Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekuatan Arjuna Kembali
Mobil yang mereka tumpangi melaju di jalan tol menuju Yogyakarta. Kirana duduk di kursi depan, sementara Arjuna bersandar di jok belakang dengan mata menatap ke luar jendela. Bara, yang mengemudi, sesekali melirik ke arah mereka melalui kaca spion.
Suasana dalam mobil cukup tenang hingga Kirana memecah keheningan.
Kirana (penasaran): "Arjuna, aku ingin bertanya. Saat kau masih menjadi Dewa sepenuhnya, apa kau tidak pernah tahu soal candi-candi ini? Maksudku, kau sudah hidup sejak zaman kuno, bukan?"
Arjuna tersenyum kecil mendengar pertanyaan itu. Ia menarik napas dalam sebelum menjawab.
Arjuna (mengangguk pelan): "Tentu saja aku tahu. Candi-candi itu dibangun oleh manusia ribuan tahun yang lalu, sebagai bentuk penghormatan dan juga pusat spiritual mereka. Namun, mereka tidak membangun semuanya sendirian."
Bara yang mendengar itu menjadi penasaran dan bertanya sambil tetap fokus mengemudi.
Bara (mengangkat alis): "Maksudmu, ada yang membantu mereka?"
Arjuna (mengangguk, menatap ke luar jendela): "Ya, beberapa candi besar tidak hanya dibuat oleh tangan manusia. Ada campur tangan Ras Jin yang membantu dalam pembangunan. Jin-jin tertentu memiliki perintah dari penguasa mereka untuk membantu manusia dalam mendirikan bangunan sakral."
Kirana dan Bara saling berpandangan, terkejut dengan fakta itu.
Kirana (bersemangat): "Jadi legenda tentang jin yang membantu membangun Prambanan itu benar?"
Arjuna (tersenyum tipis): "Lebih dari sekadar legenda. Mereka tidak hanya membantu membangun, tapi juga melindungi tempat-tempat itu. Hingga kini, beberapa dari mereka masih berdiam di sana, menjaga warisan yang pernah mereka buat bersama manusia."
Bara (tertarik): "Kalau begitu, mungkin ada sesuatu di sana yang bisa membantumu mengembalikan kekuatanmu."
Arjuna tidak menjawab, hanya menatap lurus ke depan. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa bahwa perjalanan ini bukan hanya sekadar mencari petunjuk, tetapi mungkin juga menemukan sesuatu yang telah lama tersembunyi.
Perjalanan mereka terus berlanjut, sementara di kejauhan, siluet Gunung Merapi mulai terlihat, seolah menjadi penjaga bisu atas tanah Jawa yang menyimpan begitu banyak rahasia.
Bab Berikutnya – "Rahasia di Candi Borobudur"
Langit Yogyakarta tampak mendung ketika Arjuna, Kirana, dan Bara tiba di kompleks Candi Borobudur. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan rintik yang sempat mengguyur daerah itu. Mereka berjalan perlahan menaiki tangga batu yang sudah berusia ribuan tahun, diapit oleh patung-patung Buddha yang diam dalam ketenangan abadi.
Namun, ada sesuatu yang aneh.
Bara (berbisik, waspada): "Kenapa aku merasa suasana di sini agak berbeda? Biasanya, tempat wisata kayak gini ramai, tapi sekarang terasa... sunyi."
Kirana juga merasakan hal yang sama. Biasanya, selalu ada turis yang berjalan di sekitar, tapi kali ini hanya ada mereka bertiga. Angin bertiup lebih kencang, dan burung-burung yang tadi hinggap di stupa-stupa batu mendadak terbang serempak, seolah ada sesuatu yang mengusik ketenangan mereka.
Arjuna berhenti di tengah pelataran candi. Ia memejamkan matanya, mencoba merasakan energi yang ada di sekelilingnya. Sebagai mantan Dewa, ia masih memiliki insting tajam terhadap perubahan energi spiritual.
Dan saat itulah, ia merasakannya—sebuah kehadiran asing.
Arjuna (dengan suara rendah, tegang): "Kita tidak sendirian."
Kirana dan Bara langsung menoleh ke sekeliling mereka, mencoba mencari sesuatu yang tidak kasatmata.
