Rela meninggalkan orang yang dicintai demi keluarga. Dan yang lebih menyakitkannya lagi, mendapatkan suami yang penuh dengan kebencian. Itulah yang dirasakan Allesia. Allesia harus meninggalkan kekasihnya, ia dipaksa menikah dengan tunangan kakaknya, namanya Alfano. Alfano adalah pria yang sangat kejam. Kejamnya Alfano bukan tanpa alasan. Ia memiliki alasan kenapa ia bisa sejahat itu.
Apa yang membuat Alfano kejam dan kehidupan seperti apa yang akan Allesia jalani? Mari simak ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asni J Kasim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Isak tangis terdengar begitu pelan. Allesia beranjak dari tempat tidur dan duduk disebelah kanan suaminya. Menatap manik mata hingga bibir pucat sang suami. "Aku senang Tuan sudah sadar" ujarnya terisak.
pria yang barusaja sadar tersenyum menatap wanita yang ia cari beberapa tahun ini. "Aku senang kamu menyapaku Allesia, jangan pergi lagi. Jangan bawa Lusia pergi" kata Alfano.
Pagi hari
Lusia terbangun dari tidurnya saat mendengar suara seorang pria. Berharap pria itu adalah ayahnya. "Ayah" gumam Lusia tersenyum bahagia. Raut wajahnya kembali terlihat lesuh saat menyadari bahwa suara itu bukanlah ayahnya, melainkan Dokter.
"Dokter, aku menghitung hari menggunakan jari tangan dan kakiku. Bahkan aku menghitungnya berulang kali. Dokter, bujuk ayahku untuk bangun, dia belum makan selama tinggal bersama kami" ujar Lusia pada Dokter.
"Karena dia belum makan maka kami akan membawanya pergi" balas sang Dokter dengan senyum.
Tangis Lusia pecah. "Jangan bawa ayahku pergi, dia belum menciumku, membacakan cerita bahkan dia belum pernah tersenyum padaku" ujarnya disela sela tangisnya.
"Kenapa kamu menangis sayang?" tanya Allesia yang baru saja masuk ke dalam kamar.
"I-bu, Dokter itu akan membawa ayah pergi. Katakan padanya ibu... aku mau ayah di sini. Ibu, katakan pada mereka, jangan bawah ayah pergi" ujar Lusia terisak. Ia turun dari tempat tidur menarik tangan ibunya.
Alfano tidak tega mendengar putrinya menangis, ia pun membuka matanya. "Siapa yang mengganggu tidurku?" tanya Alfano berpura-pura.
"Ayah... ayah sudah bangun" Lusia kembali berlari dan naik ke atas tempat tidur. Ia memegang kedua pipi ayahnya. "Ibu.. ayah sudah bangun" teriak Lusia.
"Kamu siapa?" tanya Alfano.
Lusia menjauhkan tangan mungilnya dari wajah ayahnya. Seketika senyumnya menghilang dan air mata kembali menetes. "Ibu, ayah tidak mengenaliku" ucap Lusia, tangisnya semakin kuat.
Lusia mengambil bingkai foto yang selalu ia peluk saat tidur sebelum Alfano datang di Monako. "Ayah, lihatlah foto ini. Ini ayah, aku dan ini Ibu. Apa ayah tidak mengenal kami" tanya Lusia sembari memperlihatkan foto mereka.
"Foto itu seperti editan, bagaimana mungkin aku percaya kalau kamu anakku" balas Alfano.
Lusia semakin sedih, ia membuang bingkai foto di lantai hingga pecah. "Iya... aku bukan putrimu..." seru Lusia, ia berusaha untuk turun dari tempat tidur.
Alfano meraih tangan mungil anaknya, memeluk dan menciumnya. "Bagaimana mungkin ayah tidak mengenalimu" ujar Alfano sembari memeluk erat putrinya.
"Lepaskan aku..." pekik Lusia. "Bawa dia Dokter, dia bukan ayahku..." seru Lusia, ia memberontak seperti orang dewasa.
Dokter terkekeh. "Dia sudah besar, saya tidak bisa membawanya" balasnya.
"Nyonya Allesia, saya sudah menganti perban dan cairan infusnya. Ibu tidak perlu cemas, Tuan Alfano sudah melewati masa kritisnya. Saya permisi dulu, hubungi saya jika ada sesuatu yang terjadi pada Tuan Alfano" kata Dokter Zein. Dokter Zein mengambil tasnya kemudian keluar dari kamar dan kembali ke Rumah Sakit.
"Lepaskan aku..." seru Lusia.
"Sayang, ayah hanya ingin bermain denganmu. Bukannya kamu ingin bermain dengan ayah" ujar Alfano.
Lusia berhenti memberontak, ia menatap ayahnya dengan isak, matanya terlihat sebam. "Apa ayah mengenalku?" tanyanya sesegukan.
