Bercerita tentang seorang permaisuri bernama Calista Abriella, yang telah mengabdi pada kekaisaran selama 10 tahunnya lamanya. Calista begitu mencintai Kaisar dan rela melakukan apa saja untuknya, namun cinta tulus Calista tak pernah berbalas.
Sampai suatu peristiwa jatuhnya permaisuri ke kolam, membuat sifat Calista berubah. Ia tak lagi mengharap cinta kaisar dan hidup sesuai keinginannya tanpa mengikuti aturan lagi.
Kaisar yang menyadari perilaku Calista yang berbeda merasa kesal. Sosok yang selalu mengatakan cinta itu, kini selalu mengacuhkannya dan begitu dingin.
Akankah sifat Calista yang berbeda membuat kaisar semakin membencinya atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kleo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Dia akan pergi
Calista yang masih disibukkan dengan pekerjaannya, terlihat bersitirahat senjenak sembari menyeruput tehnya.
Melihat pemandangan luar dari jendela membuat rasa lelahnya sedikit berkurang, Calista menghela nafas panjang dan menatap ketiga pelayannya.
“Elisha,” panggil Calista.
“Ya, yang Mulia saya ada di sini.”
“Sejak tadi kulihat kalian bertiga berwajah murung, ada apa? Apa ada masalah?”
“Y-yang Mulia, se-sepertinya anda tidak perlu tahu,” balas Alie.
“Katakan saja ada apa, aku tidak akan marah.”
“H-hari ini c-cerita tentang Anda yang diserang tersebar dengan cepat. Koran berita banyak memuat tentang kasus anda.”
“Mereka juga memengeluarkan pendapat para rakyat tentang itu, mereka meminta yang Mulia untuk turun dari tahta.”
“Bahkan sekarang banyak rakyat yang berkumpul di depan istana untuk berunjuk rasa.”
“M-mereka bilang seorang yang boros dan hanya berfoya-foya dengan harta rakyat tak pantas menjadi permaisuri, mereka juga menuduh anda pembunuh berdarah dingin.”
“Yang Mulia, saya tidak sanggup mendengar apa yang mereka katakan pada Anda, apa lagi mereka meminta agar yang duduk di kursi permaisuri itu selir kesayangan Baginda.”
Mendengar penjelasan Daisy, Calista tak sedikit pun marah, bahkan tak terlihat tanda-tanda kesedihan. Wajahnya masih tampak tenang menanggapi.
Tak lama guratan senyum muncul di wajah itu, “Jika kalian tak sanggup mendengarnya, maka berpaling dan tutuplah telinga kalian.”
“Aku tidak bisa membuat semua orang menyukaiku. Mereka hanya bisa menilai, sedangkan yang menjalaninya?”
Calista berdiri dari kursi dan kembali menatap keluar jendela, “Jika kita mendengarkan apa kata orang, itu tidak akan ada habisnya. Mereka berpendapat sesuai dengan apa yang mereka dengar, tanpa tahu seperti apa rasanya jika mereka berada diposisi tersebut.”
“Aku tidak peduli. Ya, jika mereka memang berpikir seperti itu tentangku maka silakan saja.”
Calista berjalan menghampiri ketiga pelayannya, “Sekarang kembalilah bekerja, jika terus bersedih itu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Siapkan pakaian yang lebih sederhana untukku, agar aku bisa memasak dengan leluasa di dapur.”
Ketiganya mengangguk dan segera mengikuto perintah tuannya. Sedangkan Calista ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tersisa.
...****************...
Kali ini Calista juga membawa hasil masakannya ke Theodore. Wajahnya tampak tak sabar menemui putranya dan melihat reaksi sang anak ketika mencoba masakannya yang kesekian kali.
Akan tetapi lagi-lagi di tengah lorong Calista kembali bertemu dengan Aaron.
“Selamat siang kaisar Aaron, senang bisa bertemu dengan Anda lagi.”
“Permaisuri Calista, sepertinya Anda tampak berbeda hari ini,” ucap Aaron sembari menatap Calista dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Calista tersenyum, “Ya, karna memasak, saya jadi tak memperhatikan gaun yang saya kenakan.”
“Anda memasak lagi?”
Calista mengangguk, “Saya ingin mencoba berbagai macam makanan dan memberikannya pada Theodore.”
“Anda sunguh seorang ibu sejati,” puji Aaron.
Mendengar pujian Aaron, Calista terkekeh, “Tapi tidak sebanding dengan apa saya lakukan padanya dulu. Saya sangat bersyukur memiliki seorang putra yang bahkan tak sedikit pun menaruh dendam pada ibunya yang jahat ini,”
Aaron menatap lekat Calista, sorot mata penyesalan tergambar dalam dirinya. “Setidaknya anda menyadari kesalahan itu dan segera menperbaikinya.”
“Tapi … saya tidak bisa membayangkan jika orang itu akan meninggalkan putranya. Anehnya ia bertahan di istana hanya untuk menciptakan kenangan indah bersama putranya itu.”
“Saya rasa apa yang dilakukannya adalah hal yang sia-sia, jika pada akhirnya ia memilih pergi, bukankah itu akan semakin menambah rasa sakit dari putra yang ia tinggalkan?”
Calista terdiam sesaat, “Karna dia tidak punya pilihan lain, akan sangat egois jika ia membawa putranya yang memiliki masa depan yang sangat cerah, pergi bersamanya yang bahkan tidak pernah tahu akhirnya seperti apa.”
“Kesalahan dari dirinya sudah sangat banyak, bagaimana ia bisa mengorbankan lagi masa depan putranya.”
“Permaisuri Calista, tapi putra orang itu rela melakukan apa saja demi bersama sang ibu. Bahkan jika ia harus membuang masa depannya yang sudah sangat cerah.”
