NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26 Makan Malam Bersama

Kediaman Keluarga Enthart — Ruang Makan.

Malam mulai turun dengan damai di langit Enthart. Cahaya temaram dari lampu gantung kristal memantulkan kilau lembut ke seluruh ruangan, menambah kesan hangat pada malam yang sedikit berbeda dari biasanya.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, keluarga Enthart berkumpul lengkap di meja makan besar yang terletak di tengah aula megah kediaman mereka. Piring-piring porselen telah ditata dengan rapi, dan meja dipenuhi hidangan istimewa yang menggugah selera—roti panggang hangat, daging panggang yang harum, sup kental, serta berbagai sayuran dan buah yang tertata indah.

Astalfo, kepala keluarga Enthart, duduk di ujung meja dengan wibawa yang tenang, didampingi oleh Hermas yang berdiri tegak di belakangnya. Di sisi kiri meja, duduk Olivia bersama dua pelayan kepercayaannya. Di seberangnya, Clara duduk dengan tenang, dan Herald berdiri di sampingnya, menggambar seorang pengawal pribadi yang setia.

“Yah… setelah sekian lama, akhirnya kita bisa makan malam bersama lagi,” ucap Astalfo dengan suara hangat, memecah keheningan yang agak canggung.

Pandangannya bergantian menatap kedua putrinya.

“Olivia, terima kasih karena sudah meluangkan waktu untuk hadir malam ini. Dan Clara… aku senang akhirnya kamu memutuskan untuk ikut makan bersama.”

Clara mengangguk dengan senyum lembut. “Iya, Ayah. Aku juga ingin ikut berkumpul… untuk pertama kalinya.”

Jawabannya sederhana, tapi penuh makna. Bagi Clara, ini adalah langkah besar—keluar dari dinding kamar yang selama ini menjadi tempat persembunyiannya.

Sementara itu, Olivia hanya terdiam. Ia sibuk mengambil makanan ke piringnya, tanpa menanggapi sapaan ayahnya. Namun Astalfo tampak tidak terusik. Ia tahu, luka dan jarak yang memisahkan kedua anaknya tak akan sembuh dalam semalam.

“Baiklah, kalau begitu… mari kita makan.”

Semua mulai bergerak, mengambil makanan masing-masing. Namun, Clara hanya duduk diam, tangannya tidak terulur ke meja. Dia tahu benar batasannya. Ia menoleh ke arah Herald dan berbisik pelan, “Herald, bisa tolong ambilkan makananku? Aku tidak bisa mengambilnya sendiri.”

“Baik,” jawab Herald dengan cepat dan tangkas. Ia segera mengambil piring Clara, lalu mulai menyendokkan beberapa hidangan ke atasnya. Dalam hitungan detik, piring itu pun terisi penuh. Ia lalu meletakkannya di depan Clara dengan hati-hati.

“Ini dia. Makanlah selagi hangat.”

Namun, Clara tidak langsung merespons. Ia hanya menunduk, wajahnya menghadap ke arah piring yang tak bisa ia lihat. Sesaat, ia mengernyitkan dahi dan mendecak pelan.

“Oi, Herald… apa kamu lupa kalau aku juga nggak bisa makan sendiri?”

Herald terkejut, nyaris menjatuhkan sendok. Ia buru-buru membungkuk sedikit, berbisik dengan nada panik. “Nona Clara, apa Anda serius? Ini ruang makan keluarga, bukan di kamarmu! Aku bisa melakukannya di tempat pribadi, tapi di sini? Semua orang bisa lihat!”

Ia menoleh sedikit ke sekeliling, dan benar saja, beberapa pelayan mencuri pandang. Bahkan Olivia yang semula acuh, kini tampak melirik tajam dari seberang meja, mengamati diam-diam interaksi mereka.

Herald menghela napas dan mencoba mencari solusi. “Gimana kalau aku panggil Susan? Dia pasti bisa—”

“Tidak,” potong Clara dengan suara datar namun tegas. Ia menggeleng perlahan. “Aku mau kamu yang melakukannya.”

Herald menahan napas. Ia ingin membantah, tapi tidak tega. Clara menatap lurus ke depan, ke arah suara Herald, wajahnya tenang tapi ada sesuatu yang tersembunyi di balik keteguhan itu—kerapuhan, mungkin. Atau… harapan.

[Heh… dia ini, benar-benar nggak bisa baca situasi, ya.] Herald ingin mengeluh, tapi ia memilih menahannya. Ia bisa merasakan bahwa permintaan Clara bukan soal keras kepala, melainkan soal rasa aman.

“Baiklah…” katanya akhirnya, menyerah dengan helaan napas panjang.

Ia menarik kursi di sebelah Clara, duduk dengan sedikit canggung, lalu mengambil sendok dari piring. Dengan hati-hati, ia menyendokkan makanan itu dan mengarahkannya ke mulut Clara.

