Tiba-tiba beralih ke tubuh seorang gadis tentu saja membuat Almira kaget. Yang Almira ingat adalah saat dirinya berperang dengan musuh Kakaknya dan dirinya tertembak beberapa kali, tentu saja tak mungkin hidup Almira pasti sudah mati.
Tapi kenyataannya Almira masih hidup, tapi bukan dalam tubuhnya. Wajahnya pun sangat berbeda ini sangat muda sedangkan Almira sudah 28 tahun.
Siapakah sebenarnya pemilik tubuh ini ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ririn dewi88, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sedikit menyakiti
Rayan tersenyum saat mengingat Laura makan dengan lahap. Biasanya Laura akan makan dengan malas-malasan. Baru saja Rayan melangkah untuk masuk kedalam kelas tangannya ditarik dengan kuat.
"Gue ga punya urusan lagi ya sama lo"
"Enak saja, kita harus bicara"
Rayan menarik tangannya dari cengkraman Arkan. Rayan tak mau lagi berurusan dengan anak nakal ini. Sudah cukup dulu dirinya bodoh selalu mau diperintah oleh Arkan.
"Kenapa, lupa sama taruhan kita" Arkan tersenyum sinis dan sedikit mendorong bahu Rayan.
"Jangan pernah bahas lagi tentang taruhan itu. Semuanya sudah berakhir dan gue juga ga mau berurusan lagi sama lo. Pertemanan kita sudah lama berakhir. Gue ga mau ikut-ikutan lagi sama lo"
"Enak banget, sepertinya gue harus bicara sama Laura" ancam Arkan.
"Sudahlah jangan ganggu hidup gue lagi. Kita masing-masing saja mulai sekarang"
"Tapi Laura harus tahu ini"
Rayan yang kesal menonjok Arkan. Tidak peduli nanti orang tuanya akan datang ke rumahnya. Rayan tidak mau sampai semuanya terbongkar. Laura harus seperti ini tidak boleh berubah dan tidak boleh menjauhinya. Rayan sudah terlanjur jatuh cinta pada Laura, tak mungkin kan tiba-tiba mundur.
"Sialan lo, gara-gara perempuan berani pukul gue" Arkan mengusap pipinya yang sakit. Baru juga sembuh sudah main dihajar saja sama orang yang berbeda.
"Makanya tutup mulut ga usah banyak bacot. Ini urusan gue dan Laura nantinya. Dan lo ga usah ikut campur, ingat itu gue tahu kebusukan lo Arkan. Sekali saja lo bicara sama Laura tentang hal itu, maka gue bakal buka semuanya tentang lo"
Arkan mendengus, menunjuk Rayan sambil berjalan mundur "Lihat saja gue ga akan pernah tinggal diam. Lihat saja" Arkan berbalik dan berlari.
Rayan menghela nafas, tadi sempat tegang tapi semua bisa teratasi. Rayan pastikan kalau Arkan tak akan buka mulut sampai kapanpun.
Rayan hampir meraih seluruh hati Laura, jangan sampai semuanya kacau hanya gara-gara Arkan si pecundang.
...----------------...
"Jadi gimana, kalian jadikan main ke rumah kita "Laura memasang wajah yang begitu ramah pada kedua teman Anya.
"Kalian jangan dengerin Laura ya, hari ini rumahku lagi di renovasi. Iya bener kan Laura rumah kita lagi direnovasi" Anya mencari alasan baru agar temannya tak datang ke rumah.
Laura mengerutkan keningnya lalu menggelengkan kepala "Sejak kapan rumah kita di renovasi. Ga juga kok, ayo main saja mau kan kalian atau mau nginep saja" kembali Laura menawari dengan antusias.
Anya yang kesal menarik tangan Laura untuk menjauh, tapi tubuh Laura tak bergerak sedikitpun sampai Anya kewalahan.
"Kita harus bicara Laura" bisik Anya.
"Bicara disini saja, kenapa harus menjauh juga" Laura sengaja berteriak agar terdengar oleh teman-temannya Anya.
"Iya bicara saja kali Anya. Memangnya kita ga boleh ya denger kalian ngobrol "celetuk Miranda yang sudah mulai bosan dengan tingkah kedua orang yang ada hadapannya ini.
"Mending pulang saja yu Miranda, aku lagi ga mood nih main ke rumahnya Anya. Terlalu banyak drama" ucap Naura.
Miranda mengiyakan dan berlalu begitu saja. Anya tersenyum senang dan ekspresinya langsung berubah menjadi sinis.
