Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Richard Kembali
Sesampainya di sekolah, Kai memberhentikan mobilnya. Di dalam mobil miliknya. Soya masih setia dengan kebungkamannya.
“Soya, kau baik-baik saja?" tanya Kai tersirat rasa khawatir di sana. Pasalnya sedari tadi muridnya sekaligus gadis pujaannya itu hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah kata.
“Saya baik-baik saja, Pak. Eum, terima kasih karena sudah membelikan kebutuhan kami," ucap Soya tulus.
Kai tersenyum, “Tidak masalah. Aku senang bisa membantumu."
Kai turun dari mobil dan langsung masuk ke dalam lobby sekolah tanpa memedulikan Soya yang masih berada di dalam mobilnya. Meninggalkan Soya yang dengan lancar mengucap sumpah serapah karena kebodohan sang guru. Namun, beberapa saat kemudian langkah Kai terhenti dan berbalik menuju mobilnya.
“Kau tidak turun? Iya saya tahu kalau mobil saya ini termasuk mobil mahal, tapi tak perlu norak begitu," kata Kai dengan santainya.
Ingin rasanya Soya menendang Kai hingga ke dalam inti bumi, karena sifat Kai yang terkesan idiot dan hanya modal tampan saja.
“Dan menjadi bulan-bulanan para siswa sebab saya mengenakan jas milik Anda, begitu? Maaf, Pak. Saya masih punya rasa malu. Masalah yang kemarin saja, sudah membuat saya muak, jangan membuat saya semakin muak karena munculnya masalah baru dan itu masih berkaitan dengan Anda!" Soya menjawab dengan sarkastik.
“Oh, iya. Aku lupa," ujar Kai sambil tersenyum dengan wajah tanpa dosa, “tunggu di sini. Aku akan mengambil sesuatu untukmu!"
Kai berjalan memasuki lobby dan menuju ke ruang koperasi. Sedangkan Soya masih setia menunggu di mobil dengan sedikit merintih, rasa sakit yang mulai menjalar di area perutnya semakin lama semakin terasa.
Tak lama kemudian Kai kembali ke mobilnya dengan sebuah rok yang merupakan seragam sekolah, sekolah menengah atas ini.
“Nih, ganti di toilet tempat security sana!" Kai menyodorkan roknya pada Soya. ”Pembalutnya bawa sekalian!"
“Punya tisu tidak, Pak?" tanya gadis itu.
“Ada sih, tapi hanya tisu biasa, bukan tisu basah. Itu!" tunjuk Kai pada sekotak tisu yang terdapat di dashboard mobil. Dengan cepat tangan Soya meraih beberapa lembar tisu. Kemudian keluar dari mobil dengan membawa rok dan satu buah pembalut, kemudian berlari menuju toilet yang berada di dekat pos security.
Security yang melihat Soya mengenakan jas di area pinggang hanya mengerutkan kening, merasa dilihat sedari tadi oleh sang security, Soya berbalik badan, “Jika matamu tidak ingin hilang, tidak usah lihat-lihat!"
Security itu terlihat menundukkan kepala. Siapa yang tidak tahu Sophia Raviola Dexter. Si murid cantik nan sadis? Kecantikan dan kesadisan seorang Sophia Raviola Dexter bahkan tersohor hingga ke sekolah-sekolah lain.
Kai yang memperhatikan Soya, justru mengulum senyum tipis. Gadisnya ini meski tergolong sangat sadis, tetapi ia juga menggemaskan.
Cukup lama Soya berganti seragam. Hingga pada akhirnya suara pintu terbuka menyadarkan Kai dari bayang-bayang gadis itu.
Raut wajah Soya terlihat tak enak dipandang. Seperti tengah menahan sakit. Sehingga Kai khawatir dibuatnya.
“Kau tidak apa-apa, mana yang sakit?" tanya Kai.
Soya masih merintih, “Shh, sudahlah, Pak. Saya tidak apa-apa. Saya masih bisa menahan kok. Ini sudah biasa jika setiap tanggal merah datang pasti akan terasa nyeri, apalagi ini hari pertama."
“Benar tidak apa-apa? Akan tetapi, kau kesakitan begitu. Pasti sakit sekali," kata Kai lagi.
“Istirahatlah di UKS. Wajahmu pucat sekali, jangan lupa minum obat penambah darah," Kai mengingatkan.
“Kenapa Anda itu bawel sekali?"
“Apa katamu? Heh, aku bawel begini juga untuk kebaikanmu, Gadis Nakal! Kau selalu abai terhadap hal-hal kecil seperti itu, pasti."
“Sok tahu!" Soya membalas Kai. Kai yang merasa geram pun langsung menggendong Soya seperti karung beras, hingga Soya memekik dan menjatuhkan barang yang ia bawa.