“Saatnya makan, Nona Clara,” ucapnya pelan. “Sekarang… buka mulutmu. Aa~”

Wajah Herald sedikit memerah karena malu, terutama saat sadar beberapa pelayan dan Olivia masih mencuri pandang. Tapi Clara tidak menunjukkan ragu sedikit pun. Ia membuka mulut perlahan, lalu menerima suapan itu dengan tenang.

“Aa~”

Clara membuka mulutnya perlahan. Tanpa suara, sendok itu masuk ke dalam mulutnya, membawa rasa dan hangatnya makanan pertama malam itu. Ia mengunyah dengan tenang, dan saat Herald menarik sendoknya kembali, tak ada sisa yang tertinggal. Gerakan mereka begitu alami… terlalu alami.

Di seberang meja, Olivia mendadak menghentikan gerakan tangannya yang tengah membawa potongan daging ke mulut. Matanya menyipit, alisnya naik setengah lengkungan. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—adiknya, yang selama ini tampak seperti beban keluarga, kini tengah disuapi oleh seorang pria. Seorang pengawal. Di meja makan keluarga!

[Tunggu… dia menyuapinya? Si Pengawal itu menyuapi Clara?!]

Rasa terkejut menjalar dari dada hingga ke ujung jarinya. Olivia mendekat pelan ke arah Astalfo, berusaha menjaga nada suaranya tetap rendah meski nadanya dipenuhi kegusaran.

“Ayah… lihat pengawal itu. Betapa tidak sopannya dia duduk di meja makan kita, bahkan menyuapi Clara seperti… seperti dia pelayan pribadinya! Ini tidak pantas. Bukankah tugas seperti itu seharusnya dilakukan oleh pelayan?” bisiknya, dengan suara tajam namun tertahan.

Astalfo tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap ke arah Clara dan Herald yang tampak begitu tenang dalam dunia kecil mereka sendiri. Lalu, ia menghembuskan napas santai dan menoleh kepada putrinya.

“Olivia, tidak perlu terlalu sensitif. Herald memang pengawalnya, tapi lebih dari itu… dia adalah orang yang bisa membuat Clara merasa nyaman. Mereka sudah biasa seperti itu, sejak makan di kamar. Lagipula, semua itu juga atas permintaan Clara sendiri.”

Olivia mendengus pelan, jelas tak puas dengan jawaban tersebut. Tapi sebelum ia sempat menyela, Astalfo melanjutkan dengan suara yang sedikit lebih tajam—walau tetap terdengar tenang.

“Atau… apakah kamu khawatir terhadap adikmu?”

Seketika Olivia membelalakkan mata. “Hah?! Khawatir?” desisnya, buru-buru mengatur ekspresinya agar tidak mencolok. “Tidak! Tentu saja tidak! Mengapa aku harus khawatir dengan anak seperti dia? Ini hanya… soal reputasi keluarga. Jika orang luar melihat adegan seperti itu, apa kata mereka nanti?”

Astalfo tersenyum, tapi senyum itu lebih seperti senyuman seorang ayah yang sudah terlalu paham kelakuan anaknya.

“Reputasi, ya?” gumamnya sambil menyesap anggur dari gelas kristalnya. “Olivia… bukankah kamu juga pernah melakukan sesuatu yang nyaris merusak reputasi keluarga ini, saat kamu memilih pergi tanpa izin bertahun-tahun lalu?”

Kalimat itu meluncur tenang, tapi terasa seperti cambuk dingin bagi Olivia. Ia membeku di tempatnya. Sesaat, tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Matanya memandang kosong ke arah piringnya.

“I-itu…” ucapnya lirih, namun tak ada kelanjutannya.

Masa lalu menyentaknya seperti tamparan. Kenangan akan kepergiannya dari rumah, keputusan egois yang dulu ia buat, serta bayang-bayang konflik dengan ayah dan adiknya—semuanya membayangi pikirannya seketika. Olivia menggigit bibir, lalu diam-diam melanjutkan makannya lagi, seolah untuk menutupi perasaan yang perlahan tumbuh di hatinya.

Namun, kali ini ia tidak lagi melirik ke arah Clara. Ia hanya memusatkan pandangannya ke piring. Tapi dalam pikirannya, citra Clara yang sedang tersenyum kecil sambil menerima suapan dari Herald… terus berputar, menyisakan rasa yang belum bisa ia mengerti sepenuhnya.

Sementara tangan Herald masih sibuk menyuapi Clara, telinganya sempat menangkap tawa pendek dari ujung meja. Suara Astalfo. Ia menoleh sejenak. Tampak Astalfo dan Olivia tengah berbicara dengan suara rendah, berbisik-bisik seperti membahas sesuatu yang tak ingin didengar orang lain.

[Hm, apa yang sebenarnya mereka bicarakan?] pikir Herald, curiga namun mencoba untuk tetap fokus pada tugasnya.