"Jangan pernah ajak teman-temanku main ke rumah ingat itu Laura. Kamu tahu kan keadaan kita ini seperti apa"
"Iya aku tahu keadaan rumah kita seperti apa. Toh seharusnya kamu juga bicara pada teman-temanmu sekarang keadaanmu bagaimana. Kalian kan sudah berteman lama, masa sih mereka tidak mau menerima keadaanmu"
Anya berdecak "Kamu itu tidak tahu apa-apa. Jangan pernah ngurusin hidupku dan jangan pernah dekati teman-temanku. Kamu ga pantes temenan sama mereka"
"Aku tidak pernah mendekati teman-temanmu, bukannya kalian kan yang tadi datang ke kelasku. Jangan menjadi orang bodoh Anya"
"Kamu ini makin hari makin menyebalkan Laura. Lebih baik kamu jangan pernah lagi pulang ke rumah seperti malam tadi"
"Terserah aku, aku ini anak kandung sedangkan kamu anak tiri. Seharusnya kamu tahu diri Anya "
"Sialan kamu ya "
Anya yang akan menampar Laura tangannya ditahan oleh Laura sendiri. Laura makin mencengkram tangan Anya dengan kuat.
"Sakit Laura lepaskan, sakit Laura " teriak Anya, bahkan Anya sudah berjongkok dan memegang tangannya yang masih dipegang oleh Laura.
"Masa sih gini saja sakit. Dulu saja kamu sering bully aku dan ga mikir apakah aku kesakitan atau tidak. Sekarang giliran ku"
"Apaan sih bukan aku saja ya, lepasin tangan aku sudah sakit banget "
Tapi Laura malah tersenyum dan makin menambah cengkeramannya. Laura suka melihat musuhnya kesakitan bahkan sekarang Anya menangis.
"Ampun Laura, ampun aku tak akan menganggu kamu lagi "
"Sudah terlambat. Seharusnya dari dulu kamu sadar dan tidak menggangguku. Aku akan selalu membalas setiap kesakitan yang telah kalian lakukan" bisik Laura dengan dingin.
Anya menelan ludahnya, entah kenapa aura Laura begitu menyeramkan. Ini seperti bukan Laura yang Anya kenal selama ini.
Anya mendongakkan kepalanya dan menatap mata Laura "Sebenarnya kamu siapa"
Laura malah tertawa terbahak-bahak lalu melepaskan tangan Anya " Kamu tak mengenaliku, tentu saja aku Laura "
Anya mengusap tangannya dan mundur beberapa langkah" Tapi aku tidak mengenalimu, kamu bukan Laura aku tahu itu"
"Terserah mu, tapi semua orang tahu kalau aku ini adalah Laura "
Laura berjalan dengan perlahan mendekati Anya, tapi Anya langsung mundur dan lari terbirit-birit. Anya tak mau sampai tangannya kembali disakiti oleh Laura. Bagaimana kalau Laura nekat membunuhnya itu sangat menakutkan sekali.
...----------------...
Damian pulang dengan lesu, dagangannya sama sekali tak ada yang laku. Bagaimana hidupnya kedepannya kalau seperti ini terus. Damian harus bicara apa dengan Mawar nanti.
"Sudah pulang Mas gimana lakukan" Mawar menyambut suaminya dengan bahagia. Menunggu uang yang akan diberikan oleh suaminya.
Damian menggelengkan kepalanya, duduk dan memegang kepalanya yang mulai sakit. Karena terlalu banyak memikirkan beban hidupnya ini.
"Gimana sih Mas kita mau makan apa, anak-anak mau bayar sekolah pakai apa. Aku ga bisa kalau hidup terus kayak gini Mas. Kamu harus cari bantuan sama temen-temen kamu. Aku ga sanggup kalau hidup kayak gini"
"Daripada kamu terus ngoceh Mawar lebih baik kamu bantu aku untuk mencari solusi. Bukannya kamu tidak memperbolehkan aku untuk meminta bantuan pada teman-temanku. Kamu tidak mau membongkar kalau keadaan kita ini sedang terpuruk. Aku sudah mengikuti apa maumu. Jangan kembali menuntut ku"
Mawar dengan gelisah duduk dihadapan suaminya" Aku tidak mau hidup seperti ini terus Mas, aku benar-benar tidak akan pernah sanggup. Aku dari dulu selalu bergelimang harta, saat terpuruk seperti ini aku benar-benar seperti mimpi buruk. Aku benar-benar tidak siap dengan semua ini"
"Siap ataupun tidak kamu harus tetap membantu suamimu, jangan hanya bisa menuntut Mawar. Cari solusi sama-sama. Kalau perlu kamu bantu aku untuk berdagang siapa tahu dengan adanya kamu bisa membantuku nanti"
Tentu saja Mawar tidak mau, bagaimana kalau ada yang mengenalinya mau disimpan dimana wajahnya ini.