Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 22
Lima menit berlalu tanpa suara di dalam toilet membuat Fisa khawatir, karena itu ia sengaja menggedor pintu dan tak lama kemudian seseorang keluar. Dan saat itulah Fisa bisa melihat dengan jelas siapa lelaki di depannya itu.
“Hey Nak, apa yang kamu lakukan di toilet pria? toilet wanita di sebelah kiri mushola,” katanya.
“Ah, iya Pak Rafan, maaf, permisi Pak,” ucap Fisa berlalu pergi. Namun, ia tak benar-benar pergi, melainkan bersembunyi di balik tanaman di depan taman untuk melihat apa yang akan dilakukan wali kelasnya itu.
Ponsel pak Rafan berdering beberapa kali, saat itu beliau sedang shalat dhuha. Setelah salam beliau lantas melakukan panggilan, mungkin dengan penelepon sebelumnya.
“Halo, assalamualaikum, iya Bu,” ucap pak Rafan berjalan keluar mushola, diam-diam Fisa mengikuti dan menguping pembicaraan lelaki tersebut.
“Sekarang sudah di rumah sakit? baiklah, iya-iya, tunggu ya ayah segera pulang,” kata beliau. Setelahnya lelaki itu melesat pergi, meninggalkan Fisa sendiri dengan pikirannya yang sibuk.
“Tanda ungu, apa maksudnya?” gumam gadis itu.
“Woy, ngapain di situ Nafisa? mau berburu ulat bulu kamu?” Suara cempreng seorang gadis membuatnya berjingkat, saat menoleh ia menemukan Nuria berdiri tak jauh dari tempatnya, sepertinya gadis itu baru saja tiba.
Fisa keluar dari semak-semak, bergabung dengan sang sahabat dan bersama-sama pergi ke kelas. Tak lama kemudian bel masuk berbunyi, anak-anak berebut duduk di bangku masing-masing, membaca doa bersama sebelum guru tiba, hal ini dipimpin oleh sang ketua kelas.
“Nuria, kayaknya pak Rafan nggak bakal hadir deh hari ini,” kata Fisa. Meraih buku dari tangan Nuria dan mulai membukanya, membaca satu persatu pelajaran minggu lalu.
“Darimana kamu tahu?”
“Tadi aku nggak sengaja dengar beliau telepon, katanya ada yang masuk rumah sakit dan beliau segera pulang.”
“Nggak sengaja dengar sampai sembunyi di semak-semak ya Fis? itu mah namanya nguping, ih kamu ini sejak kapan jadi kepo gitu? urusan guru juga.”
Fisa tertawa lirih, ingin rasanya bicara jujur tentang tanda berwarna ungu di kaki pak Rafan, tapi ia masih belum yakin jadi memutuskan diam saja. Saat itulah seorang guru wanita mengetuk pintu kelas, beliau adalah bu Anita, guru yang membantu Fisa dulu saat pertama kali datang ke sekolah ini.
“Selamat pagi anak-anak,” sapa beliau dengan wajah tegang. Anak-anak kelas X menjawab salam, sebagian dari mereka bertanya kemana wali kelasnya tidak masuk, sebab jam pertama sebenarnya adalah jadwal beliau.
“Pagi ini kelas pak Rafan diganti saya ya, karena ibu pak Rafan mendadak sakit dan harus dirawat di rumah sakit, jadi beliau bergegas menyusul ke rumah sakit begitu mendengar kabar ini. Kita doakan saja supaya penyakit ibu beliau segera diangkat dan kembali sehat seperti sedia kala.”
“Amiiin,” jawab anak-anak serempak. Bu Anita memimpin doa dan bacaan fatihah, anak-anak mengikutinya.
“Baiklah, terima kasih ya anak-anak, doa baik akan kembali pada pemiliknya, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah. Baik, selanjutnya silahkan dibuka buku pelajaran kalian, kita akan ulangi kembali pelajaran minggu lalu,” kata beliau.
Bu Anita meraih kapur dan mulai membuat goresan di papan, anak-anak diam saat guru cantik itu mulai mengulang penjelasan minggu lalu. Mereka menyimak dengan tenang, sepertinya kabar orang tua pak Rafan sakit membuat mereka segan bercanda.
Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama saat seorang guru muda bernama pak Afandy datang tergopoh. Beliau memberi kabar bahwa pak Rafan kecelakaan di jalan saat hendak menemui ibunya di rumah sakit.
Suasana kelas pun menjadi ricuh, tak terkecuali bu Anita yang mulai mengemas barang-barang pribadi beliau. Setelah itu beliau berdiri di depan kelas dan berkata, “anak-anak, karena pak Rafan adalah wali kelas kalian, maka para guru ingin tiga siswa perwakilan kelas yang akan ikut kami menjenguk beliau di rumah sakit, sementara yang lain bebas ya, asal tidak keluar kelas sebelum bel istirahat. Mengerti?”
