Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 Teknik Longhun Tunqi: Menerobos Ranah Pejuang Beladiri
Wu Shen menatap Bao Gu dengan pandangan datar. Bocah gemuk itu masih bersujud, tubuhnya gemetar seperti daun diterpa angin. Wu Shen tahu—anak ini bukanlah musuh sebenarnya. Hanya budak lemah yang dijadikan pion. Seseorang yang tak punya kehendak sendiri selain mengikuti perintah.
Namun tetap saja… rasa jengkel itu sulit diabaikan.
“Cih… Menyedihkan,” gumam Wu Shen pelan.
Ia melangkah melewati tubuh Bao Gu, hendak pergi tanpa melanjutkan interaksi. Namun, saat kakinya menginjak selembar kertas yang terjatuh, langkahnya terhenti.
Wu Shen menunduk, menatap lembaran tersebut dengan alis terangkat. Perlahan, ia mengambilnya dan mulai membaca.
“Pengumuman Resmi Sekte Phoenix: Pertandingan Bela Diri Antar Murid! Terbuka untuk semua murid dalam tingkatan bawah. Hadiah Utama: 100 Koin Emas, dan Gelar Murid Teladan.”
Wu Shen terdiam.
“Oh…”
Tiba-tiba semuanya terasa masuk akal—kenapa para murid mendadak berlatih lebih keras, kenapa suasana sekte menjadi lebih kompetitif, dan yang terpenting… kenapa Penatua Mu Leihan ‘kebetulan’ muncul dan memberikan hukuman seminggu kepadanya.
“Jadi begitu caranya… ingin menyingkirkanku dari panggung, ya?”
Senyuman kecil muncul di wajah Wu Shen. Tapi kali ini, senyum itu tidak hangat atau penuh ejekan. Senyum itu dingin… tajam.
“Heheh… Sebenarnya aku tidak berniat ikut campur dalam pertandingan bocah-bocah ini. Tapi…”
Ia mengangkat kertas itu tinggi-tinggi, lalu melambaikannya perlahan seolah mempersembahkan pada langit.
“…seratus koin emas terlalu menggiurkan untuk aku tolak,” gumamnya, sadar akan kondisi keuangan keluarganya yang memprihatinkan, meskipun ia merupakan bagian dari keluarga Wu.
Bao Gu mengangkat wajahnya perlahan, masih pucat. Ia melihat Wu Shen tersenyum dengan cara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Lalu…
Wu Shen menunduk, menatap lurus ke mata Bao Gu yang membelalak ketakutan. Ia mencondongkan tubuh sedikit, hingga hanya berjarak satu jengkal dari wajah bocah itu.
“Dengar baik-baik, gemuk,” ucapnya pelan namun penuh tekanan, “beritahu bosmu itu, Mu Xi, bahwa aku akan menemuinya. Cepat atau lambat.”
Wu Shen menegakkan tubuhnya kembali, lalu membalikkan badan.
“Tapi sebelum itu, sampaikan juga satu hal…”
Ia berhenti sejenak, lalu menoleh ke belakang dengan tatapan dingin. “…suruh dia siapkan kursi roda. Karena aku akan membuatnya lumpuh. Selamanya.”
Bao Gu tak sanggup berkata apa-apa. Tubuhnya membeku dalam posisi bersujud, seperti patung hidup yang kehilangan jiwanya.
Wu Shen pun melangkah pergi, meninggalkan tumpukan kertas yang masih berserakan—dan seorang saksi yang kini membawa pesan kematian.
...
Langkah Wu Shen terdengar lembut saat ia menuruni jalan setapak menuju rumahnya yang sederhana di sisi timur Sekte Phoenix.
Bangunan kecil itu tak lebih dari rumah kayu tua dengan atap genteng yang beberapa sudutnya mulai ditumbuhi lumut. Namun, baginya, tempat itu adalah satu-satunya ruang damai di tengah dunia yang penuh kebencian.
Ia mendorong pintu dan mendapati rumah dalam keadaan sepi seperti biasanya.
Ayahnya, Wu Guan, seorang pria lemah yang bekerja sebagai pelayan di dapur utama Sekte Phoenix, pastilah masih bekerja hingga larut malam. Sementara ibunya, Wu Ruoxi, adalah pemimpin kelompok pejuang elit yang sering ditugaskan dalam misi rahasia, dan mungkin sekarang sedang menjalankan misi.
Tanpa membuang waktu, Wu Shen melangkah menuju kamar kecilnya. Di sana, hanya ada kasur tipis, meja kayu, dan sebuah jendela yang menghadap langsung ke pohon aprikot yang sudah meranggas.
Ia duduk di atas tempat tidurnya, menyilangkan kaki dan menarik napas panjang saat memeriksa ranah bela diri miliknya.