"Maafkan ayah. Maafkan ayah. Maafkan ayah" tiga kali Alfano mengucapakan kata maaf pada putrinya.
"Ayah, jangan tinggalkan Lusia lagi" ujarnya sembari memeluk ayahnya.
Allesia meneteskan air mata bahagia saat melihat putrinya memeluk Alfano. "Tuan, Tuan makan dulu, nanti aku suapin" kata Allesia, ia masuk dengan membawa makanan.
"Ibu, biar aku yang menyuapi ayah" pintah Lusia.
"Sekarang kamu mandi, sejak tadi kamu belum mandi pagi" titah Allesia.
"Nene... ayah sudah bangun. Ayah tidak bermimpi lagi" sorak Lusia, ia turun dari tempat tidur berlari memeluk Bi Neona.
"Bibi, biarkan dia mandi sendiri. Dia sudah besar" ujar Allesia. Dia yakin, Bi Neona akan memanjakan Lusia lagi.
"Iya Nyonya" balas Bi Neona.
"Nene, apa Nene tidak pergi ikut lomba?" tanya Lusia menatap Bi Neona dengan penuh tanya.
"Nene baru saja pulang" balas Bi Neona tersenyum lalu mencubit pipi Lusia. Bi Neona masuk ke dalam kamarnya, sedangkan Lusia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan tubuh mungilnya.
"Ibu... mataku perih" teriak Lusia.
Allesia meletakkan sendok makan lalu berlari masuk ke dalam kamar mandi. "Lusia..." teriak Allesia dengan geram saat Lusia mengerjainya.
"Hahahahaha. Ibu, aku mau ibu memandikan aku" pintahnya.
"Ayo cepat, ayah belum makan. Kamu mau Dokter tadi kembali ke sini dan membawa ayah pergi" ujar Allesia mencoba menakuti putrinya.
"Pergilah ibu, aku akan mandi sendiri. Beri makanan yang banyak pada ayah" kata Lusia.
Allesia berdiri dan membiarkan putrinya mandi sendiri. Allesia kembali duduk ditepi ranjang dan kembali menyuapi suaminya.
"Allesia, apa kamu masih membenciku?" tanya Alfano menatap lekat istrinya.
"Tidak" balas Allesia sembari menyuapi suaminya.
"Berikan makanannya padaku, aku akan makan sendiri" kata Alfano.
Allesia menatap suaminya "Izinkan aku menyuapimu Tuan" pintahnya.
"Kenapa kamu masih memanggilku dengan panggilan itu.." ketus Alfano.
"Ayah, tidak baik orang tua memasang wajah cemberut" kata Lusia yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi sembari memegang handuknya.
"Lusia, kenapa kamu tidak memakai handukmu?" tanya Allesia.
"Handuknya jatuh terus ibu, aku sudah mencobanya" balas Lusia menundukan kepalanya.
"Ayo sini, duduk disamping ayah. Tunggu ibu selesai menyuapi ayah baru ibu memakaikan kamu baju dan celana" ujar Allesia.
Allesia menyuapi suaminya, tiba-tiba Lusia menatap kedua ayah dan ibunya. "Ayah, apa kita akan tinggal di rumah ini terus? Kata ibu, rumah kita di Kota lain besar. Kata Ibu, kamarku sebesar rumah kita yang ini" ujar Lusia.
Alfano tersenyum. "Tunggu sampai ayah sembuh, ayah akan membelikan kalian rumah yang sangat besar. Bahkan, lebih besar rumah yang akan ayah beli nanti" balas Alfano mengelus kepala putrinya.
"Allesia, hubungi Ansel, minta dia untuk ke Mansion dan ambil berkas yang aku simpan di tempat penyimpanan. Dia tahu tempatnya," ujar Alfano.
"Baik Tuan," balas Allesia dengan pelan.
"Ibu, kenapa Ibu memanggil ayah dengan panggilan itu? Apa ayah tidak punya nama, seperti ibu memanggilku Lusia" tanya Lusia, ia menautkan kedua keningnya menatap ibunya dengan penuh tanya.
"I-ibu" Allesia terlihat gugup untuk menjawab pertanyaan putrinya.
"Sini" Alfano meminta anaknya untuk mendekat. Kemudian ia membisikan sesuatu ditelinga putrinya.
"Hahahaha. Jadi ibu malu" ujar Lusia.
"Allesia, berjanjilah padaku untuk tidak pergi lagi. Izinkan aku menebus kesalahanku, izinkan aku membahagiakan kalian berdua. Jika kamu takut kehilangan Lusia dengan alasan dia satu-satunya yang kamu punya, lalu bagaimana denganku, aku hanya punya kalian berdua" ujar Alfano menatap sayu istrinya.
Halo readers, dimaafkan apa jangan ni?
Jangan lupa like, bagikan, vote dan bintang 5 ya 😊 Dan jangan lupa mampir di Novel yang di bawah 😊