sambungan season 1,
Bintang kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan kuliahnya, tiba-tiba omanya berubah. ia menentang hubungannya dengan Bio
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan yang Menyimpan Takut
Sore itu datang dengan langkah pelan, seperti enggan mengganggu. Kedai kopi Bio mulai ramai—tidak penuh, tapi cukup untuk membuat suara-suara kecil saling bertabrakan: denting sendok, geser kursi, tawa yang ditahan. Bio bergerak di balik bar dengan kebiasaan yang mulai melekat di tubuhnya, menyeduh, menuang, membersihkan. Semuanya tampak normal. Terlalu normal, bahkan.
Bintang duduk di meja dekat jendela, laptop terbuka, tapi matanya jarang benar-benar menatap layar. Sesekali ia menoleh ke arah Bio, lalu kembali menunduk. Ada jarak tipis di antara mereka—bukan jarak tubuh, melainkan sesuatu yang tak kasatmata, yang terasa justru karena mereka begitu dekat.
Bio menangkap tatapan itu. Setiap kali mata mereka bertemu, ada senyum kecil yang terbit, hangat dan lembut. Tapi di balik senyum itu, Bio menyimpan sesuatu yang berdenyut pelan di dada: takut.
Takut yang tidak dramatis. Tidak berisik. Takut yang diam, tapi setia tinggal.
Sejak Bintang kembali bekerja di perusahaan Oma, sejak Satya kembali hadir dengan caranya yang tenang dan perhatian, sejak Oma Rosmawati mulai sering memandangnya seperti menimbang sesuatu—rasa takut itu tumbuh tanpa diminta. Bio tak pernah mengatakannya. Ia belajar menutup rapat-rapat, karena ia takut kata-kata justru akan merusak.
Saat pelanggan terakhir pergi, Bio menurunkan tirai setengah. Langit di luar berubah jingga, lampu-lampu jalan mulai menyala. Bintang menutup laptop dan berdiri.
“Capek?” tanya Bio, berusaha terdengar ringan.
“Sedikit,” jawab Bintang. Ia mendekat, berdiri di depan bar. “Kamu?”
Bio mengangkat bahu. “Biasa.”
Bintang menatapnya lama. Tatapan itu lembut, tapi seolah mencari sesuatu. Bio mengalihkan pandang, pura-pura merapikan cangkir.
“Kamu kenapa?” tanya Bintang akhirnya.
Bio terdiam. Inilah momen yang selalu ia hindari—saat pertanyaan sederhana bisa membuka pintu yang terlalu berat. Ia menggeleng kecil. “Nggak kenapa-kenapa.”
Bintang tidak memaksa. Ia hanya meraih tangan Bio, menggenggamnya di atas meja. Sentuhan itu membuat Bio menutup mata sejenak. Hangat. Nyata. Dan justru karena itu, rasa takutnya berdenyut lebih keras.
Takut kehilangan sesuatu yang begitu ia syukuri.
Mereka keluar dari kedai bersama. Bio mengunci pintu, lalu berjalan di samping Bintang. Langkah mereka seirama, seperti sudah hafal satu sama lain. Di bawah cahaya lampu jalan, Bio menatap wajah Bintang dari samping—garis wajah yang ia kenal luar dalam, senyum yang sering menjadi tempat pulangnya.
“Ada apa di kantor hari ini?” tanya Bio, berusaha membuka percakapan.
Bintang menghela napas. “Banyak rapat. Banyak tuntutan.”
“Satya membantu?”
Pertanyaan itu lolos begitu saja. Bio menyesal begitu melihat Bintang menoleh, sedikit terkejut.
“Iya,” jawab Bintang jujur. “Dia baik.”
Bio mengangguk, menelan sesuatu di tenggorokannya. Ia ingin berkata lebih—ingin mengatakan bahwa ia cemburu, bahwa ia takut, bahwa kadang ia merasa tidak cukup. Tapi kata-kata itu terasa egois. Ia memilih diam.
Mereka berhenti di depan rumah Oma. Gerbang tinggi itu berdiri kokoh, seperti selalu mengingatkan Bio pada perbedaan dunia mereka. Bintang berbalik menghadap Bio.
“Kamu mau masuk?” tanyanya.
Bio tersenyum kecil. “Nggak. Aku pulang aja.”
Bintang mengerutkan kening. “Kenapa?”
Bio menggeleng. “Besok kamu kerja pagi.”
Alasan yang masuk akal. Bintang mengangguk, lalu mendekat. Ia merapikan kerah kemeja Bio, gerakan kecil yang membuat dada Bio sesak oleh rasa sayang yang bercampur takut.
“Jangan pulang malam,” kata Bintang.
Bio tertawa pelan. “Siap.”
Bintang mengecup pipinya singkat, lalu melangkah masuk. Bio berdiri beberapa detik lebih lama, menatap punggungnya menghilang di balik pintu. Saat gerbang tertutup, Bio baru menyadari napasnya tertahan.
Di perjalanan pulang, kota terasa lebih sunyi. Bio mengendarai motornya pelan, pikirannya berputar. Ia teringat wajah Oma Rosmawati di rumah sakit—tatapan tajam yang seolah sudah memutuskan sesuatu. Ia teringat Satya yang berdiri terlalu dekat dengan Bintang, dengan masa lalu yang tak bisa ia sentuh. Ia teringat dirinya sendiri—seorang laki-laki dengan kedai kecil, berusaha berdiri di dunia yang terasa terlalu besar.
“Kalau suatu hari dia pergi…” gumam Bio pelan, lalu menggeleng, menolak melanjutkan pikiran itu.
Malam semakin larut. Bio tiba di kamar kecilnya, meletakkan kunci, lalu duduk di tepi ranjang. Ia mengambil ponsel, membuka pesan terakhir dari Bintang: *Sudah sampai?* Pesan sederhana, tapi cukup untuk membuat Bio tersenyum.
*Sudah. Kamu istirahat ya,* balasnya.
Tak lama, balasan masuk. *Jangan begadang.*
Bio tersenyum lagi. Ia merebahkan diri, menatap langit-langit. Di sana, di antara bayangan dan lampu redup, rasa takut itu kembali hadir—bukan sebagai teriakan, melainkan sebagai bisikan.
Takut jika suatu hari Bintang memilih jalan yang lebih aman.
Takut jika cinta mereka tidak cukup kuat menghadapi rencana orang-orang dewasa.
Takut jika ia harus merelakan, lagi.
Tapi di sela ketakutan itu, ada tekad kecil yang tumbuh. Bio mengepalkan tangan, lalu mengendurkannya.
“Aku akan bertahan,” bisiknya pada diri sendiri. “Selama dia mau.”
Di rumah besar itu, di kamar yang sunyi, Bintang berdiri di depan jendela. Ia menatap halaman, memikirkan Bio dengan rasa hangat yang sama. Ia tidak tahu ketakutan apa yang disimpan Bio di balik tatapannya sore tadi. Ia hanya tahu, setiap kali Bio menatapnya dengan mata yang terlalu lembut, ada sesuatu yang ingin dijaga mati-matian.
Dan di antara dua rumah yang terpisah jarak dan dunia, ada dua hati yang saling mencintai—masing-masing menyimpan takut, masing-masing memilih diam, berharap cinta cukup kuat untuk menunggu.
...****************...