Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datang Bulan
Dio, Dinda dan Chika masuk ke sebuah kamar satu-satunya yang masih kosong di hotel itu.
Di kamar hotel yang cukup luas itu, hanya ada satu tempat tidur besar dan satu bed yang berukuran kecil.
"Ah sial! Hotel apaan ini? Fasilitasnya sangat buruk! Masa iya hotel sebesar ini hanya ada satu kamar kosong!" dengus Dio sambil menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, setelah dia membaringkan Chika yang masih tidur itu di atas tempat tidur.
Dinda yang merasa tubuhnya sangat lengket, langsung masuk ke dalam toilet yang ada di kamar itu, tanpa memperdulikan gerutuan Dio.
Entah mengapa sejak tadi dia merasa tidak nyaman di area perut, agak mulas dan sedikit pusing.
"Aarggh!"
Dinda sedikit menjerit saat dilihatnya ada bercak darah di pakaian dalamnya, setelah mengingat tanggal, Dinda menepuk jidat nya frustasi karena dia baru datang bulan.
"Ah, sial! Kenapa harus datang tamu hari ini sih!" batin Dinda.
Dinda mendadak bingung apa yang harus di perbuatnya, darah itu sudah menembus sampai roknya, tidak mungkin dia keluar dalam keadaan seperti itu.
Apalagi Dinda sama sekali tidak membawa pembalut atau pakaian dalam cadangan.
Ini benar-benar mimpi terburuk nya.
Tok ... Tok ... Tok
Terdengar suara pintu kamar mandi yang di ketuk dari luar, Dinda makin panik.
"Bu Dinda?? Kau lama sekali! Cepatlah aku sudah kebelet!"
Terdengar suara Dio yang berteriak dari luar.
"Sebentar!!" sahut Dinda.
Hanya itu yang bisa di katakannya, sambil mencari cara bagaimana dia lepas dari masalah ini.
Beberapa menit berjalan otak Dinda semakin buntu.
Ceklek!
"Maaf Pak, bisa minta tolong ambilkan handuk?" tanya Dinda sambil menyembulkan wajahnya dari balik pintu toilet.
Dio langsung menyambar handuk dari lemari hotel dan memberikannya pada Dinda.
Dinda langsung melilitkan handuknya itu di pinggangnya, agar darah yang menembus tidak kelihatan.
Namun Dinda merasa ada yang menetes dari dalam organ intinya, dan Dinta tau itu pasti darah, wajahnya memucat
"Kau kenapa?" tanya Dio saat Dinda keluar dari kamar mandi.
Sebelum Dinda menjawab, Dio sudah keburu masuk karena dia kebelet pipis sedari tadi.
Beberapa menit kemudian, Dio sudah keluar dari dalam kamar mandi itu, dia mengernyitkan keningnya saat di lihatnya Dinda duduk meringkuk di sudut tempat tidur.
"Apa yang terjadi padamu? Apakah kau sakit?" tanya Dio, wajahnya mulai cemas.
Dinda menggelengkan kepalanya, bingung mau menjawab apa.
"Lalu?"
"Saya ... saya ... baru datang bulan Pak, bisakah Bapak mencarikan saya pembalut dan pakaian dalam wanita??" ucap Dinda gugup dengan menanggalkan semua rasa malunya.
"Apa?? Datang bulan??" tanya Dio melotot.
Dinda menganggukan kepalanya malu, wajahnya memerah.
"Ah, mimpi apa aku semalam? Dalam hujan dan banjir harus mencari pembalut dan ... arggh!" Dio mendengus frustasi.
"Maaf Pak, mana saya tau kalau akan datang bulan sekarang!" ucap Dinda.
"Kau menyusahkan saja!" sungut Dio.
"Ya sudah! Kalau Pak Dio tidak mau membantu, aku akan begini sampai besok pagi, paling Pak Dio yang malu kalau jalan sama saya!" cetus Dinda.
"Oke oke! Kau tunggu di sini jaga Chika, aku keluar mencari pembalut dan pakaian dalam untukmu!" sahut Dio menyerah.
Dio segera melangkah ke arah pintu, namun tak lama dia kembali menoleh ke arah Dinda.
"Ukurannya berapa?" tanya Dio.
"Yang 26 centi, merk apa saja!" sahut Dinda.
"Oke!" Dio membuka pintu kamar itu lalu bergegas keluar dan turun ke lobby.