“Pak, turunkan saya!" teriak Soya sambil memukuli punggung tegap milik pria itu. Akan tetapi, pria itu justru mengabaikan teriakan Soya. “Pak, turunkan saya. Nanti jika ada yang melihat pasti akan jadi gosip lagi!"
“Peduli sekali dengan gosip begitu, memangnya kau tidak bisa bersikap tak acuh?" tanya Kai lagi sambil berjalan menuju UKS.
“Masalahnya sekolahan ini bukan milik saya. Bagaimana mungkin saya bisa bersikap tak acuh, jika saya digosipkan dengan Anak pemilik sekolah. Otak Bapak ditaruh di mana sih?!"
“Kalau kau jadi istriku, sekolah ini akan jadi milikmu," celetuk Kai lagi.
“Najis. Saya tidak ingin punya suami aneh seperti Anda," jawab Soya, “tipe suami saya itu seperti Dokter Francis, bukan Anda!"
Kai yang mendengarnya sontak menepuk keras pantat murid nakalnya itu, hingga membuat Soya mengaduh.
“Sakit, dasar Cu Pat Kai!" teriak Soya lagi.
“Jangan teriak-teriak. Pita suaramu bisa putus, lagipula kenapa sih teriak-teriak. Kau seperti korban rudapaksa saja?" Kai bertanya.
“Bagaimana saya tidak teriak? Wajah Anda, kan seperti predator anak di bawah umur. Mengaku saja, Bapak pasti punya banyak koleksi video dan majalah dewasa, kan? Huh, tidak perlu diperjelas, semua itu terlihat dari raut wajah Anda," ucap Soya.
Langkah kaki Kai sudah sampai di UKS, ia lantas membaringkan Soya di ranjang. Mengabaikan tatapan Francis yang menatap bingung dan penuh tanya pada kedua orang ini.
“Ada apa ini, apa aku ketinggalan sesuatu?" tanya Francis.
Kai menatap malas seseorang yang sudah dianggap seperti kakak sendiri itu, “Sesuatu apa? Dia sakit perut karena sedang tanggal merah. Jadi, jangan aneh-aneh!"
“Oh, tanggal merah ternyata. Kai tolong buatkan dia minuman hangat, berhubung kau sedang berada di sini."
Meski Kai berdecak kesal, tetapi Kai tetap mematuhi perintah Francis. Lagipula dia membuatkan minuman hangat untuk gadis pujaannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berbeda dengan Lulu, yang saat ini justru melihat sang ayah memijat pelipisnya yang terasa pening dengan pandangan bingung. Mengapa demikian? Sepulang dari supermarket, Lulu melangkah dengan riang masuk ke dalam rumah dengan menenteng tas plastik berisi susu ibu hamil.
Kevin yang melihatnya sudah menduga dari awal, bahwa sang putri tidak hanya membeli satu, atau dua kotak susu ibu hamil. Dan yang membuat Kevin lebih pusing lagi ialah Lulu mendapatkan susu itu secara cuma-cuma. Jika ditanya kenapa bisa, gadis itu menjawab itu semua karena Kai yang membayarnya.
“Sayang, apa kartu yang Daddy berikan itu tidak cukup hanya untuk membeli susu?" tanya Kevin.
Lulu hanya menunjukkan wajah tak berdosa, “Tentu saja itu lebih dari cukup, Dad. Akan tetapi, bukankah berdosa jika menolak rezeki. Lagipula Paman itu menawarkan dengan sukarela."
Bukan Kevin namanya jika lantas percaya pada ucapan sang putri begitu saja. Mengingat tabiat putrinya yang hobi sekali jahil pada orang lain bahkan terkadang membodohi orang lain.
Entah dari siapa sifat itu menurun, tetapi yang jelas bukan dari dirinya dan sang istri.
“Kau tidak memanfaatkan Kai, bukan?" tanya Kevin penuh selidik.
“Tentu saja tidak. Ini semua berkat Soya. Daddy tahu bukan jika Paman satu itu sudah menjadi budak cinta anak bungsu Daddy? Berawal Soya menceritakan jika Mommy tengah sakit dan minta izin keluar kelas untuk membeli obat dan berakhir dengan Paman Kai yang menguntit kami hingga ke supermarket. Lalu mereka berdua berdebat tentang kehamilan, hingga menjadi tontonan orang-orang di sana ...."
“ ... daripada ribut. Maka Lulu menyarankan jika Paman itu yang memilihkan susu ibu hamil yang baik sekalian membayar," jelas Lulu.