“Mengerti Bu,” jawab mereka serempak.
“Baiklah, perwakilan kelas ditunggu di kantor guru ya, jangan lama-lama karena kita akan segera berangkat,” kata bu Anita sebelum benar-benar pergi.
Setelah itu ketua kelas maju dan bertanya siapa yang hendak mengajukan diri menjenguk pak Rafan? anehnya tak ada satupun siswa yang mengangkat tangan, Fisa jadi geram melihat teman-temannya yang seolah tak peduli itu.
“Ayo teman-teman, dua orang yang akan ikut aku ke kantor guru sekarang juga, cepat angkat tangan!”
Dengan kesadaran penuh Fisa mengangkat tangan tinggi-tinggi, sementara itu ia juga mengangkat tangan Nuria. “Hey hey, apa-apaan sih Fis? tanya gadis di sebelahnya itu.
“Diamlah.”
“Baiklah, Fisa dan Nuria ya. Mari bersiap dan berangkat ke kantor guru,” ucap gadis bernama Nuril itu. Mereka bertiga lantas berjalan beriringan menuju kantor, di sana para guru sudah siap, wajah mereka tegang. Sebenarnya Fisa dan Nuria pun tak tahu seberapa parah keadaan wali kelas mereka. Tapi wajah-wajah para guru seolah menjelaskan semuanya.
“Ingat ya, kita harus menjaga sikap di sana,” kata Nuril mewanti-wanti.
“Iya buket,” jawab Nuria asal. Setelah itu mereka berjalan menuju parkiran, bersama para guru, tiga gadis itu naik mobil pribadi pak Andi. Guru sepuh yang suka menghukum murid, tapi pengemudi mobil itu adalah bu Anita, pak Andi sendiri memilih duduk di kursi penumpang di depan.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, Nuril si ketua kelas sibuk dengan ponselnya, sepertinya gadis itu sedang berbalas pesan dengan seseorang. Sementara Fisa masih terus melamun, ia memikirkan tanda ungu di kaki wali kelas yang ia lihat tadi pagi.
Sekarang pak Rafan kecelakaan, sebenarnya apa hubungannya dengan tanda ungu itu ya? batin hatinya.
“Fis, kenapa ngelamun gitu?” tanya Nuria begitu kendaraan mulai masuk pelataran rumah sakit, kebetulan jarak sekolah dan rumah sakit tidak terlalu jauh.
“Ah tidak apa-apa Nuria, cuma lagi kepikiran pak Rafan. Baru tadi pagi aku berbincang dengan beliau karena beliau menegurku, sampai aku menguping pembicaraan beliau dengan istrinya,” kata Fisa saat keduanya berjalan beriringan memasuki bangunan besar serba putih itu. Aroma obat menyambut kedatangan mereka, seketika Fisa dan Nuria teringat kenangan bersama Hana kala itu.
Seolah mengerti perasaan satu sama lain, keduanya saling menggenggam tangan, menguatkan hati masing-masing.
“Nuria, sebenarnya tadi pagi aku melihat tanda kematian berwarna ungu di kaki pak Rafan,” bisik Fisa begitu mereka sampai di depan pintu sebuah ruangan bertuliskan IGD.
DEG…
“Fis, kok perasaanku jadi nggak enak ya, itu juga kenapa tandanya warna ungu? apa artinya Fis? bukankah biasanya warna putih?” balas Nuria yang turut berbisik.
“Anak-anak tunggu di sini ya, biar ibu cek keadaan bapak Rafan sebentar,” kata bu Anita. Ketiga gadis itu mengangguk, membiarkan para guru meninggalkan mereka.
“Aku juga tidak tahu Nuria, ini kali pertama aku melihat tanda itu,” jawab Fisa panik.
“Hey, apa yang kalian bicarakan? jangan tidak sopan ya, kita ini bertiga, jadi jangan hanya berbisik berdua. Nggak sopan tau,” ujar Nuril kesal. Fisa dan Nuria mengangguk, lalu memutuskan tetap diam.
Tak lama kemudian bu Anita kembali dengan wajah sedihnya, air mata menggenang di pelupuk mata beliau. “Anak-anak, kita tunggu sebentar ya.”
“Kenapa Bu? bagaimana keadaan pak Rafan?” tanya Fisa berdiri menyambut kedatangan bu Anita. Beliau mengatur nafas yang tercekat, mengusap mata yang memerah.
“Kita doakan saja, kata dokter kemungkinan pak Rafan koma.”
“A-apa? koma?” Fisa dan Nuria saling berpandangan.
...