Tiba-tiba, udara di sekitar mereka bergetar. Suasana hening berubah menjadi penuh ketegangan. Dari balik lorong batu di sisi candi, muncul sosok yang tak biasa—seorang pria tua berjubah abu-abu dengan tongkat kayu di tangannya. Tatapannya tajam, seakan bisa menembus isi pikiran mereka.
Orang Tua Misterius (dengan suara berat): "Akhirnya kau datang juga, Arjuna."
Arjuna mengernyit, berusaha mengenali sosok itu.
Arjuna (menatap tajam): "Siapa kau?"
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu mengetukkan tongkatnya ke tanah. Seketika, lantai candi di bawah mereka bergetar pelan, dan sebuah simbol kuno yang bercahaya muncul di tengah lapangan. Kirana dan Bara mundur beberapa langkah, merasakan getaran energi yang semakin kuat.
Bara (panik): "Apa-apaan ini?! Arjuna, kau kenal dia?"
Kirana (menggenggam lengan Arjuna, cemas): "Apa yang terjadi?!"
Arjuna menatap simbol bercahaya itu, dan mendadak sebuah memori lama muncul di benaknya.
Ini bukan pertama kalinya ia melihat simbol itu.
Arjuna (berbisik, mata membelalak): "Ini... segel kuno. Tempat ini bukan hanya candi biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di bawahnya."
Pria tua itu akhirnya berbicara lagi, suaranya terdengar seperti gema yang bergema di seluruh candi.
Orang Tua Misterius (dengan nada penuh makna): "Kau ingin menemukan kembali kekuatanmu, Arjuna? Maka kau harus siap menghadapi warisan yang telah lama terlupakan... karena Borobudur bukan hanya sekadar candi, melainkan gerbang menuju kebenaran yang tersembunyi."
Hening.
Arjuna mengepalkan tangannya, menyadari bahwa perjalanan ini baru saja membawa mereka ke sesuatu yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Di bawah langit Yogyakarta yang mulai redup, Arjuna, Kirana, dan Bara mengikuti langkah pria tua berjubah abu kelam. Mereka menuruni lorong tersembunyi yang berada di balik semak dan batuan tua di sisi belakang Borobudur, menuju sebuah ruang bawah tanah rahasia yang jarang diketahui manusia.
Udara di sana dingin dan lembab. Cahaya obor yang dibawa sang pria tua menyoroti dinding batu yang dipenuhi ukiran purba. Suasana berubah menjadi tegang dan penuh aura magis. Di tengah ruangan itu, terdapat sebuah relief batu besar yang tampak berbeda — lebih tua, lebih halus, dan jelas menggambarkan kisah yang tak tercatat dalam sejarah manusia biasa.
> Orang Tua Misterius (dengan suara berat dan dalam):
"Relief ini tersembunyi di bawah Candi Borobudur... bukan untuk wisatawan, bukan untuk para cendekia. Ini adalah bagian dari naskah langit — kisah seorang Dewa yang dibuang oleh ayahnya sendiri."
Arjuna terdiam. Ukiran itu menunjukkan seorang pemuda bersenjata panah, sedang meninggalkan singgasana langit dengan ekspresi kecewa. Di atasnya, tampak sosok Dewa berjanggut — penuh wibawa — mengangkat tangan seolah mengusir.
> Kirana (berbisik terpaku):
"Itu wajahmu, Arjuna…"
> Bara (melangkah mendekat pelan):
"Ini seperti kisah pengasinganmu dari Gunung Meru…"
Sang pria tua mengangguk pelan.
> Orang Tua Misterius:
"Ia disebut Sang Pengembara Langit. Dewa yang kehilangan hak ilahinya, lalu menjelajahi dunia manusia untuk menebus kesalahan dan menemukan jati dirinya kembali. Kisah ini tak selesai... karena akhir kisahnya belum ditentukan."
Relief bagian bawah menunjukkan sang Dewa bertarung melawan sosok-sosok kegelapan, membela manusia, dan menemukan cahaya dalam kegelapan — bukan dari kekuatan, melainkan dari cinta dan pengorbanan.
Arjuna menyentuh permukaan relief itu. Seketika dadanya terasa hangat, dan jantungnya berdebar cepat. Di dalam dirinya, kekuatan angin purba yang dulu pernah ia miliki berdesir pelan, seolah mulai bangkit dari tidur panjangnya.
> Arjuna (dalam suara rendah):
"Ini... perjalanan hidupku."
