Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Di Rumah sakit
Emran duduk didepan ruang pemeriksaan bersama dengan Afrin. Ia tadi sudah menghubungi Nadin, agar Nadin memberi kabar kepada keluarga Yasna. Karena ia tidak tahu bagaimana menghubungi keluarga Yasna. ponsel Yasna, mungkin tertinggal di rumah itu.
Seorang Dokter keluar dari ruangan. Emran yang melihatnya pun segera bangkit.
"Bagaimana keadaannya Dok?" tanya Emran.
"Keadaannya baik-baik saja, tapi kalau Bapak mau lebih yakin, Bapak bisa bawa Ibu tes lebih lanjut. Yang lebih mengkhawatirkan sebenarnya mental Ibu, saya khawatir Ibu mengalami trauma," tutur Dokter.
"Baik, Dok. Terima kasih," sahut Emran.
"Saya permisi," pamit Dokter.
"Silahkan," sahut Emran.
Setelah kepergian Dokter, Emran masuk ke ruangan, dimana Yasna dirawat. Yasna masih dalam pengaruh obat, jadi ia masih terlelap dalam tidurnya.
"Bunda kenapa Pa?" tanya Afrin.
"Bunda lagi tidur, nanti juga bangun," jawab Emran.
"Bibil Bunda beldalah, Bunda cakit?" tanya Afrin lagi.
"Iya, Bunda tadi terjatuh karena nggak hati-hati, Afrin kalau melakukan apapun harus pelan-pelan ya! Biar tidak jatuh seperti Bunda." Emran berkata sambil mengusap rambut Afrin.
"Iya, Pa," sahut Afrin.
Pintu terbuka, masuklah seorang wanita dan pria paruh baya. Emran berpikir, mungkin mereka orang tua Yasna atau kerabatnya.
"Ya ampun, Na. Apa yang sudah terjadi sama kamu? Kenapa bisa jadi begini?" Alina menangis melihat keadaan putrinya.
Orang tua mana yang tidak sedih, melihat keadaan putri mereka dalam keadaan babak belur seperti ini. Setelah kemarin hatinya yang terluka kini fisiknya pun terluka.
"Sudah, Bu. Kita harusnya bersyukur, Yasna bisa selamat," ujar Hilman.
"Pokoknya kita harus tuntut mereka seberat-beratnya." Alina begitu emosi mengingat begitu kejamnya para penjahat itu.
Sampai akhirnya pandangan Alina menangkap Emran dan Afrin. Alina memandang suaminya sejenak, kemudian menatap Emran lagi.
"Maaf, Bu, Pak. Perkenalkan nama saya Emran Dan ini putri saya, namanya Afrin. Dia murid Yasna di sekolah," Emran menjabat tangan Hilman dan Alina.
"Iya, saya Ibunya Yasna dan ini Ayahnya," ucap Alina." Apa tadi Anda yang menyelamatkan Yasna?"
"Iya, Bu. Tadi di perjalanan saya melihat Yasna menolong orang, jadi saya mengikutinya," jawab Emran.
"Menolong orang? Maksudnya?" tanya Alina yang tidak mengerti maksud Emran.
Alina tidak mengerti. Apa Yasna menolong orang yang sedang dirampok? Hingga jadi seperti ini?
Emran yang mengerti kebingungan Ibu Yasna pun menceritakan kejadiannya.
Flashback on
Hari ini Emran mengantar kedua anaknya. Terlebih dahulu ia mengantar Aydin, kemudian mengantar Afrin.
Dalam perjalanan menuju sekolah Afrin, Emran melihat Yasna dihadang oleh seorang perempuan dan Yasna mengantarnya pulang hingga kedalam rumahnya. Namun, setelah beberapa menit, Yasna tak juga keluar.
Emran justru melihat wanita yang ditolong Yasna tadi keluar rumah, dengan mengibaskan uang didepan wajahnya. Lalu dimana Yasna? Kenapa wanita itu sendirian?
"Sayang, tunggu disini ya! Jangan kemana-mana. Papa mau panggil Bunda Yasna dulu. Setelah Papa pergi, Afrin kunci mobilnya ya! Jangan buka pintu buat siapapun. Kecuali kalau Afrin kenal, oke?" Emran segera pergi setelah Afrin mengangguk.
