Akay, pemuda yang kadang bermulut pedas, terjebak dalam pernikahan dengan Aylin, gadis badung yang keras kepala, setelah menabrak neneknya. Itu adalah permintaan terakhir sang nenek—dan mereka harus menandatangani perjanjian gila. Jika Akay menceraikan Aylin, ia harus membayar denda seratus miliar. Tapi jika Aylin yang meminta cerai, seluruh harta warisan neneknya akan jatuh ke tangan Akay!
Trauma dengan pengkhianatan ayahnya, Aylin menolak mengakui Akay sebagai suaminya. Setelah neneknya tiada, ia kabur. Tapi takdir mempertemukan mereka kembali di kota. Aylin menawarkan kesepakatan: hidup masing-masing meski tetap menikah.
Tapi apakah Akay akan setuju begitu saja? Atau justru ia punya cara lain untuk mengendalikan istri bandelnya yang suka tawuran dan balapan liar ini?
Apa yang akan terjadi saat perasaan yang dulu tak dianggap mulai tumbuh? Apakah pernikahan mereka hanya sekadar perjanjian, atau akan berubah menjadi sesuatu yang tak pernah mereka duga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Taruhan
Entah kenapa, mendengar Akay akan pergi, ada sesuatu yang terasa aneh di hatinya. Bukannya ia keberatan, tapi... mendadak suasana rumah terasa akan sepi tanpa Akay.
Namun, ia tetap menjaga ekspresinya tetap datar. "Hum," jawabnya singkat.
Tapi Akay tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan nada menggoda, "Jangan nakal di rumah, ya."
Mira yang sejak tadi berusaha menahan keterkejutan, langsung mencengkeram lapnya lebih erat. Kenapa bisa semesra ini?
Mira yang masih syok di sudut ruangan meremas lap di tangannya dengan kasar. Rahangnya mengeras. Wajahnya merah padam, tapi bukan karena malu—melainkan karena cemburu setengah mati!
Kenapa harus dipanggil Ayang?! Kenapa bisa seromantis itu?!
Mbok Inem, yang menangkap ekspresi Aylin yang sedikit lebih serius dari biasanya, hanya tersenyum tipis dan ikut menyindir, "Lho, Non, suaminya mau pergi jauh, kok jawabnya pendek banget? Paling nggak, ucapkan ‘hati-hati’ atau ‘jangan lama-lama, ya’…" godanya.
Aylin mendengus pelan, lalu akhirnya berkata, "Hati-hati di jalan."
Nada suaranya terdengar seperti biasa, tapi Akay menangkap sesuatu dalam ekspresinya yang berbeda.
Akay tertawa kecil, lalu tanpa diduga, ia mengusap puncak kepala Aylin sebelum berbalik mengambil kunci mobilnya dan berjalan pergi.
Sementara itu, Mira menggigit bibirnya, nyaris ingin membanting lap yang dipegangnya, sebelum akhirnya memilih pergi dengan wajah penuh kekesalan.
Mbok Inem? Ia hanya terkekeh, sambil bergumam pelan, “Yakin, Nduk, nggak bakal kangen?” Wanita tua itu hanya tersenyum puas, sambil bergumam pelan, “Akhirnya ada kemajuan juga, Syukurlah.”
***
Setibanya di sekolah, Aylin baru saja melepas helmnya ketika tiga sahabatnya, Sinta, Rena, dan Linda, menghampirinya dengan wajah penuh semangat.
"Lin! Ada yang nantang balapan lagi!" Sinta langsung membuka pembicaraan.
Aylin mengangkat alis, tertarik. "Siapa?"
"Anak baru dari luar kota. Katanya jago banget, sering menang di lintasan mereka. Taruhannya gede!" tambah Rena, matanya berbinar.
Aylin tersenyum miring. "Gede seberapa?"
"Lima puluh juta."
