Dalam keheningan, Nara Wibowo berkembang dari seorang gadis kecil menjadi wanita yang mempesona, yang tak sengaja mencuri hati Gala Wijaya. Gala, yang tak lain adalah sahabat kakak Nara, secara diam-diam telah menaruh cinta yang mendalam terhadap Nara. Selama enam tahun lamanya, dia menyembunyikan rasa itu, sabar menunggu saat Nara mencapai kedewasaan. Namun, ironi memainkan perannya, Nara sama sekali tidak mengingat kedekatannya dengan Gala di masa lalu. Lebih menyakitkan lagi, Gala mengetahui bahwa Nara kini telah memiliki kekasih lain. Rasa cinta yang telah lama terpendam itu kini terasa bagai belenggu yang mengikat perasaannya. Di hadapan cinta yang bertepuk sebelah tangan ini, Gala berdiri di persimpangan jalan. Haruskah dia mengubur dalam-dalam perasaannya yang tak terbalas, atau mempertaruhkan segalanya untuk merebut kembali sang gadis impiannya? Ikuti kisahnya dalam cerita cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH LIMA
Langit senja terbakar dalam semburat jingga di ufuk barat,seakan langit pun tahu kegelisahan yang merayapi hati Nara Wibowo. Saat suara pintu berderit terbuka, Nara segera menyambar melihat siap yang datang.
Tanpa Nara sadari, bibir tipisnya melengkung, saat melihat pria bertubuh tinggi berwajah tampan itu. Dengan langkah yang cepat, Nara berlari menuju pintu dan hatinya lega ketika melihat Gala berdiri di ambang pintu, yang memegangi koper kecil di tangan yang mencengkeram erat.
"Prof, syukurlah kamu sudah pulang," desah Nara, rasa lega terpancar jelas di wajahnya, berbaur dengan sedikit kecemasan yang belum hilang. Namun, Gala hanya memberikan pandangan sekilas yang dingin lalu berjalan melewati Nara sambil menyeret kopernya tanpa sepatah kata pun.
Sosok Gala dengan rahangnya yang kokoh, ditambah tatapan matanya yang tajam, selalu memberi kesan bahwa dia adalah seseorang pria yang tegas.
Hari ini, keheningan terasa lebih menusuk. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak bisa Nara abaikan begitu saja.
"Kenapa sih, tumben banget dia bersikap acuh?" batin Nara bertanya-tanya, semakin yakin bahwa ada yang tidak beres,dari sikap suaminya.
Suaranya, yang biasanya tegas, kini redup seolah hilang dalam kabut senja.
"Prof..." Nara mencoba memanggilnya dengan pelan, berharap bisa menembus tembok tinggi dan tebal yang ia bangun di sekelilingnya.
Langkah Gala mendadak terhenti, tetapi dia tak sekalipun menoleh. Matanya tetap terpaku pada pintu kamar di depannya yang masih tertutup, seolah ada sesuatu di balik pintu itu.
"Hem," hanya gumaman rendah yang keluar dari bibirnya, Nara menelan ludah, mencoba menghilangkan keraguannya, lalu memberanikan diri melangkah lebih dekat.
“Kenapa nomor Prof nggak bisa dihubungi? Apa terjadi sesuatu, saat di Semarang...?” tanya Nara sambil meraih lengan kemeja Gala dengan lembut, berharap sentuhan Nara bisa menghentikan jarak tak kasatmata di antara mereka.
"Kenapa kamu menghubungi saya? Apa ada hal penting?" tanya Gala, dengan sorot mata dinginnya yang sulit Nara artikan.Mata hitam Gala hanya menatap Nara sebentar sebelum akhirnya menjawab, seakan tak ingin dihawatirkan.
"Tidak, aku hanya memastikan jika Prof..." Kata-kata Nara terhenti di tenggorokan saat Gala tiba-tiba menyela.
"Jika tak ada hal penting yang berkaitan dengan kuliahmu, lebih baik tak perlu menghubungi saya," balasnya datar, suaranya dingin seolah disengaja untuk menjaga jarak.
Nara terkejut. "Haa..apa katanya?" pikiran Nara masih berputar, mencerna ucapan suaminya, tapi pertanyaan itu, tak berani Nara lontarkan.
"Adakah sesuatu yang kulakukan hingga ia bersikap begitu dingin? Atau ini hanya pikiranku saja?" Nara tertegun, ia hanya bisa berdiri membisu di hadapan Gala, dengan segudang tanya yang tak menemukan jawabannya.
Nara merasakan kebekuan di udara saat ia menyaksikan Gala, sosok yang selama ini dipandangnya sebagai pelindung, perlahan menghilang dibalik pintu yang terkatup. Hatinya berdesir ngilu,ada perasaan yang tak biasa di hati Nara, saat tahu pak dosennya itu terkesan tak mempedulikannya.