“Ranah Murid Beladiri tingkat 8… Tidak cukup,” gumamnya.
Tangannya menyentuh dada, tempat di mana inti Chi miliknya bersemayam. Ia menutup mata, merasakan denyut kecil kekuatan dalam tubuhnya. Itu belum cukup untuk menandingi murid-murid lain yang berada di ranah Pejuang Beladiri tingkat tinggi.
Ranah bela diri tingkat bawah yang tertera dalam syarat pertandingan bela diri mencakup Murid Beladiri dan Pejuang Beladiri.
Ranah bela diri tingkat menengah mencakup Ahli Beladiri, Master Beladiri, dan Jenderal Beladiri.
Ranah bela diri tingkat atas mencakup Raja Beladiri dan Kaisar Beladiri.
Sedangkan ranah Dewa Beladiri sudah jauh melampaui tingkat atas.
Wu Shen menarik napas lagi—dalam dan perlahan.
“Setidaknya… aku harus menembus Pejuang Beladiri tingkat 5 jika ingin meningkatkan peluang kemenanganku,” gumamnya.
Tangan Wu Shen membentuk segel sederhana, dan suara lirih mantra mulai terdengar dari bibirnya.
“Longhun Tunqi…”
Teknik warisan dari dunia lama. Sebuah metode yang memungkinkan konversi langsung dari Qi alam menjadi energi Chi murni.
Udara di sekitarnya mulai bergetar. Qi dari udara—tipis, halus, dan nyaris tak terlihat—perlahan berkumpul di sekitar tubuh Wu Shen. Kabut samar muncul, berputar seperti pusaran air yang mengelilingi tubuhnya.
Tubuh Wu Shen mulai berkeringat. Darahnya berdesir, pori-porinya terbuka. Proses konversi dimulai.
Qi yang masuk ke dalam tubuhnya tidak langsung digunakan. Ia harus memurnikannya—memerasnya, menyaringnya melalui jalur meridian dan mengubahnya menjadi energi Chi.
Proses itu menyakitkan. Qi kasar menghantam pembuluh dalamnya seperti badai. Namun Wu Shen tetap fokus.
Fokus. Fokus. Fokus.
Itulah mantra pribadinya yang telah ia ucapkan ribuan kali dalam keheningan latihan untuk mencapai ranah Dewa Beladiri di kehidupan sebelumnya. Baginya, rasa sakit hanyalah ilusi kehidupan.
Ranah Murid Beladiri tingkat 8 naik menjadi Murid Beladiri tingkat 9.
Detik demi detik berlalu. Napasnya semakin berat, namun matanya tetap tertutup rapat. Di dalam tubuhnya, energi mulai berubah wujud. Dari kabut tipis menjadi aliran energi padat yang menggulung-gulung di dalam inti Chi miliknya.
Tiba-tiba, tubuhnya bergetar hebat.
Seketika, ledakan cahaya samar muncul dari balik punggungnya—bayangan naga hitam melingkar, mengaum dalam diam.
Longhun Tunqi mencapai titik puncaknya.
CRACK!
Suara retakan halus terdengar dari dalam tubuh Wu Shen. Bukan suara tulang yang patah, tapi penghalang internal yang hancur berkeping-keping.
Dalam satu tarikan napas panjang, Chi murni yang telah terkumpul menabrak batasannya.
BOOM!
Aura kuat meledak dari tubuhnya, mendorong udara di sekitarnya mundur. Rak kecil di dekatnya bergoyang hebat, dan debu-debu di langit-langit rumah berjatuhan.
Mata Wu Shen terbuka perlahan. Cahaya keemasan tampak berpendar samar di iris matanya sebelum menghilang.
Hari sudah menjelang malam. Langit jingga menggantung rendah di luar jendela.
Ia mengepalkan tangan, merasakan denyut kekuatan baru yang bersemayam di dalam otot-otot dan aliran nadinya. Tidak lagi lemah. Tidak lagi tertinggal.
“Pejuang Beladiri… Tingkat 1,” ucapnya pelan. Ada ketenangan dalam suaranya—namun juga kekuatan yang tak bisa disangkal.
Ia berdiri perlahan, lalu berjalan ke depan cermin kecil yang retak di sudut ruangan. Bayangannya tersenyum pada dirinya sendiri.
"Ini jauh lebih cepat dari kehidupanku sebelumnya," gumam Wu Shen, mengingat dirinya dulu yang membutuhkan waktu berbulan-bulan hanya untuk menembus ranah Pejuang Beladiri.
Tapi sekarang, semuanya jauh lebih cepat karena Wu Shen tahu teknik apa yang harus digunakan dan apa yang harus dilakukan.