Calista hanya membalas dengan senyuman simpul, lalu kembali melanjutkan langkahnya.
“Kalau begitu saya permisi kaisar Aaron, semoga hari Anda menyenangkan.”
...****************...
“Terima kasih, Ibu. Ini lebih baik dari yang sebelumnya,” ucap Theodore sembari menyendok kue dessert ke mulutnya.
Di meja bundar berwarna putih itu Calista dan Theodore duduk bersama menikmati desert dan teh.
Calista tertawa kecil, “Berarti sebentar lagi ibu akan ahli dalam memasak.”
“Ya, mungkin akan lebih enak dari masakan para koki istana,” timpal Theodore.
“Ibu bisakah aku bertanya sesuatu padamu?”
“Ya, putraku apa yang ingin kau tanyakan?”
“Kenapa ibu begitu giat belajar memasak, tidak bukan hanya itu, aku dengar ibu belajar merajut, menjahit, dan hal-hal yang tidak biasanya dilakukan oleh seorang bangsawan. Apa ada alasan ibu belajar semua itu?”
Calista tersenyum, tangannya bergerak menyentuh pipi Theodore. “Putraku kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, dan mungkin saja semua itu akan berguna bagi ibu suatu saat nanti.”
“Ibu ingatlah satu hal, kemana pun kau pergi aku akan ikut bersamamu," ucap Theodore.
“Oh, iya, ibu, aku belum sempat menengok keadaan Ayah, apa dia baik-baik saja?”
“Ibu juga tidak tahu, tapi para pelayan bilang Ayahmu masih bekerja seperti biasa di kantornya.”
“Apa Theo ingin mengunjungi Ayah bersama ibu malam nanti? Kebetulan ada yang ingin ibu bicarakan dengan Ayahmu, jadi jika Theo ingin kita berdua bisa pergi bersama.”
Theodore mengangguk, “Ya, akan lebih menyenangkan jika bersama-sama.” Anak itu kembali memasukkan desert ke mulutnya.
Sedangkan sang ibu, ia hanya duduk diam sembari menatap lekat putranya, yang dengan senang hati memakan kue yang ia buat. Ada rasa bangga di diri Calista kala melihat Theodore memakan masakannya.
...****************...
Seperti yang telah dijanjikan, setelah makan malam bersama, ibu dan anak itu berjalan pergi menuju istana kaisar. Akan tetapi sesampainya di sana tak ada tanda-tanda jika sang pemilik istana ada di dalam kamarnya.
Dan benar saja, saat keduanya membuka kamar tak ada Leonardo di sana, bahkan tempat tidurnya masih sangat rapi.
“Pengawal, ada di mana kaisar? Apa dia tidak kembali ke kamarnya?”
“Yang Mulia, sejak kemarin malam Baginda kaisar tidak kembali.”
“Lalu di mana dia sekarang?”
“Baginda ada di ruang kerjanya, Yang Mulia. “
Calista menatap Theodore, “Apa kita pergi ke sana Theo?”
“Kita kan sudah berniat untuk menjenguk Ayah,”
“Baiklah.”
Sembari menggandeng lengan putranya Calista berjalan bersama menuju ruang kerja Kaisar, belum sempat sampai di tujuan. Calista dan Theodore bertemu Leonardo di tengah perjalanan.
Kali ini kaisar tampak berbeda, dirinya yang selalu memakai pakaian kebesaran khas seorang kaisar, kini hanya mengenakan pakain putih polos yang tipis, sehingga dada bidang dan otot-otot perutnya itu samar-samar masih terlihat.
Bukan hanya itu sorot matanya pun sendu dan wajahnya pucat pasi, tak ada semangat yang terlihat dalam dirinya. Bahkan walau ia sudah berhadapan dengan istri dan putranya, tatapan masih kosong.
“Ayah, kami tadi ingin mengunjungimu tapi kau tidak ada di kamar, makanya aku dan ibu ingin pergi ke kantor Ayah, tapi ternyata kita bertemu di sini,” ucap Theodore.
Leonardo tak membalas, tidak bahkan mungkin tak mendengar apa yang dikatakan putranya.
“Yang Mulia Anda tidak apa-ap—”
Belum sempat Calista menyelesaikan kata-katanya, tubuh Leonardo rubuh menghantamnya, membuat Calista yang kekuatannya kalah jauh dari Leonardo terjatuh bersama tubuh sang suami.
“Ayah, Ibu!” teriak Theodore yang terkejut.
“Maaf, Calista. Kali ini aku merasa tubuhku sangat lemah.”
Calista yang terjatuh dengan posisi terduduk di lantai itu pun segera memeriksa suhu tubuh sang suami dengan telapak tangannya.
Wajah panik langsung terlukis di wajah Calista kala tangannya meraba-raba wajah pucat sang suami.
“Suhu badan anda panas, dan anda bekerja seharian tanpa istirahat.”
“Sekarang ayo kita kembali ke kamar, apa anda masih bisa berjalan?”
Leonardo mengangguk.
Calista segera menyuruh pengawal di sekitarnya untuk memaapah tubuh Leonardo ke kamarnya dan merebahkannya di ranjang.
Wajah Theodore tampak panik melihat keadaan sang Ayah. "Ibu kau tunggu di sini, aku akan memanggil dokter untuk Ayah."
“Theo para pelayan yang akan memanggilnya, kita berdua akan menunggu di sini,”
“Tidak, Bu. Aku sendiri yang akan memanggil dokter untuk Ayah,” balas Theodore yang langsung berlari meninggalkan kamar.
sblmnya aku mendukung Aaron, skrg males banget