Dengan langkah yang ragu, Nara mengikuti jejak Gala yang sudah lebih dahulu memasuki kamar. Dalam hati, kekhawatiran bercampur rasa takut akan kemarahan Gala, Nara menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Prof, apa... apa aku melakukan kesalahan yang membuat Anda marah?" suaranya nyaris tak terdengar, seakan tertelan oleh ketegangan yang mendominasi ruangan itu.Gala, yang tampak tengah membuka kancing kemeja, perlahan berbalik. Ekspresinya lembut, namun ada lapisan kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
"Salah? Mungkin saya yang salah, Nara. Selama ini saya terus menganggapmu sebagai gadis kecilku," ucapnya, suaranya terdengar berat. "Saya menyadari sekarang bahwa perasaan seseorang bisa berubah, kapan saja. Tak terkecuali kamu."Nara mendengarkan dengan penuh perhatian, jantungnya masih berdetak kencang, namun kini lebih kencang saat mendengar nada bicara Gala yang terdengar asing.
Gala melangkah mendekat, menatap Nara dengan pandangan dalam.
"Tapi jangan khawatir, saya tidak akan mengganggumu lagi dengan perlindungan yang mungkin sudah tidak kau butuhkan." Lanjutan kalimat Gala itu, serasa menusuk gendang telinga Nara Wibowo.
Dalam keheningan yang kembali menyelimuti ruangan, Nara merasakan ada perubahan dalam dinamika hubungan mereka. Sesuatu yang baru, dan mungkin, sedikit menyakitkan.
Nara menatap suaminya dengan perasaan tak menentu. Perkataan Gala terasa menusuk hati, seolah-olah ada dinding dingin yang kini membentang di antara mereka.
"Katakan, Prof, apa candaanku tempo hari membuatmu semarah ini?" tanya Nara dengan suara lirih, mencoba memecahkan kebisuan yang mencekik. Gala hanya menyunggingkan senyum hambar, senyum yang lebih mirip dengan mengejek dirinya sendiri.
"Apa itu candaan, Nara? Bahkan kamu berharap saya tidak kembali. Dengan kata lain, kamu mendoakan suamimu mati, bukan begitu?" Perkataannya membuat dada Nara terasa sesak.
"Prof, sungguh, saya tak bermaksud begitu," Nara mencoba membela diri, meskipun rasanya pembelaan itu sia-sia. Namun Gala tidak memberi ruang untuk penjelasannya itu.
Matanya tajam menembus ke dalam iris hitam Nara, memancarkan tuduhan yang tidak sanggup untuk dielak oleh Nara.
"Bibirmu bisa berkata tidak, tapi sorot matamu—sorot yang berbicara lebih jujur daripada mulutmu—menunjukkan bahwa kepergianku adalah yang kamu harapkan.Bukan begitu?," katanya dengan nada tenang, tetapi ada kekejaman yang terselip di sana, menusuk lebih dalam daripada kata-katanya.
"Kamu tenang saja, saya tidak akan mencampuri urusanmu," ucap Gala dingin sebelum mengalihkan pandangannya, mengabaikan keberadaan Nara begitu saja.
Tiba tiba, perasaan Nara tak terima karena diabaikan oleh Gala. Dadanya bergemuruh, dipenuhi dengan berbagai pikiran yang tak dapat ia kendalikan.
"Apakah mungkin ada niatku yang secara tak sadar melukai dia? Apakah hanya lelucon yang tidak tahu tempat itu, yang membuatnya benar benar marah atau ada hal lain?" Semuanya terasa seperti mimpi buruk bagi Nara.
Gala dengan gerakan lembut menarik pintu kamar mandi, meninggalkan Nara yang masih terpaku. Di dalam, dia membiarkan air dingin meluncur deras membasahi seluruh tubuhnya, mencoba mengusir ketegangan yang membelenggu pikirannya.
Tak lama, Gala keluar dari kamar mandi dengan rambutnya yang masih meneteskan air, membuatnya tampak lebih segar. Langkahnya terarah menuju lemari, mata cerlang memilih setelan kemeja berwarna lembut yang dipadukan dengan celana kain berbahan halus.
Dalam sebuah gerakan yang hampir tanpa suara, ia melilitkan jam tangan berdesain elegan di pergelangan tangannya, kemudian melangkah meninggalkan kamar dengan aura kepastian yang mengitari setiap inci langkahnya.
"Prof..." suara Nara mengejar dengan napas memburu,Nara tak rela Gala mengacuhkannya, tangannya mencengkeram lengan Gala dengan erat,agar Gala tak pergi malam ini.
"Ada apa? Saya ada agenda di luar, dan pulang hingga larut malam. Jangan tunggu saya. Makanlah jika lapar, tidurlah lebih awal," pesan Gala dengan nada tegas dan dingin yang tak biasa, setelah itu dia melangkah keluar apartemen tanpa menoleh ke belakang.
Nara termangu di ambang pintu, rasa kesal bercampur bingung menghiasi wajahnya. "Haa... dia segitu marahnya?" gumamnya sendiri, seraya bertanya dalam hati soal kebenarannya.
"Lihat lah, siapa yang sebenarnya kekanakan di sini?" Omel Nara sembari meninju angin.