“Kamu harus bertanggungjawab atas semua kelakuan kamu yang telah menghilangkan nyawa istriku. Kita akan menikah, tapi bukan menjadi suami istri yang sesungguhnya! Aku akan menikahimu sekedar menjadi ibu sambung Ezra, hanya itu saja! Dan jangan berharap aku mencintai kamu atau menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya!” sentak Fathi, tatapannya menghunus tajam hingga mampu merasuki relung hati Jihan.
Jihan sama sekali tidak menginginkan pernikahan yang seperti ini, impiannya menikah karena saling mencintai dan mengasihi, dan saling ingin memiliki serta memiliki mimpi yang sama untuk membangun mahligai rumah tangga yang SAMAWA.
“Om sangat jahat! Selalu saja tidak menerima takdir atas kematian Kak Embun, dan hanya karena saat itu Kak Embun ingin menjemputku lalu aku yang disalahkan! Aku juga kehilangan Kak Embun sebagai Kakak, bukan Om saja yang kehilangan Kak Embun seorang!” jawab Jihan dengan rasa yang amat menyesakkan di hatinya, ingin rasanya menangis tapi air matanya sudah habis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan minta aku bercerai dengan Jihan
Satu jam kemudian ...
Setelah Dokter Samuel sudah memeriksa keadaan Jihan, dan gadis itu masih belum siuman, selain karena pingsan juga ada efek mengantuk dari obat yang diberikan oleh Dokter Samuel melalui infus.
Kini, Fathi berada di ruang kerja Papa Gibran bersama Mama Erina dan Bu Kaila, sementara Jihan dan Ezra dijaga oleh Bik Murni dan Ita.
Sorot ketiga orang tua itu rasanya tidak enak dipandang oleh Fathi, akan tetapi pria itu berusaha terlihat tenang dan tetap menatap mereka bertiga dengan pandang hormat, tidak membalas dengan tatapan yang tidak enak dilihat.
“Papa sengaja meminta kita bertemu di sini, karena ingin membicarakan masalah rumah tanggamu dengan Jihan.” Papa Gibran membuka suara untuk pertama kalinya.
Fathi sudah mengira ujung pembicaraannya pasti mengenai perceraian antara dirinya dan Jihan.
“Kami sudah memutuskan jika kamu harus menceraikan Jihan secepatnya! Ayahnya Jihan sudah menyetujuinya,” tegas Bu Kaila.
Pria itu mengangkat wajahnya, satu persatu menatap wajah ketiga orang tersebut dengan tatapan nanarnya.
“Kami di sini sangat menyesal telah memaksakan menikahi kamu dengan Jihan. Dan hingga terjadi kejadian seperti ini. Papa sangka kamu akan belajar menerima Jihan sebagai istrimu, tapi justru terjadi petaka seperti ini. Kebetulan Jihan mengalami amnesia, dia lupa kalau kamu adalah suaminya, jadi hal ini sungguh kebetulan sekali untuk mempermudah mengurus perceraian kalian berdua. Pengacara keluarga kita besok yang akan mengurus urusan tersebut,” imbuh Papa Gibran begitu tenang saat berkata.
Tangan Fathi yang berada di atas pahanya, terkepal dengan kuatnya, hatinya jelas sudah meradang tak menentu.
“Bercerai! jadi Papa, Mama dan Ibu menginginkan aku bercerai dengan Jihan?” tanya Fathi begitu lirihnya.
“Ya, kami ingin kalian berdua bercerai. Kami sebagai orang tua tidak akan memaksakan kehendak kami. Dan seharusnya waktu itu kami tidak egois sebagai orang tua, dan mendengarkan pendapat kalian berdua mengenai pernikahan itu. Jadi kami juga minta maaf pada kamu,” jawab Papa Gibran mewakilkan.
“Ibu pribadi juga sangat menyesal, telah memaksa Jihan untuk menikah denganmu, seharusnya Ibu juga tidak memaksanya. Kalau saja semalam Jihan meninggal, Ibu past benar-benar akan terpukul. Kehilangan anak untuk kedua kalinya,” sambung kata Bu Kaila, netranya mulai berkaca-kaca.
Fathi menarik napas pelan seiringan menundukkan kepalanya, perjuangan semalam kembali teringat, bagaimana dia juga sangat terpukul dengan kejadian yang menimpa Jihan.
“Aku memang bersalah, sangat bersalah dan mungkin tidak bisa dimaafkan. Tapi mengapa harus bercerai, apakah aku tidak ada kesempatan untuk memperbaiki rumah tanggaku dengan Jihan? Seburuk itukah aku hingga Papa, Mama dan Ibu langsung memutuskan untuk aku segera bercerai dengan Jihan?” tanya Fathi dengan suaranya yang tercekat.