Kan? Kevin sendiri tidak habis pikir bagaimana bisa pengusaha muda seperti Kai berhasil dibodohi oleh kedua putrinya yang terkadang memiliki sifat seperti iblis ini?
“Itu sama saja kalian membodohi seseorang, sayangku. Berhentilah seperti itu, seperti Daddy tidak pernah memberi uang yang cukup pada kalian saja!" ujar Kevin.
“Uang dari Daddy, kan kami tabung untuk masa depan. Bahkan Lulu sudah membeli tanah dan membangun penginapan, sementara Soya? Anak Daddy satu itu, bahkan diam-diam memiliki restoran bahkan cabangnya sudah ada 3 dan berniat menambah cabang lagi, selain itu Soya juga memiliki butik. Daddy tidak tahu, ya?" tanya Lulu penuh selidik.
Demi Tuhan, Kevin tidak tahu jika anaknya memiliki penghasilan sendiri. Bahkan memiliki usaha. Meski usianya masih tergolong belia.
“Siapa yang mengurus izin mendirikan usaha dan jual beli tanahnya. Kalian bahkan masih muda. Soya pun belum cukup umur?" tanya Kevin.
“John Dexter dan Janice Dexter," jawab Lulu, membuat mata Kevin terbelalak. Lulu hanya mengangkat bahunya tak peduli.
“Granddad yang melakukannya?" tanya Kevin, Lulu pun mengangguk.
Kevin hanya menghela napas. Ya, orang tuanya itu memang selalu menuruti keinginan cucunya. Apa pun akan mereka lakukan supaya cucunya bahagia. Tidak hanya kedua orang tuanya saja, tetapi juga mertuanya juga demikian. Harus Kevin akui mereka memang cocok menjadi besan. Mengingat sifatnya yang memiliki banyak kesamaan. Hingga menurun pada kedua putri mereka.
“Sudahlah, Ge. Bukankah itu baik, mereka belajar bisnis sedari dini?" Zizi mengusap lengan sang suami, memberikan ketenangan.
“Mereka memiliki usaha dan aku tidak tahu?" Kevin masih belum bisa menerima kabar mengejutkan ini.
“Kami memang sengaja tidak memberitahu Daddy soal ini. Itu adalah keinginan kami sendiri," jelas Lulu.
“Huh, baiklah. Terserah kalian, selama hal yang kalian lakukan itu bersifat positif. Juga, tekuni usaha yang kalian bangun. Untung-rugi itu hal yang biasa dalam dunia bisnis, tinggal bagaimana cara kalian mengelola," nasehat Kevin.
Setelahnya Lulu pamit pergi ke kamarnya meninggalkan Kevin dan Zizi yang masih berada di ruang santai.
“Masih marah?" tanya Zizi pada sang suami.
“Aku tidak marah, sejujurnya aku bangga, putri kita itu bisa sukses di usia muda dan sudah paham soal bisnis," jawab Kevin sambil memeluk sang istri.
“Mereka semua mirip sepertimu, mirip juga dengan Daddy dan Mommy. Mommy pintar melihat peluang bisnis. Apa pun bisa dilakukan asal menghasilkan uang. Sedangkan Daddy memiliki sifat tak ingin rugi," jelas Zizi membuat Kevin tertawa.
”Padahal Papa dan Mama juga sama saja, seperti Daddy dan Mommy. Hanya saja tak terlalu terlihat, Papa orangnya sangat tenang, tidak terlihat ambisius," sahut Kevin kemudian.
“Dan ketenangan Papa justru menurun pada putri kecil kita," kata Zizi. Kevin hanya tersenyum.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Siang berganti sore. Mentari bergerak menuju ufuk barat, meski begitu hari masih cerah, banyak siswa yang masih mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, kecuali Soya. Ya, gadis itu izin tidak mengikuti ekstrakulikuler dikarenakan sedang tanggal merah. Masalah perutnya yang nyeri? Sudah lebih baik setelah minum segelas teh hangat buatan Kai. Sayangnya, teh tersebut rasanya sangat tawar, setawar wajah pembuatnya. Namun, setidaknya dapat membuat perut Soya menjadi lebih baik.
Hari ini ia sedang menjadi tawanan gurunya yang sangat luar biasa itu. Sedari tadi ia merengek ingin pulang, tetapi lelaki berkulit tan itu tak mengindahkannya dan dengan seenak jidatnya, pria itu malah meminta Soya untuk menemani dirinya ke toko buku.
Kesal? Sudah pasti.
Halo, ini merupakan hari pertama tanggal merah dan biasanya darah akan keluar lebih banyak dan perut akan terasa lebih nyeri. Seharusnya istirahat adalah pilihan yang terbaik. Akan tetapi, ini justru sebaliknya. Disuruh menemani jalan-jalan membeli buku, situ sehat?
