Ruby Alexandra harus bisa menerima kenyataan pahit saat diceraikan oleh Sean Fernandez, karna fitnah.
Pergi dengan membawa sejuta luka dan air mata, menjadikan seorang Ruby wanita tegar sekaligus single Mom hebat untuk putri kecilnya, Celia.
Akankah semua jalan berliku dan derai air mata yang ia rasa dapat tergantikan oleh secercah bahagia? Dan mampukah Ruby memaafkan Sean, saat waktu berhasil menyibak takdir yang selama ini sengaja ditutup rapat?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzana Raisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Silvia
Brak
"Sean!" Teriakan Margareth bergema, saat mendapati tubuh sang putra tergelincir di tangga sebuah restoran.
Sean meringis. Ia bangun dengan dipapah Margareth. Pandangan semua mata para pengunjung restoran tertuju padanya. Saat ia terjatuh dari anak tangga.
Sean merasakan tubuhnya mendadak lemah dan tak bertenaga. Saat menuruni anak tangga, ia tak mampu menjaga keseimbangan tubuh hingga tergelincir.
"Sean, kau baik-baik saja?." Margareth bertanya seraya menepuk-nepuk tubuh sang putra, memastikan jika Sean dalam kondisi baik-baik saja.
Sementara Sean yang masih terlihat ling lung, mulai bangkit dan menegapkan tubuh. Rasanya memang sakit, beruntung tidak ada luka serius yang dialami.
"Tidak masalah, Ibu. Aku baik-baik saja," jawab Sean yang membuat Margareth menarik nafas lega.
"Syukurlah. Ayo, masuk." Margareth menarik tangan sang putra untuk memasuki restoran di mana seorang gadis sudah menunggu.
Disebuah ruangan kelas Vip, Silvia tampak duduk menunggu. Gadis yang kini mengenakan dress berwarna putih dengan motif bunga tulip sebawah lutut itu sesekali memeriksa arloji di pergelangan tangan serta melirik ke arah pintu masuk ruang Vip Resto. Sudah cukup lama ia duduk menunggu, namun seseorang yang sudah membuat janji belum juga datang.
Silvia mengaduk jus nanas yang tadi dipesan sebelum meminumnya. Derap langkah bersahutan terdengar, gadis itu mendongak, mendapati Margareth beserta putranya datang mendekat.
"Silvia, maaf, kami datang terlambat. Apa kau sudah lama menunggu?." Margareth menjabat tangan Silvia kemudian menarik satu buah kursi yang berada di samping gadis tersebut kemudian mendudukinya.
"Belum, Bibi. Aku juga baru saja sampai," dusta Silvia yang sebenarnya sudah menghabiskan waktu sekitar dua puluh menitan untuk menunggu kedatangan mereka.
Margareth tersenyum lembut ke arah Silvia, didetik kemudian ia menatap heran pada sang putra yang masih berdiri seperti semula.
"Sean, duduklah," titah Margareth.
Pria rupawan itu terlihat menghela nafas sebelum mengikuti perintah sang Ibu untuk duduk. Kedua perempuan itu berbincang hangat, membahas ini dan itu. Margareth juga menanyakan kabar orang tua Silvi juga kemajuan usaha keluarganya kini. Sean hanya diam. Ia justru terfikir ke arah lain di luar dari pertemuannya dengan gadis pilihan sang Ibu.
Ruby, benarkah?.
Hati Sean seakan teriris sembilu. Beberapa bulan berlalu selepas kata talak terucap, rupanya nama Ruby masih belum mampu terhapus dari ingatnya. Sepeninggal Ruby ia kerap memimpikannya di malam-malam sepi. Kerinduan tiba-tiba menyergap. Dalam kesendirian Sean menangis, menangisi kisah cinta yang berakhir oleh pengkhianatan.
Ia berharap jika apa yang sudah terjadi, hanyalah mimpi atau sekadar ilusi. Akan tetapi, sebuah kenyataan seakan kembali menampar kesadaran.
Ruby Alexandra, melahirkan selepas vonis cerai di sahkan.
Sean mengusap wajah kasar. Frustrasi dengan fikirnya sendiri.
"Sean," panggil Margareth begitu mengetahui tatapan kosong sang putra.
"Ya, Ibu."
"Ibu ada pertemuan dengan beberapa teman arisan di tempat lain, kau temanilah Silvia." Margareth tersenyum penuh arti seraya menatap Silvia juga putranya. Pertemuan yang lalu boleh saja gagal saat Sean tiba-tiba mual, dan sekarang hal tersebut tak boleh terulang kembali. Tapi, eh...
Margareth menatap sang putra yang terlihat baik-baik saja selepas bertemu dengan silvia. Tak ada drama mual atau pun berlari ke arah toilet. Ada apa ini?.
💗💗💗💗💗
"Sean." Silvi berinisiatif untuk menegur pria di hadapannya itu lebih dulu.
"Ya," jawab Sean ala kadarnya.
"Senang bisa berkenalan denganmu." Silvi, gadis berparas rupawan itu berusaha memecah suasana dingin yang membelenggu keduanya. Wajah Sean yang datar tanpa senyuman, membuat gadis itu faham jika pertemuan mereka tak dikehendaki oleh sang pria.
Sean hanya menjawab dengan anggukan samar. Dalam diam Silvi menghela nafas dalam.
"Mau aku pesankan minum, atau makanan mungkin?."
