa hari itu, ia tak melihat Freya sama sekali.
Hari ini adalah hari kepulangan Erin. Ia pulang menjelang siang hari. Saat Erin masuk ke dalam rumah, ia tersenyum penuh arti. Apalagi saat mendapati sosok Freya yang sedang mengelap kaca pigura foto pernikahannya dan Abidzar.
"Suamiku terlihat begitu tampan, bukan?" ucap Erin tiba-tiba membuat Freya tersentak hingga refleks membuat pigura itu jatuh ke lantai. Kacanya pun pecah dan berhamburan. Melihat itu, Erin seketika murka. Lalu tanpa basa-basi, ia melayangkan sebuah tamparan yang begitu kuat tepat di pipi Freya.
Plakkkk ...
"Apa kau tidak bisa bekerja dengan becus, sialan!" sentak Freya dengan nafas memburu.
Freya yang terlalu syok hanya bisa menerima tamparan itu dengan pikiran linglung. Saat ia menyadari perbuatannya, Freya benar-benar ketakutan. Ia pun bergegas memunguti pecahan kaca itu dengan tangan hingga tanpa sadar jari-jari tangannya tergores pecahan kaca. Darahnya bercucuran. Namun ia tak sadar. Fokusnya hanyalah mengumpulkan serpihan pecahan kaca tersebut.
"Lihat, foto pernikahanku jadi rusak akibat perbuatanmu. Kau juga mengotori rumahku ini dengan darahmu yang kotor. Dasar perempuan sialan."
"Maafkan aku. Aku-aku tidak sengaja." Cicit Freya dengan mata memanas. Ia memang tidak sengaja. Tapi Erin sepertinya tak sedikit pun mau mengerti. Apakah karena ia adalah musuhnya di masa lalu jadi Erin bisa bersikap semaunya saja? Apa karena dirinya berhutang budi pada Erin, jadi Erin bisa berbuat sesukanya?
"Tak sengaja katamu? Bohong. Kau pikir aku tak bisa membaca pikiranmu, hah? Aku yakin, saat ini kau pun sedang berusaha menargetkan suamiku untuk kau dapatkan sama seperti sebelum-sebelumnya. Kau bahkan menawarkan tubuhmu demi mendapatkan semua laki-laki yang kaya, dasar jalaaang."
"Aku tidak seperti itu." Freya menggeleng dengan wajah yang telah basah air mata.
Erin tersenyum seraya mencibir, "tidak seperti itu? Hahaha ... kau pikir aku percaya? Bahkan semua orang yang mengenalmu pun tau sejalaang apa dirimu."
"Aku bukan jalaaang." pekik Freya tiba-tiba.
"Ya kau bukan jalaang, tapi pelacur, begitu?"
"Aku tidak seperti itu, Rin, nggak. Aku bukan jalaaang. Aku bukan wanita murahan. Aku bukan pelacur. Bukan." Pekik Freya sambil menutup kedua telinganya dengan telapak tangannya yang sudah berlumuran darah. Akibatnya kedua sisi kepalanya pun telah dilumuri darah.
"Erin, ada apa ini? Siapa gadis ini? Darah? Apa yang terjadi? Ya ampun, tangannya? Sebenarnya dia siapa? Dan kenapa gadis ini berteriak seperti itu, Rin?" cecar Sagita-ibu dari Abidzar.
Sontak saja Erin tergagap saat melihat kedatangan Sagita yang begitu tiba-tiba. Bahkan ia sampai tidak menyadarinya sama sekali. Bagaimana bila ibu mertuanya itu mendengar kata-katanya tadi? Bisa hancur reputasinya selama ini.
"Sialan. Kenapa mama bisa tiba-tiba datang sih?" Umpatnya kesal. Namun hanya ia suarakan dalam hati saja.
"Ma ... hiks ... hiks ... hiks ... foto pernikahan kami, Ma. Dia ... dia menghancurkannya, Ma. Dia itu asisten rumah tangga kami yang baru. Tadi Erin minta tolong bersihkan kaca pigura foto pernikahan kami, tapi sepertinya dia tak suka Erin meminta tolong padanya jadi dia ... dia ... menjatuhkan foto pernikahan kami sampai hancur, Ma." Dusta Erin membuat Freya membulatkan matanya. Ia lantas menggeleng dengan cepat. Mengapa Erin tega memfitnahnya seperti itu, batin Freya.