Emran berdiri di depan pintu. Ia dapat mendengar apa yang mereka ucapkan, segera ia menghubungi Polisi dan mengirim lokasinya. Usai menghubungi Polisi, Emran segera mendobrak pintu. Tampaklah Yasna yang sedang dikeroyok dan sudah tidak berdaya. Dapat Emran lihat Yasna tersenyum padanya. Seolah mengatakan terima kasih.
Flashbask off
"Kenapa wanita itu tega pada Yasna? Bukankah dia juga perempuan?" tanya Alina.
"Zaman memang sudah berubah. Kita berniat menolong orang, tapi orang itu justru berniat jahat pada kita. Trik itu juga dipakai oleh beberapa perampok," ujar Hilman sedih.
"Benar, Pak. Kasihan juga yang pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan," sahut Emran.
"Saya mengucapkan banyak terima kasih, Anda sudah mau menolong putri kami," ucap Hilman.
Hilman bersyukur, masih ada orang baik yang bersedia menolong putrinya. Seperti yang ia ucapkan tadi, sekarang ini sangat sulit mencari orang baik.
"Sebagai sesama manusia, kita harus saling menolong. Saya juga sudah mengenal Yasna," sahut Emran.
"Putri Anda tidak sekolah? Anda juga tidak bekerja?" tanya Alina.
"Tidak apa-apa libur sehari, sekali-kali." Emran tersenyum menanggapinya.
"Anda juga terluka, sebaiknya diobati dulu, sebentar saya panggilkan Suster," ujar Hilman.
"Tidak usah, Pak. Saya baik-baik saja," sahut Emran.
"Ibu ..." Panggil Yasna lirih.
"Kamu sudah sadar Nak? Apa yang kamu rasakan? Mana yang sakit?" tanya Ibu.
Yasna mengangguk dan tersenyum.
"Yasna baik-baik saja Bu," jawab Yasna." Terima kasih Mas Emran sudah menolongku."
"Sama-sama," sahut Emran.
"Afrin nggak sekolah? Pasti karena aku ya?" tanya Yasna.
"Bunda Yana tenapa cakit?" sela Afrin.
"Bundanya nakal makanya sakit. Afrin nggak boleh nakal ya! Biar tidak sakit seperti Bunda," sahut Alina.
"Ibu, apa sih!" seru Yasna.
"Alin ndak nakal. kata Oma, Alin ndak boleh nakal, bial Bunda Yana mau jadi Mama Afrin," ujar Afrin.
Alina dan Hilman terkejut mendengar perkataan Afrin. Kenapa anak itu berkata seperti itu? Apa Yasna punya hubungan dengan pria yang ada di depan mereka? Apa Yasna akan dijadikan istri kedua? Berbagai pertanyaan ada di otak mereka.
"Apa maksudnya? Apa Anda ingin menjadikan Yasna istri kedua?" tanya Alina emosi.
"Tidak Bu, bukan seperti itu! Saya ... saya ..."
"Anda tidak perlu mencari alasan. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah setuju, Yasna jadi istri kedua." pekik Alina.
"Bu, istri Mas Emran sudah meninggal," sela Yasna. "Afrin, sini. Maafin Nenek ya! Nenek hanya terkejut tadi."
Yasna melihat tadi Afrin terkejut saat Alina berbicara. Mungkin Afrin takut, tidak biasanya Ibunya itu akan emosi seperti tadi di depan seorang anak.
"Iya, maafin Nenek ya! Nenek hanya bercanda tadi," sahut Hilman.
Alina merasa malu sudah menuduh macam-macam. Eh, tunggu dulu. Berarti putrinya kini menjalin hubungan dengan pria ini dan sudah melupakan Zahran? Alina tersenyum memikirkannya. Tetapi, apa dia tahu kalau Yasna tidak bisa memberinya anak? Pria itu sudah memiliki anak, mudah-mudahan tidak menjadi masalah.
"Maafkan saya, sudah marah-marah tidak jelas. Saya hanya tidak mau putri kami bersedih," sesal Alina.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya mengerti, saya juga memiliki seorang putri, jadi saya tahu apa yang Ibu rasakan, tapi bisakah Ibu dan Bapak panggil nama saja, jangan terlalu formal," ujar Emran.
"Rasanya tidak enak kalau panggil nama saja. Kami panggil Nak Emran saja," sahut Hilman.
"Itu lebih baik," sahut Emran.
Emran senang, keluarga Yasna bukan orang tang kaku. Ia jadi lebih mudah berbaur dengan mereka. Entah bagaimana hubungan mereka kelak, Emran berharap masih bisa menjalin silaturrahmi dengan mereka.
.
.
.
.
.