"Terserah kau saja."
Begitu mendengar jawaban Sean, Silvi mengangkat tangan pada seorang pelayan yang sigap langsung mendekat.
"Kau ingin pesan apa?." Silvi mengulurkan buku menu yang langsung disambut oleh Sean. Pria muda itu sendiri sejujurnya malas untuk memilih menu, namun akan lebih malas lagi andai Silvia memesankan minuman yang sama dengan apa yang ia pesan pada Sean.
"Ini dan ini," tunjuk Sean pada minuman dan juga makanan yang di pesan.
"Apakah ada tambahan, Tuan?."
"Cukup, itu saja." Pelayan perempuan itu lekas berbalik badan, kembali meninggalkan dua insan berbeda gender itu dalam kesunyian.
Beberapa saat Silvi memilih untuk diam. Memancing agar Sean mau buka suara. Akan tetapi semua tak sesuai harapan, bahkan sampai pelayan membawa menu yang dipesan, Sean masih tetap diam.
Sean mulai menikmati setangkup roti isi juga meminum jus segar miliknya tanpa menawari Silvia. Pria itu terlihat lahap, tanpa menghiraukan seorang gadis yang justru menatapnya kagum.
"Sean," panggil Silvia.
"Heem, ada apa," jawab Sean sembari melahap kembali roti isi dan mengunyahnya. Sean terlihat begitu seakan tak menyadari jika ada seorang gadis yang tengah bersamanya.
"Sebenarnya aku datang ke mari atas permintaan dari.."
"Ibuku?."
"Ya, kurang lebih seperti itu." Sedikit ragu Silvi menjawab, terlebih dengan respon begitu dingin yang ditunjukan oleh Sean.
"Sama denganmu aku pun melakukan hal yang sama. Datang ke tempat ini atas permintaan Ibuku." Kali ini Sean berhenti mengunyah makanan. Sepasang mata elangnya terarah pada sosok gadis di hadapan yang mulai menciut nyalinya.
"Apa Ibuku juga mengatakan jika berencana untuk menjodohkan kita?."
Pertanyaan Sean sontak membuat kepala gadis itu mengangguk. Ia tak mau berbohong atau pria di depannya ini akan menangkap basahnya lebih dulu.
"Dan kau akan menerimanya dan tak berusaha untuk menolak?."
Silvia menelan ludah kasar. Bagaimana ia bisa menolak jika itu sudah menjadi perintah dari ke dua orang tuanya.
"A-aku tidak punya kuasa untuk menolak."
"Karna apa? Tentu kau punya alasannya 'kan?."
Silvia terdiam. Sungguh, sosok Sean jauh dari ekspektasinya. Margareth bahkan mengatakan jika putranya adalah pria yang lembut dan penyayang juga bisa menghargai wanita, tapi apa faktanya?.
"Apakah kau tau, Silvia?." Tatapan Sean mulai melembut. Ia tak mau pertemuan dengan Silvia meninggalkan kesan buruk bagi gadis tersebut. Akan tetapi ia pun tidak ingin meninggalkan kesan manis, hingga Silvia menyetujui rencana perjodohan mereka.
"Aku hanya seorang duda, sedangkan kau masih lajang. Mungkin tanpa aku jelaskan pun kau pasti sudah tau, sebab tidak mungkin jika Ibuku tak memberitahukannya lebih dulu tentang kehidupan pernikahanku dulu kepadamu."
Silvia tersenyum tipis. Ia seolah membenarkan rabaan Sean.
"Ya, aku sudah mendengarnya dari Bibi Margareth."
Sean menghela nafas panjang. Tak mengira jika sang Ibu terlalu jauh mencampuri urusan pribadinya.
"Apa Ibuku juga mengatakan jika mantan istriku berselingkuh, hingga menyebabkan kami bercerai?."
Sebuah anggukan kepala dari Silvi seketika membuat rahangnya mengetat.
Siial.
"Lalu bagaimana menurutmu. Dari semua kisah hidupku yang sudah Ibuku ceritakan kepadamu, tentu kau bisa menilai seperti apa diriku juga kepribadianku. Aku tidak pernah bermain-main dengan perasaan. Seperti dulu, aku begitu sangat mencintai mantan istriku sebelum akhirnya dikhianati. Ketahuilah, Silvia. Aku pria yang tidak mudah jatuh cinta, walau sebanyak apa pun gadis datang menggoda. Tujuan hidupku andalah meraih kebahagian dan menyongsong masa depan dengan orang yang aku cintai. Aku harap, kau bisa mengerti. Bukan bermaksud untuk menolak, hanya saja kita masih butuh waktu."
Silvia tersenyum. Ia kian kagum akan sosok Sean yang teguh pendirian. Ya, pasti perceraian memang meninggalkan luka mendalam bagi Sean, hingga tak berniat untuk cepat-cepat mencari pengganti karna nafsu semata.
"Ya, aku mengerti. Kita masih butuh waktu untuk saling mengenal. Jalani saja, maka akan mengalir dengan sendirinya."
"Kau benar, tapi aku minta padamu agar tak berharap banyak akan tujuan akhir pertemuan ini. Jujur, aku masih belum siap untuk dekat dengan perempuan mana pun, termasuk dirimu." Sean tak ingin basa basi. Bukan kah lebih baik ia berterus terang sebelum timbul kesalah fahaman.
Tbc.
la ini malahan JD bencana gr2 percaya Sama mamaknya