Aylin terkekeh pelan. Bukan jumlah yang kecil, tapi bukan juga sesuatu yang membuatnya gentar. Selama ini, tak ada satu pun yang bisa mengalahkannya di lintasan. Setiap balapan, ia selalu menang. Dari sanalah ia mengumpulkan uang, sedikit demi sedikit, hingga akhirnya ia bisa membangun bengkelnya sendiri.
Bengkel itu bukan sekadar tempat modifikasi motor, tapi juga jadi tongkrongan para penggemar motor kencang dan custom. Bukan hanya sekadar tempat servis biasa, melainkan pusat dari komunitas motor modifikasi terbaik di kota ini.
Awalnya, ia hanya menyewa tempat kecil, tapi seiring waktu, kemenangan demi kemenangan membuat modalnya bertambah. Ia mempekerjakan beberapa mekanik kenalannya yang berbakat, dan sekarang? Bengkelnya selalu ramai. Bahkan, kalau sedang malas pulang ke rumah, ia lebih memilih tidur di sana, di kamar kecil yang ada di ruang belakang bengkelnya.
Aylin melirik teman-temannya dengan mata berbinar penuh tantangan.
"Dimana dan kapan?" tanyanya, suaranya penuh percaya diri.
"Nanti malam, di jalanan dekat jembatan layang. Lu serius mau nerima tantangan ini?" tanya Linda.
Aylin tertawa kecil, menyilangkan tangan di dada dengan ekspresi penuh percaya diri.
"Kapan sih gue pernah nolak tantangan?" katanya santai, lalu melangkah menuju kelas dengan langkah ringan.
Teman-temannya saling bertukar pandang, senyum penuh antisipasi terukir di wajah mereka.
Karena satu hal yang pasti—jika Aylin ikut balapan, dia pasti menang.
***
Begitu bel pulang berbunyi, Aylin tak membuang waktu. Alih-alih pulang ke rumah, ia langsung meluncur ke tempat yang selalu membuatnya nyaman—bengkel.
Saat tiba, suara dentingan perkakas dan deru mesin motor yang sedang diuji coba menyambutnya. Beberapa mekanik yang sedang sibuk memperbaiki motor pelanggan menoleh sekilas, lalu mengangguk sebagai sapaan.
Aylin berjalan menuju sudut bengkel tempat motornya diparkir. Dengan gerakan santai, ia menyentuh bodi motor sport kesayangannya, jemarinya meluncur di sepanjang fairing hitam mengilap.
"Cek semua. Mesin, rem, ban, semuanya. Gue nggak mau ada masalah nanti malam," perintahnya pada salah satu mekaniknya, Bismo.
Bismo mengangguk, menyeka tangannya dengan lap kotor sebelum mulai mengecek motor Aylin. "Santai, bos. Gue pastiin ini siap tempur."
Aylin tersenyum tipis, lalu menjatuhkan diri ke sofa tua di sudut bengkel. Ia menyandarkan kepala, menikmati aroma bensin dan oli yang justru terasa menenangkan baginya.
Di sini, ia merasa di rumah.
***
Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, suara knalpot motor bergemuruh di lahan kosong yang biasa dipakai untuk balapan jalanan. Aylin melangkah dengan percaya diri, diapit oleh Sinta, Rena, dan Linda, sementara Bismo berjalan di belakang mereka dengan tangan dimasukkan ke dalam saku.
Di depan mereka, seorang pria bersandar santai pada motor sportnya, mengamati Aylin dengan senyum penuh percaya diri. Rambutnya sedikit berantakan, jaket kulitnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaos hitam ketat yang menempel di tubuh atletisnya.
"Jordi, ya?" Aylin menatapnya dengan santai, tangannya terlipat di dada.
Jordi menyeringai, mengibaskan rambutnya dengan gaya. "Dan lo pasti Aylin. Gue udah sering denger nama lo. Katanya lo ratu jalanan di sini."
Aylin terkekeh, menatapnya dengan tatapan menilai. "Kalau lo udah tahu reputasi gue, harusnya lo mikir dua kali sebelum nantangin gue."
