Kembali ke masa lalu, adalah sesuatu yang mustahil bagi Nara.
Tapi demi memenuhi keinginan terakhir sang putri, ia rela melakukan apapun bahkan jika harus berurusan kembali dengan keluarga Nalendra.
Naraya bersimpuh di hadapan Tama dengan deraian air mata. Ia memohon padanya untuk menemui putrinya dan membiarkan sang putri melihatnya setidaknya sekali dalam seumur hidup.
"Saya mohon temui Amara! Jika anda tidak ingin menemuinya sebagai putri anda, setidaknya berikan belas kasihan anda pada gadis mungil yang bertahan hidup dari leukimia"
"Sudah lebih dari lima menit, silakan anda keluar dari ruangan saya!"
Nara tertegun begitu mendengar ucapan Tama. Ia mendongak menatap suaminya dengan sorot tak percaya.
****
Amara, gadis berusia enam tahun yang sangat ingin bertemu dengan sang ayah.
Akankah kerinduannya tak tergapai di ujung usianya? Ataukah dia akan sembuh dari sakit dan berkumpul dengan keluarga yang lengkap?
Amara Stevani Nalendra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kunci rumah baru
Duduk di sebuah function room tempat di adakannya pertemuan bisnis, Tama menatap ponsel dan membaca pesan dari Nara berulang kali. Ia sempat melakukan beberapa panggilan, namun Nara tak juga mengangkat, dan malah mereject panggilannya.
Netranya masih bertahan menatap foto Nara bersama seorang pria, di mana pria itu tengah membukakan pintu mobil untuk Nara, sementara Nara tersenyum begitu keluar dari dalam mobilnya. Foto lain menunjukkan mereka tengah duduk di sebuah bangku taman, mereka saling melempar pandangan dan saling berbalas senyum.
Mendesah pelan, Tama tak ingin percaya dengan apa yang dia lihat, tapi bagaimana bisa tak mempercayainya, jika pesan dan gambar itu terkirim dari nomor ponsel Nara sendiri.
"Keterlaluan kamu Na" gumamnya lirih.
Hilang kesabaran sebab panggilan telfonnya tak di respon oleh Nara, Tama akhirnya menuliskan sebuah pesan.
Tama : "Kita selesaikan di rumah, tunggu aku di apartemen, aku ingin dengar langsung dari mulutmu sendiri kalau kamu memang lebih memilihnya, undang pria itu juga bila perlu"
Setelah Rania membaca pesan dari Tama di ponsel Nara, Rania terkekeh sinis. Ia bahkan tak habis fikir pada anaknya sendiri yang begitu mencintai Nara.
"Begitu gigihnya kamu memperjuangkan wanita itu nak, tapi maaf, bunda sudah memastikan kamu tidak akan pernah bertemu dengan Nara" gumamnya, sedetik kemudian jarinya bergerak mengetikan pesan balasan.
Nara : "Maaf, aku sudah keluar dari apartemenmu, kita akan berpisah, jangan hubungi aku, karena kekasihku sangat cemburu padamu"
Tama mengangkat sudut bibirnya, satu sisi ia marah, benci dan kecewa, tapi di sisi lain, rasa cintanya justru lebih besar dari ketiga rasa itu, membuatnya kian frustasi dan tak tahu harus berbuat apa.
"Aarrggggg,,,,! Teriaknya seraya menyugar rambutnya kasar. "Why Nara, kenapa tidak dari awal kamu menolak pernikahan kita. Apa yang ada di pikirannmu Naraya" lanjutnya dengan suara tertahan saking geramnya.
***
Pak Ramdan, Nara, Gerry serta bu Septi ibunya Gerry, kini duduk si sebuah ruang tamu di rumah keluarga Gerry. Pak Ramdan sedang menuntut penjelasan tentang kepemilikan tanah dan rumah yang tiba-tiba beralih atas nama Rania. Dia ingin tahu bagaimana bisa Gerry menyerahkan satu-satunya rumah yang dia miliki, rumah yang di bangun dari hasil jerih payah bersama almarhum istrinya.
"Maafkan saya paman, saya tidak punya pilihan lain"
"Apa maksudnya tidak ada pilihan lain?"
Ragu-ragu Gerry ingin menjelaskan apa yang sudah tersusun rapi di otaknya. Namun sebelumnya, Gerry tiba-tiba menarik tangan Nara dan membawanya ke kamar lalu mengunci pintunya.
"Apa-apaan kamu Ger?" tanya Nara dengan sorot benci. Sikap Gerry, membuat Nara langsung membencinya.
"Maafkan aku mbak, aku terpaksa karena Rania mengancamku" Gerry hanya mengatakan sebagian dari kejujurannya, padahal dia sudah mengantongi seratus juta agar mau menjual rumah itu pada Rania. Namun Gerry tak akan mengatakan pada Nara tentang imbalan itu.
Kening Nara mengerut usai mendengar ucapan Gerry. Sebagian dari pikirannya menerka-nerka ancaman apa yang Rania berikan pada sepupunya, sebagian lagi mempertanyakan uang hasil penjualan rumah itu.