> Orang Tua Misterius:
"Dan kini kau berada di titik awal kebangkitanmu, Arjuna. Tapi ingat… hanya hati yang tulus yang bisa menuntunmu pada kekuatan sejati."
Relief itu tampak bergetar pelan, memancarkan cahaya lembut. Ini bukan sekadar ukiran batu. Ini adalah takdir yang tertulis — dan kini, Arjuna mulai membacanya kembali.
Ketika tangan Arjuna masih menyentuh relief purba di bawah Candi Borobudur, cahaya lembut yang terpancar tiba-tiba berubah menjadi terang menyilaukan. Angin kencang berputar di sekitar mereka, dan Kirana serta Bara berteriak memanggil nama Arjuna — namun suara mereka memudar, seakan ditelan dimensi lain.
Tubuh Arjuna melayang. Ruang dan waktu terbelah. Ia seperti menembus tirai realitas, masuk ke dalam lorong cahaya yang membawa aroma dupa, suara lonceng suci, dan gemuruh mantra yang tak pernah ia dengar sebelumnya.
Brak!
Ia tiba-tiba berdiri di tengah padang luas yang megah — alam para dewa. Cakrawala dipenuhi sinar emas. Di kejauhan, tampak gunung raksasa menjulang di atas awan, mengambang dalam kehampaan kosmis.
> Suara berat dan agung terdengar:
"Selamat datang, Arjuna, Putra Arka Dewa."
Di hadapannya, berdiri para sosok ilahiah dari berbagai mitologi. Ia melihat:
Dewa Shiva, dengan rambut gimbal menjulang dan lingkaran bulan di kepalanya, duduk bersila di atas harimau, mata ketiganya menatap langsung ke dalam jiwa Arjuna.
Dewa Vishnu, berkulit biru dengan cakra bersinar di tangan, berdiri anggun dikelilingi aura kebajikan.
Dewa Brahma, berwajah empat, masing-masing menatap arah berbeda — simbol waktu dan pengetahuan tak terbatas.
Dari arah lain, tampak Dewi Saraswati bermain veena di atas bunga teratai, dan Dewi Durga berdiri gagah dengan senjata di tangan, membelai singa putihnya.
Namun tak hanya itu —
Arjuna juga melihat sosok agung yang mengenakan jubah sederhana, wajahnya damai penuh welas asih: Sang Buddha, dengan cahaya keemasan yang melingkar di punggungnya. Di sekelilingnya para Bodhisattva duduk tenang, bagaikan bintang yang mengelilingi bulan.
> Dewa Vishnu berbicara:
"Kau adalah bagian dari takdir yang lebih besar dari yang kau bayangkan. Kau telah menyentuh ingatan dunia. Kau terhubung dengan keseimbangan semesta."
> Shiva menatap tajam:
"Namun kekuatan itu belum lengkap. Jiwamu harus ditempa. Kau belum siap menghadapi kegelapan yang akan bangkit bersama para Rakshasa."
> Buddha berkata lembut:
"Ketika kekuatan bangkit, kesombongan juga akan mengikuti. Maka temukan kedamaian dalam kekosongan. Arjuna, jadilah cahaya, bukan hanya senjata."
Arjuna menunduk hormat. Hatinya bergetar oleh kehormatan dan tanggung jawab besar yang mulai ia sadari.
> Dewi Durga menambahkan:
"Kau bukan dewa penuh, bukan manusia sepenuhnya. Kau adalah jembatan antara dua dunia. Dan itu akan menjadi kekuatan terbesarmu."
Tiba-tiba, sebuah cahaya menyelimuti tubuh Arjuna. Di dalamnya, ia melihat kembali potongan-potongan hidupnya — kejatuhannya, pertarungannya, cintanya, dan harapannya.
Lalu, suara serentak para dewa dan dewi mengucapkan:
> "Bangkitlah, Arjuna — Pembawa Angin Takdir."
Cahaya itu menyilaukan. Dan seketika, Arjuna terbangun di lantai bawah candi, tubuhnya bergetar dengan kekuatan baru yang mengalir lembut di nadinya. Kirana dan Bara memeluknya dengan cemas.
> Kirana: "Arjuna! Kau tidak apa-apa?"
Arjuna menatap tangannya, lalu langit di atas. Matanya menyala.
> Arjuna:
"Aku telah melihat mereka. Para Dewa… mereka menungguku. Dan aku... siap kembali."