Jalan berliku telah Nina lalui selama bertahun-tahun, semakin lama semakin terjal. Nyaris tak ada jalan untuk keluar dari belenggu yang menjerat tangan dan kakinya. Entah sampai kapan
Nina mencoba bersabar dan bertahan.
Tetapi sayangnya, kesabarannya tak berbuah manis.
Suami yang ditemani dari nol,
yang demi dia Nina rela meninggalkan keluarganya, suaminya itu tidak sanggup melewati segala uji.
Dengan alasan agar bisa melunasi hutang, sang suami memilih mencari kebahagiaannya sendiri. Berselingkuh dengan seorang janda yang bisa memberinya uang sekaligus kenikmatan.
Lalu apa yang bisa Nina lakukan untuk bertahan. Apakah dia harus merelakan perselingkuhan sang suami, agar dia bisa ikut menikmati uang milik janda itu? Ataukah memilih berpisah untuk tetap menjaga kewarasan dan harga dirinya?
ikuti kelanjutannya dalam
KETIKA SUAMIKU BERUBAH HALUAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Dua hari kemudian, matahari sudah mulai bergeser ke arah barat ketika Nina sedang duduk di beranda rumahnya. Biasa duduk pun sambil tangannya tak berhenti bergerak membuat tas dari anyaman plastik.
Sebuah mobil pick up masuk ke halaman rumahnya yang luas, membuat Nina mengangkat wajahnya yang semula menunduk fokus pada helaian bahan tas. Nina segera berdiri dari duduknya ketika menyadari bahwa yang datang adalah mobil milik Bu ida yang mengantar mesin cuci pesanannya.
"Alhamdulillah, akhirnya mesin cucinya datang juga," ucap Nina. Ada nada lega dari suaranya yang terdengar pelan.
Melihat adanya sebuah mobil masuk ke halaman rumah Nina, para tetangga yang sebelumnya berada di beranda rumah masing-masing ikut berkerumun.
"Wah, Mbak Nina, Kamu beli apa ini?" tanya seorang tetangga ketika mobil yang mengantar mesin cuci sudah pergi. Beberapa wanita meneliti dan memperhatikan kardus pembungkus luar.
“Ini mesin cuci ya, Mbak Nina?” Bu Asih ikut mendekat sambil menggandeng Sinta, putrinya yang selisih setahun dari Agus. Bu Asih memang sering main ke rumah Nina, dia adalah tetangga yang paling akrab dengan Nina.
"Iya, Bu Asih," jawab Nina sambil tersenyum. "Ini dapat arisan di tempat Bu Ida.”
“Wahhh, nanti aku ikut numpang nyuci di rumahmu, kalo gitu, ya?” Ha ha ha. Bu Asih bertanya seraya bergurau.
“Boleh, Bu. Jangan lupa ditimbang per kilo tapi ya. Ha ha ha…” Nina pun membalasnya dengan bergurau pula.
“Ohh, kamu mau buka laundry to, Nin?” Mbak Darti ikut bertanya. Dan itu membuat rasa penasaran para tetangga semakin menjadi.
Nina tersenyum dan menjawab, "Maunya sih gitu, Mbak. Nanti nglondry ke sini ya, ha ha," katanya sambil tertawa kecil.
Pak Karto yang kebetulan lewat sambil mencari pakan kambing pun ikut mendekat dan nimbrung dalam obrolan. "Laundry? Kamu mau buka laundry, Nin? Wah, bagus itu!" seru Pak Karto, "Mengko nek kathokku reget kumbahno, yoo? (Nanti kalau celana pendek ku kotor cucikan), ya!" gurau pak Karto.
“Beres, Pakde. Ampun kesupen ijole soklin, nggih? (Jangan lupa gantinya soklin). Nina pun membalasnya dengan gurauan. Gurauan yang sebenarnya serius.
"Musim hujan seperti ini, kadang nyuci pakaian tiga hari belum kering. Sampai baunya gak enak. Kalau kamu buka laundry ya bagus itu.” Mbak Sinem ikut menimpali.
"Iya, Bu, Pak, nanti kalau sudah mulai beroperasi, saya kabari ya. Ini saya masih harus nyiapkan tempat jemuran dulu. Di belakang rumah tempatnya luas, bisa buat jemuran, tapi pohon-pohon yang gak penting biar dibabati dulu sama ayahnya Agus. Jadi biar langsung dapat panas dari pagi.” kata Nina.
Halaman belakang rumah Nina memang luas. Dulu Nina dan Wito membeli lahan dengan luas 1000 meter persegi Itu sekitar tiga tahun yang lalu, saat kehidupan mereka masih baik-baik saja. Sebelum kaki Wito sakit dan membutuhkan biaya banyak untuk operasi dan pengobatan lainnya.