Namun, lamunannya dipotong oleh sebuah sentuhan ringan di pinggulnya. Clara.

“Herald, kenapa kamu malah berhenti? Ayo, suapi aku lagi,” katanya dengan nada manja dan sedikit kesal.

Herald langsung tersadar dan tersenyum kecil. “Baiklah, Nona. Permintaan Anda adalah perintah.”

Ia kembali mengambil sejumput makanan dan mengarahkan sendok ke arah mulut Clara. Suasana di meja makan yang awalnya tenang perlahan berubah menjadi sedikit lebih ramai, karena hanya dari sisi mereka berdua terdengar tawa dan percakapan. Clara dan Herald seolah menciptakan dunia kecil mereka sendiri di tengah keheningan makan malam keluarga.

“Yah, ayo Clara~ makan yang banyak ya~” kata Herald sambil memainkan intonasi seperti menyuapi anak kecil.

Clara, yang sudah siap menyambut sendok, membuka mulutnya lebar-lebar. Tapi tepat sebelum sendok menyentuh bibirnya, Herald menariknya kembali dengan cepat.

KRAK. Suara gigi Clara saling bertabrakan.

“Herald! Kenapa kamu malah menarik sendoknya?” protes Clara, wajahnya memerah karena kesal sekaligus malu.

“Maaf, maaf!” jawab Herald sambil tertawa kecil. “Aku tadi merasa ada yang kurang… mungkin cinta dalam sendoknya hilang.” Ia mengedipkan sebelah matanya dengan nakal.

“Ugh, kamu ini... cepet suapi aku lagi!” Clara cemberut, tapi jelas ada tawa yang nyaris keluar dari bibirnya.

“Iya, iya,” jawab Herald, tapi alih-alih langsung menyuapinya lagi, ia hanya mengangkat sendok separuh jalan, lalu membiarkannya menggantung di udara. Clara, yang tak bisa melihat, tetap membuka mulutnya—menunggu dengan sabar, mulutnya menganga tanpa ada yang masuk.

“Herald?” panggilnya.

Tak ada jawaban.

“Herald??”

Masih tidak ada respons.

“Oi! Herald!!”

...

Herald diam saja. Matanya menatap Clara yang tampak seperti anak kecil sedang menunggu permen. Sungguh pemandangan yang menghibur. Bahkan untuk Herald yang biasanya cukup tenang, momen seperti ini membuatnya ingin tertawa keras.

Lucu juga, pikirnya. Tapi lama-lama, rasa kasihan pun mulai muncul. Clara tidak menyadari betapa konyolnya dirinya saat ini.

“Maaf, maaf!” akhirnya ia berkata sambil tertawa. “Tadi aku... mengkhayal sedikit. Jadi lupa kamu nunggu.”

Setelahnya, Herald kembali menyuapi Clara dengan benar, tapi itu tidak menghentikannya untuk sesekali kembali menggodanya—kadang menyuapi terlalu cepat, kadang terlalu lambat, atau bahkan memberikan suapan ‘kejutan’. Clara pun ikut tertawa dan beberapa kali memukul lengan Herald pelan sebagai bentuk protes.

Tawa mereka pun menjadi latar suara di ruang makan. Astalfo tampak bahagia—jarang sekali ia bisa melihat Clara tertawa sebebas ini. Biasanya gadis itu tertutup, dingin, dan memendam banyak luka. Tapi malam ini, ia seperti bunga yang perlahan mekar. Untuk sesaat, semua luka tampak tersembunyi di balik canda dan tawa.

“Anak itu...” gumam Astalfo sambil tersenyum sendiri. “...akhirnya bisa tertawa seperti itu.”

Namun, tak semua orang merasakan hal yang sama.

Dari sisi meja lainnya, Olivia menatap mereka dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Di wajahnya tidak ada senyuman. Malah sebaliknya, ekspresinya mengeras. Setiap tawa Clara terasa seperti paku yang menghujam ke dalam dadanya. Setiap keakraban antara Herald dan adiknya menambah bara dalam dirinya.

Ia tak mengerti kenapa perasaannya jadi begini. Tapi yang jelas, dadanya panas. Dan yang paling membuatnya muak adalah wajah Herald—seseorang dari luar yang tiba-tiba saja bisa membuat Clara, si gadis rapuh yang menurutnya lemah, tampak lebih hidup dari sebelumnya.

[Kenapa dia bisa membuat Clara terlihat seperti itu?]

Tangannya menggenggam erat alat makannya. Ia mencoba menahan kekesalan, tapi urat-urat di tangannya mulai terlihat.

[Orang itu… Herald… semua ini karena dia.]

Dan diam-diam, di tengah makan malam yang dipenuhi tawa, tumbuhlah benih kebencian. Bukan hanya karena kecemburuan, tapi karena perasaan terasing—seolah ia tak lagi mengerti adik kandungnya sendiri.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!