Bu Kaila menarik punggungnya dari sandaran sofa. “Kesempatan apa Fathi? Kesempatan untuk menyakiti Jihan dan ingin melihat anak bungsu Ibu kehilangan nyawanya lagi? Ibu tidak mau lagi, Fathi! Sudah cukup dengan kejadian ini, Ibu ingin lihat anak Ibu bahagia hidupnya! Dan dia akan bahagia tanpamu!” tegas Bu Kaila.
Fathi mendesah pelan, sepertinya harapan dia untuk memperbaiki hubungannya dengan Jihan sangatlah tipis. Dalam beberapa menit suasana ruang kerja Papa Gibran hening, tidak ada yang membuka suaranya, sementara dada pria itu sudah merasa sesak.
“Bu ...,” suara Fathi memecahkan keheningan yang sempat terjadi. Lantas Bu Kaila menatap wajah menantunya yang penuh dengan luka lebam.
“Bu, aku sangat menyesal dan aku minta maaf atas sikap burukku pada Jihan, walau mungkin Ibu tidak mau memaafkan aku. Tapi kali ini Jihan sedang sakit, bisakah aku bertanggungjawab mengurusnya dan tidak membicarakan tentang perceraian terlebih dahulu. Aku mohon Bu, berikan kesempatan untuk menembus kesalahan aku pada Jihan,” ucap Fathi dengan tatapan memohonnya.
“Ya, kamu bertanggungjawab sebagai dokter, bukan sebagai suaminya. Setelah Jihan sudah diizinkan keluar dari rumah sakit, maka Jihan akan Ibu dan Ayah yang mengurusnya, kamu tidak perlu repot-repot,” tegas Bu Kaila, wanita paruh baya tersebut teguh akan pendiriannya.
Jawaban Bu Kaila bikin tubuh Fathi melemas, dia menarik napasnya dalam-dalam. Lalu kedua tangannya menangkup wajahnya untuk beberapa saat, kemudian dia menarik kembali kedua tangannya dari wajahnya, tampaklah netranya agak memerah menahan untuk tidak menumpahkan air matanya.
Pria itu kemudian beranjak dari duduknya, lalu mendekati tempat Bu Kaila duduk, dan tiba-tiba saja pria itu merendahkan dirinya di hadapan ibu mertuanya. Bu Kaila pun terkesiap melihat tingkah menantunya.
“Bu, aku memang sangat bersalah dan suka menyakiti Jihan, tapi dengan kejadian semalam aku juga terpukul dan tidak rela kehilangan Jihan. Tolong Bu, hukum aku dengan apa pun tapi jangan menyuruh aku bercerai dengan Jihan. Aku mohon, Bu. Berikan aku memperbaiki sikapku dan rumah tanggaku dengan Jihan,” mohon Fathi, kedua tangannya terkatup dan menempel di dadanya.
Melihat sikap Fathi, membuat Bu Kaila menatap bingung pada besannya, dan hatinya merasa tidak enak melihat menantunya merendahkan dirinya di depan orang tuanya, apalagi Fathi sosok dari keluarga yang berkelas ketimbang keluarga Bu Kaila yang tidak sepadan.
“Ibu, silakan hukum aku apa pun, tapi jangan minta aku bercerai dengan Jihan. A-aku b-belum sa-sanggup.” Suara Fathi mulai bergetar ketika memohon pada ibu mertuanya.
Bu Kaila bingung menjawab apa, sementara Mama Erina yang duduk di samping Bu Kaila menyentuh tangan besannya, seakan memberikan sebuah ketenangan dari kegusaran yang menyerang hati Bu Kaila.
“Jika Ibu memberikan kamu kesempatan untuk memperbaikinya, tapi Jihan meminta bercerai denganmu, apakah kamu bisa mengabulkannya?” tanya Bu Kaila.
Melorotlah kedua bahu Fathi yang tegap, wajahnya pun pias begitu saja.
“Jika kamu memang minta kesempatan pada ibu untuk memperbaiki rumah tanggamu dengan Jihan, maka di saat Jihan minta bercerai segera kabulkan!” tegas Bu Kaila, sudut bibirnya menyunggingkan senyum tipis.
Bu Kaila sangat tahu anaknya pasti tidak akan mau dengan Fathi. Dan dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh menantunya jika tidak ingin bercerai dengan Jihan. Tidak akan mudah Fathi meraih Jihan kembali.
Bersambung ... ✍🏻