"Tapi jangan mahal-mahal ya, Nin!" seru Bu Sarni. "Nanti kalau mahal, tak ucek dewe wae. (Aku cuci sendiri saja)!"
"Tenang saja, Bu Sarni," jawab Nina, "Harga saya pasti terjangkau kok. Ya harga standar lah. Ikut harga di luar, tapi jangan khawatir, nanti aku korting kalo nyucinya banyak.”
“Nin, kalo misal mau nyuci tok gak usah setliko, oleh pora?” tanya Mbah Sumini. Memang kalau kebanyakan orang desa, apalagi orang yang sudah tua, jarang pakaian yang disetrika.
“Pareng, Mbah. Kan mangke regine pun benten. (Boleh, nanti kan harga beda)”
“Wahh, yo penak tenan yen ngono.”
***
Hari berikutnya, dari pagi ketika embun telah menguap karena bias matahari, Nina sudah sibuk membersihkan halaman belakang bersama dengan suaminya.
Agus yang kebetulan libur sekolah karena hari Minggu pun, tak ketinggalan membantu dengan penuh semangat. Anak itu menarik ranting mangga dengan tangan kecilnya dan menyeretnya ke tempat pembuangan sampah. Tumpukan daun dan ranting itu nanti akan dibakar jika sudah kering.
“Agus, ayo naik, biar Ayah tarik!” seru Wito.
Agus yang melihat ayahnya memegang pelepah kelapa pun segera membuang ranting mahoni yang dipegangnya lalu berlari mendekat. Bocah itu dengan girang duduk di atas pelepah kelapa. “Ayo tarik, Yah !” serunya.
“Horreeee… dada Ibu…!” sorak bocah itu girang sambil melambaikan tangannya ketika pelepah kelapa yang didudukinya bergerak maju.
Nina pun tersenyum seraya membalas lambaian tangan anaknya. “Yang pelepah kelapa itu nanti disendirikan ya, Mas,” teriak Nina. “Biar gak ikut kebakar. Nanti aku ambil lidinya buat bikin sapu,” lanjutnya.
“Beres,” jawab Wito sambil berteriak juga.
“Enak tidak?” Terdengar teriakan Wito pada anaknya.
“Enak, Yah. Asikk, seru sekali.” Agus sesekali melepas pegangan tangannya untuk bertepuk tangan. “Coba tadi Sinta ikut main sini, pasti tambah seru!”
Sampai di dekat tempat pembuangan agus turun, lalu kembali berlari ke dekat tumpukan pelepah kelapa yang masih ada, lalu dengan senang hati Wito kembali menarik putranya. Keduanya terlihat sangat bahagia.
Nina menatap kebersamaan ayah dan anak itu dengan hati campur aduk. Ada rasa bahagia melihat tawa Agus, tapi ada juga rasa kecewa jika mengingat kesalahan yang pernah dilakukan oleh Wito. Sedih mengingat pernikahan mereka yang hampir berakhir.
Agus adalah satu-satunya yang tak dia sesali karena telah mempertahankan Wito. Karena sesungguhnya dia melakukan itu, memberikan kesempatan pada Wito juga demi Agus. Semoga saja Wito tak lagi berbuat ulah. Itu yang diharapkan oleh Nina.
Halaman belakang rumah Nina, kini jadi terlihat lebih lapang. Ada banyak pohon mahoni dan akasia yang ditebang oleh Wito. Wito juga sudah memasang beberapa jemuran menggunakan galah dari bambu panjang yang disangga dengan tiang bambu juga. Ada sepuluh galah membentang panjang.
“Agus, sudah mainnya. Ayo cepat mandi lagi! Biar tidak gatal,” seru Nina. Hampir separuh hari Agus bermain-main dengan ranting dan daun. Yang Nina khawatirkan adalah jika ada bulu ulat yang menempel. Namanya juga pohon rimbun. Pasti ada ulatnya.
“Iya, Bu.” Agus bergerak dengan patuh. Dibuangnya ranting yang sebelumnya dia pakai untuk bermain kuda-kudaan. Lalu segera berlari ke sumur yang ada di belakang rumah.
***
Matahari berada tepat di atas kepala. Mereka baru saja mau istirahat setelah lelah membersihkan halaman belakang.
“Ibu, Om Yudi datang,” teriak Agus dari halaman depan.
Nina yang baru saja duduk setelah membuat kopi untuk suaminya bergegas ke depan. Pasti adiknya datang mengantar barang titipannya.
Wito pun ikut berdiri untuk menyambut kedatangan adik iparnya.
“Apa ini, Dek? Kok banyak sekali barang?” Wito merasa heran melihat Yudi menurunkan keranjang dan beberapa jerigen dari mobil pick up nya.
"Oh,,, ini...."
tak or yak?
terima kasih tetap memberikan hiburan gratis ini,
jangan lupa istrahat cukupp yaaa/Kiss//Kiss/