Di lobby bawah hotel itu nampak sepi, mungkin karena hari juga sudah malam, ada minimarket di dekat lobby, tapi sudah tutup, akhirnya Dio terpaksa keluar dari hotel.
Hujan sudah nampak reda, menyisakan gerimis halus yang terus turun, kondisi jalanan masih terlihat macet karena banjir di mana-mana.
Di seberang hotel, ada minimarket yang masih buka, Dio bergegas menyebrang jalan menuju ke minimarket yang buka 24 jam itu.
Dio langsung mencari pembalut dengan ukuran yang Dinda inginkan, setelah dapat, Dio juga mencari pakaian dalam yang sesuai untuk Dinda.
"Ini kenapa jelek semua pakaian dalamnya?? Tidak ada yang lebih mahal?" tanya Dio pada salah seorang penjaga minimatket itu.
"Tidak ada Pak, namanya juga minimatket, pilihannya ya cuma itu saja Pak!" jawab penjaga minimatket itu.
"Ah payah! Besok-besok harus lebih lengkap lagi ya!" cetus Dio.
"Siap Pak! Sayang banget sama istrinya Pak!" ujar penjaga minimatket itu saat melihat belanjaan Dio.
"Tutup mulutmu!"
Dio Akhirnya mengambil pakaian dalam itu sebanyak 1 lusin, kemudian dia berjalan ke arah minuman kesehatan datang bulan, di ambilnya beberapa botol jamu datang bulan yang berwarna kuning dan oranye tersebut.
Tak lupa Dio mengambil juga roti dan susu, juga beberapa makanan ringan.
Setelah membayar di kasir, Dio dengan cepat bergegas kembali ke hotel dan langsung naik ke atas menggunakan lift menuju ke kamarnya.
Dinda masih nampak meringkuk di sudut tempat tidur yang single itu, wajahnya pucat dan dia sedikit menggigil.
"Ini pesananmu!" ujar Dio sambil menyodorkan kantong belanjaannya.
Dengan cepat Dinda menyambarnya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Dio geleng-geleng kepala saat dilihatnya sudah banyak darah yang menembus di handuk yang di pakai Dinda.
Tak lama kemudian Dinda sudah keluar dari kamar mandi, sudah berganti pembalut dan pakaian dalam, tapi masih mengenakan rok yang sama.
Dio kemudian menyodorkan selimut ke arah Dinda.
"Pakailah ini untuk menutupi tubuhmu, buka rokmu karena itu kotor! Kau jangan khawatir, aku tidak akan mengintip atau mentertawakanmu!" ucap Dio.
Dinda kembali masuk ke kamar mandi, dan keluar sudah dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
Setelah itu Dinda berbaring sambil meringis memegangi perutnya yang mulas karena datang bulan.
Dio datang mendekat sambil membawakan jamu datang bulan dan sebungkus roti yang dia beli tadi.
"Aku tau perutmu pasti sakit, minumlah ini untuk meredakan rasa nyeri di perutmu, setelah itu kau makanlah roti ini!" ucap Dio melembut.
Dinda tertegun, Dio yang dingin dan kaku itu, kini berubah menjadi sangat lembut dan perhatian.
Singa yang menyeramkan berubah menjadi kucing yang manis.
Perlahan Dinda meneguk minuman kesehatan yang Dio berikan padanya.
"Trimakasih!" ucap Dinda.
"Kau jangan sungkan, dulu aku terbiasa merawat istriku, apalagi saat dia sakit selama bertahun-tahun!" ungkap Dio.
"Wah, bahagia betul istri Bapak saat itu ya!" sahut Dinda.
"Kau salah, asal kau tau, istriku tidak pernah mencintaiku, dia mencintai orang lain!" ucap Dio dengan mata menerawang, ada mendung dan kesedihan yang terpancar dari wajah tampannya itu.
"Mencintai orang lain??"
"Ya, pernikahan kami adalah satu kesalahan, itulah sebabnya aku tidak percaya tentang cinta, kata orang cinta itu indah, tapi aku tak pernah merasakannya!" ucap Dio.
Dinda tercenung mendengar ungkapan hati Dio, pantas saja laki-laki ini begitu dingin dan kaku.
"Sampai istriku meninggal, aku masih belum menemukan apa itu cinta!" lanjut Dio.
Bersambung ...
****