Sagita lantas menoleh ke arah Freya. Melihat wajahnya, entah mengapa Sagita ragu dengan apa yang Erin ucapkan. Apalagi dari sorot matanya yang begitu sayu, pipinya juga tampak memar seperti baru saja mendapatkan tamparan yang cukup keras
'Mungkinkah Erin berbohong? Tapi dia kan menantuku, mana mungkin dia berani berbohong padaku. Untuk apa coba?' Batin Sagita bermonolog.
"Kita bicara nanti ya, Rin. Lihat, tangannya sudah dipenuhi luka. Bisa-bisa lukanya infeksi bila tidak segera dibersihkan dan diobati" Ucap Sagita berusaha bijak tak mau menyalahkan Freya terlebih dahulu.
"Mbak Freya ... " Ana memekik kaget saat mendapati Freya tengah terluka. Ia yang tadi ditugaskan bi Asih membersihkan kamar Abidzar dan Erin benar-benar tak sabar untuk melihat keadaan Freya sebab ia dapat mendengar suara Erin yang sedang marah-marah padanya.
"Ana, ambil kotak obat cepat." Titahnya pada Ana. Lalu ia meminta Freya duduk dengannya di sofa yang tidak jauh dari posisinya saat ini.
"Nanti saja, Nya. Saya masih harus membersihkan kaca-kaca itu. Bagaimana bila nanti terinjak yang lain." Tolak Freya yang memang merasa bertanggung jawab atas kekacauan di rumah itu.
"Ikut saya, sekarang. Urusan kaca itu, bisa diselesaikan yang lain." Setelah mengucapkan itu, Sagita berteriak memanggil Mina. Sagita lantas meminta Mina segera membersihkan kaca-kaca yang berserakan itu setelah Mina muncul.
Dengan hati yang dongkol, Mina pun mengerjakan perintah Sagita. Sedangkan Ana tampak membantu membersihkan dan mengobati luka Freya.
"Untuk sementara lukamu jangan sampai terkena air. Takutnya terjadi infeksi, apa kau mengerti?" Tukas Sagita tegas membuat Freya reflek mengangguk dengan cepat. Setelahnya, Sagita meminta Ana mengantarkan Freya beristirahat.
Saat melihat kemana Ana mengantarkan Freya, dahi Sagita mengernyit. Entah ia merasa ada sesuatu yang aneh di rumah itu. Terutama dengan Freya.
"Dia beneran asisten rumah tangga yang baru?"
"Iya, Ma." Jawab Erin cepat. Dipasangnya ekspresi senormal mungkin. Ia khawatir kebohongannya terkuak sebelum waktunya.
"Tapi ... kenapa dia diantar ke belakang? Bukannya ke kamar para art rumah ini?" tanya Sagita penasaran.
"Oh itu, Ma, kan mana tahu sendiri paviliun di belakang itu lama nggak ditempi. Setahu aku, nggak baik sebuah bangunan dibiarkan kosong dalam jangka waktu yang lama. Jadi Erin memintanya menempati paviliun belakang aja biar sekalian ada yang merawatnya." Dusta Erin.
"Oh." Sagita tampak ber'oh ria saja membuat Erin bernafas lega. Sebaliknya, sebenarnya Sagita masih merasakan sesuatu yang janggal.
"Rin, sebagai majikan bersikap tegas itu boleh, tapi kita juga tidak boleh semena-mena. Jangan hanya karena merasa kita atasan mereka jadi kita bisa bertindak semaunya. Jangan. Mereka pun manusia, butuh dihargai. Bila memang mereka berbuat kesalahan padamu, tegurlah mereka dengan cara yang pantas. Bagaimana pun, kamu menantu kesayangan mama. Mama langsung bersedia menjodohkan mu dengan Abidzar dulu saat mamamu memperkenalkan mu ya karena kelembutan mu itu. Mama nggak ingin kehilangan menantu mama yang lembut dan penuh kasih sayang. Mulai sekarang, cobalah bersikap lebih bijak. Kamu mengerti kan, sayang?"
"I-iya, Ma. Maafkan Erin yang sudah bersikap tak pantas. Erin hanya terbawa emosi." Ucapnya mencoba membela diri.
Sagita mengangguk seraya mengusap punggung Erin.
"Sepertinya Mama memang datang di waktu yang tak tepat." Ucapnya saat melihat koper milik Erin tergeletak begitu saja di atas lantai. Ia pikir Erin akan pergi. Padahal sebaliknya, Erin baru pulang ke rumah. "Kalau begitu, Mama pergi dulu ya. Sampai nanti." Ucapnya lembut. Lalu ia mencium pipi Erin kanan dan kiri. Setelahnya, ia pun segera pergi dari sana dengan membawa sekelumit tanda tanya.
...***...
...HAPPY READING 😍😍😍...
syediiih Thor