Jordi tertawa kecil, melangkah lebih dekat. "Siapa tahu gue bisa bikin lo kalah untuk pertama kalinya. Atau paling nggak... bikin lo jatuh hati sama gue?" ucapnya dengan nada menggoda, matanya penuh arti saat menatap Aylin dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Linda dan Rena langsung mendelik jijik, sementara Sinta justru tertawa geli.
"Oh, manis banget, Sayang," sindir Aylin sambil menepuk pipi Jordi pelan. "Tapi kalau lo berharap bisa menang atau bikin gue terpesona, kayaknya lo harus siap kecewa dua kali malam ini."
Bismo, yang sejak tadi diam, mendengus kecil. "Udah, kurang-kurangin modusnya. Mau balapan atau nggak?"
Jordi hanya tertawa santai, lalu melangkah mundur sambil mengangkat tangan. "Tenang, bro. Gue orangnya fair. Tapi abis gue menang, gimana kalau gue ajak Aylin jalan-jalan?"
"Menang?" Aylin menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya sekali. "Lucu. Oke, kalau gitu, kita lihat nanti siapa yang pulang dengan kepala tegak."
Jordi tersenyum miring, sementara Sinta, Linda, dan Rena bersorak kecil. Malam ini akan jadi malam yang seru.
Beberapa menit kemudian....
Di bawah sorotan lampu jalan yang temaram, suara deru mesin motor memenuhi udara. Sekelompok anak motor sudah berkumpul di lahan kosong yang sering dijadikan arena balapan liar. Namun, perhatian mereka langsung tertuju pada satu sosok yang baru saja melangkah memasuki arena.
Aylin.
Dengan jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya, sarung tangan kulit yang melekat erat di tangannya, serta pelindung kaki dan siku yang semakin menegaskan aura seorang pembalap profesional, ia berjalan dengan percaya diri. Helmnya tersampir di salah satu lengannya, sementara rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai sedikit berkibar tertiup angin malam.
Langkahnya ringan, tapi penuh kendali—seperti seseorang yang tahu betul bahwa ia adalah pusat perhatian.
Beberapa cowok mencuri pandang, kagum tapi tak berani mendekat. Reputasi Aylin bukan hanya sekadar seorang pembalap jalanan yang tak terkalahkan, tapi juga seorang pemilik bengkel yang ia bangun sendiri dari hasil keringat dan taruhannya. Ia bukan sekadar pengendara, tapi juga seorang mekanik yang paham seluk-beluk mesin motor lebih dari sebagian besar orang di sana.
Di dekatnya, Rena bersiul pelan. "Gila, Lin. Lo bikin semua mata cowok di sini nggak bisa berkedip."
Linda tertawa kecil. "Bukan cuma mata, tapi juga nyali mereka. Pada tahu kalau Aylin itu ratu jalanan, nggak ada yang berani coba-coba."
Sinta ikut terkikik. "Kecuali si Jordi. Gue penasaran, dia beneran pede bisa ngalahin lo, atau cuma nyari alasan buat lebih dekat?"
Aylin hanya tersenyum tipis, memasang helmnya dengan satu gerakan cekatan. "Kalau dia cuma nyari alasan buat modus, sayang banget, karena gue lebih suka balapan daripada basa-basi."
Dari kejauhan, suara mesin motor lain meraung. Jordi baru saja tiba.
Saat menatap pria itu, Aylin menarik napas dalam, menyalakan motornya, lalu merasakan getaran mesin yang sudah ia kenal luar dalam. Malam ini, ia akan kembali membuktikan siapa penguasa jalanan yang sebenarnya.
Tapi malam ini, jalanan mungkin punya rencana lain untuknya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Akay merasa dijebak nenek ros menikahi cucunya...
Darah Akay sudah mendidih si Jordi ngajak balapan lagi sama Aylin...benar² cari mati kamu Jordi..ayo Akay bilang saja ke semua teman² Aylin kalo kalian sudah menikah
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