Ingin rasanya ia mengadu pada langit sore, tetapi ia sadar tak akan ada jawabnya, mengadu pada burung yang terbang melintasi cakrawala, burung itu bahkan tidak mengerti kedongkolan hatinya.
Memang paling aman adalah diam dan simpan amarahmu dalam hati hingga lenyap tak berbekas.
Saat ini, Soya bahkan sudah berlumut menunggu sang pemilik mobil ini datang. Akan tetapi, pria itu menghilang entah ke mana?
“Ke mana sih, Cu Pat Kai itu?" gerutu Soya, “lama sekali! Dia ini sedang ambil tas di Ruang Guru, atau di Dubai?!"
Beberapa saat kemudian terdengar langkah yang terburu-buru seperti seseorang yang tengah berlari.
“Maaf lama, saya tadi sedang menolong gurumu yang lain, merekap nilai siswa," ujar Kai pada Soya.
Soya hanya tersenyum remeh, “Sepenting itu harus lapor ke saya? Kalau tahu lama begini, lebih baik saya pulang dengan bus saja daripada menunggu Anda bercumbu dengan kertas nilai siswa!"
“Kau marah?"
“Bodoamat, Pak. Lebih baik pikir saja sendiri. Pandangan saya gelap, saking gelapnya, Bapak yang ada di sebelah saya sampai tak terlihat," jawab Soya yang sudah terlanjur kesal.
Kai hanya menggelengkan kepalanya, maklum. Namanya juga perempuan yang sedang mengalami menstruasi di hari pertama, pasti sedang mengalami perubahan emosi.
Kai menjalankan mobilnya, kemudian meninggalkan kawasan sekolah dan membelah jalanan menuju toko buku.
Kembali terjadi, keheningan di dalam mobil, Soya pun juga tak berminat untuk mencari topik pembicaraan dengan gurunya ini.
Wajahnya bahkan tampak kesal dan marah, entahlah mungkin ini hormon wanita. Sehingga emosinya sedang membumbung tinggi. Cara paling aman adalah tidak mengeluarkan suara, atau tidak bicara apa pun. Itu terdengar lebih baik.
Sedang Kai sendiri juga tak ingin repot-repot mengajaknya bicara. Mengingat raut wajah siswinya terlihat menakutkan seperti hendak memakan manusia.
Untuk kesekian kalinya lembayung senja tergelar dengan indah, sang awan bergerak lembut mengiringi sang surya kembali ke peraduan. Hingga digantikan oleh gelapnya malam.
Kesesakan yang merasuk ke dalam hati dan pikiran karena padatnya jalanan, akhirnya lenyap sudah saat mencapai tempat tujuan.
Kai dan Soya turun dari mobil dan masuk ke toko buku. Mereka pun berpisah menuju rak dengan selera masing-masing. Namun, sebelum itu Kai berkata, “Ambilah buku yang kau suka. Aku akan mentraktirmu kali ini sebagai ucapan terima kasih dan maaf!"
Soya sendiri sudah menghilang entah ke mana. Gadis itu seakan sudah tenggelam dalam dunianya sendiri. Matanya menelusuri setiap sudut rak. Berharap menemukan sesuatu yang dapat menarik perhatiannya.
Ketika ia tengah tenggelam dalam euforia membaca buku, tubuh gadis ini tertarik dengan paksa secara tiba-tiba. Gadis yang memiliki refleks bagus ini lantas memberontak berharap bisa terlepas dari cengkraman orang asing yang dengan seenaknya menyeret tubuhnya.
Matanya ia fokuskan pada tersangka pelaku penarikan secara paksa, seketika mata gadis itu membola, “Richard?"
“Ikut aku, Soya!" desisnya.
“Tidak mau, untuk apa aku ikut denganmu? Kita sudah selesai, Richard."
“Bagiku kita belum selesai. Kita belum berakhir, karena kau yang memutuskan sepihak. Kau masih milikku, Soya!"
“Aku bukan milikmu lagi semenjak kau berselingkuh dengan kupu-kupu malam itu. Dan tolong pergi dari hadapanku. Jangan membuat keributan di tempat umum!"
Richard yang merasa geram, lantas menekan pergelangan tangan Soya dengan gerakan cepat ia menyambar bibir gadis itu dan menyesapnya secara kasar hingga Soya memekik. Tangannya yang bebas, ia gunakan untuk menekan tengkuk Soya dan memperdalam ciuman mereka.
“Lephas!" kata Soya disela ciuman mereka. Akan tetapi, Richard menulikan telinganya. Soya mendorong dada Richard meski pria jangkung itu tak bergerak seinci pun.
Tiba-tiba ....
Brug!