"Ancaman?" tanya Nara mengernyit.
Gerry mengangguk meresponnya.
"Ancaman seperti apa?"
"Dia akan membunuh paman, dan juga bayi yang ada dalam kandunganmu mbak"
"Apa?" sahut Nara dengan sorot serius.
"Iya mbak, itu sebabnya aku terpaksa menjual rumah paman"
"Berapa Rania membayar rumah itu?"
"Dia membayarnya dengan kunci rumah baru?"
"Kunci rumah baru?"
"Iya Mbak, mbak Nana dan paman bisa tinggal di rumah itu"
Entah sudah berapa kali Nara di buat terkejut oleh pengakuan Gerry, yang jelas Nara sedikit memaklumi sikap Gerry yang ingin menyelamatkan ayahnya.
"Maafkan aku mbak"
"Apa maksud Rania menukar rumah bapak?" tanya Nara pelan, sepertinya, ia sudah tak punya tenaga untuk mengeluarkan suara keras. Ia sudah terlalu lelah dengan apa yang menimpanya.
"Karena dia tidak ingin Tama menemukanmu mbak"
Tepat seperti dugaan Nara. Semua bisa di lakukan dengan mudah oleh Rania demi untuk ambisinya memisahkan dirinya dengan sang suami.
"Atau jangan-jangan ponselku ada pada Rania?" Nara membatin dengan sekelumit prasangka terhadap ibu mertuanya.
"Dimana alamat rumah itu Ger?"
"Di Jakarta Utara mbak"
"Jakarta utara?" ulangnya.
Jarak yang bisa di tempuh sekitar dua jam dari rumah Nara.
Untuk sementara, Nara tidak ada pilihan lain, mau tidak mau, dia akan membawa bapaknya untuk tinggal di rumah yang di berikan oleh bu Rania.
Setelah Gerry menuliskan alamatnya, lagi-lagi Nara mengerutkan kening menatap secarik kertas bertuliskan alamat rumah, sebab rumah itu justru tidak jauh dari Dandelion Group.
"Pasti ini hanya kebetulan, aku dekat dengan Sasa dan juga Tata, meskipun aku enggan meminta tolong padanya, tapi setidaknya, ada sahabatku yang mau mendengarkan keluh kesahku"
"Aku akan tinggal di sana" pungkas Nara setelah menerima sodoran kertas dari tangan Gerry.
"Mulailah hidup baru di sana mbak, lupakan Tama, jangan biarkan mereka merenggut kebahagiaan mbak Nana yang lain"
Menarik napas dalam-dalam, Nara berfikir jika ucapan Gerry ada benarnya, lagi pula hingga detik ini, Tama pun masih tak ada kabar. Nara tidak tahu entah ada di mana suaminya sekarang. Tapi dalam pemikirannya, sudah pasti bu Ranialah yang merencakan semua ini, termasuk fitnah keji video dirinya.
"Ingat mbak, mereka orang kaya, apapun bisa mereka lakukan meskipun harus membayar pengadilan negara ini"
Nara tak lagi merepson, selang beberapa detik, Gerry dan Nara kembali ke ruang tamu. Sementara tatapan pak Ramdan penuh heran begitu anak dan keponakannya menampakkan diri.
"Gerry, kamu belum menjelaskan pada paman kenapa kamu tega melakukan itu"
"Pak" ucap Nara berusaha menenangkan sang ayah. "Kita pergi dari sini"
"Tapi bapak butuh penjelasan kenapa Gerry menjual rumah kita pada wanita iblis itu"
"Nanti Na ceritakan semuanya, sekarang lebih baik kita pulang ke rumah baru kita pak"
"Rumah baru?" tanya pak Ramdan menyelidik.
"Rumah baru siapa Nak?"
"Nanti Na jelaskan ya pak, sebelum kita ke rumah baru kita, kita akan ke rumah bu Rania"
Tak ada pilihan lain kecuali menuruti ucapan sang putri.
Nara dan pak Ramdan pun akhirnya berpamitan pada bu Septi dan juga Gerry.
Setibanya di kawasan hunian milik keluarga Nalendra, Nara di cegat di pintu utama kawasan rumah elit oleh seorang satpam yang melarangnya masuk.
"Maaf mbak, saya tidak bisa mengizinkan anda mengunjungi hunian milik pak Nalendra"
"Saya menantunya pak, saya ingin bertemu dengan suami saya"
"Tapi sekali lagi maaf, tidak bisa"
"Pak, dia adalah istri dari anaknya yang bernama Tama" kali ini pak Ramdan ikut bicara. "Ijinkan kami sebentar saja menemuinya"
"Maaf pak, mbak, tidak bisa. Sebelum saya memanggil polisi, silahkan kalian pergi dari sini"
"Keterlaluan Tama" Desis pak Ramdan menahan gejolak amarah yang tertahan.
"Ini bukan salah mas Tama pak, ini pasti bundanya yang sudah merencanakannya. Kita pergi saja dari sini"
Bersambung
suka banget sama karya2mu..
semoga sehat selalu dan tetap semangat dalam berkarya.. 😘🥰😍🤩💪🏻