Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seorang kakak
Kedatangan Tante Dian dan Mas Rian membawa suasana baru ke rumah. Aku merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran mereka. Mas Rian menjaga kakek selama rawat jalan, sementara Mbak Viola (istrinya) dan aku sering memasak bersama, berbagi selera makan yang ternyata sama. Bahkan, kehadiran Fattan, keponakanku yang baru berumur dua tahun, membuat hari-hariku lebih ringan. Dia selalu menempel padaku meskipun ini pertama kalinya kami bertemu.
Untuk beberapa hari, rumah terasa hangat. Kami bercanda, tertawa, dan sejenak aku lupa dengan segala hal yang membebani pikiranku.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
Malam itu, keluarga besar dari Jakarta datang. Aku sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka bahkan sebelum semuanya dimulai.
Kami berkumpul di ruang tamu, awalnya berbincang santai. Tapi kemudian, kata-kata mereka mulai berubah tajam.
"Kalian sekarang tinggal di sini? Wah, beda jauh ya dari dulu," salah satu tante berkomentar dengan nada sok prihatin.
Aku mulai merasa tidak nyaman, tapi tetap mencoba tersenyum kecil.
"Dulu Putri sekolah di sekolah favorit, ya? Sekarang di mana sih? SMP biasa aja kan? Ya gimana, kondisi keluarga juga udah beda."
Aku merasakan darahku berdesir. Mereka membicarakan aku, menertawakanku seolah aku tidak ada di sana.
"Eh, kemarin aku dengar nilai Putri turun ya? Padahal dulu pintar banget. Sekarang gimana? Masih bisa bersaing nggak?"
"Oh iya, aku inget dulu waktu Putri masih kecil, dia gak pernah keluar kamar pas keluarganya dateng. Malahan selalu ngunci diri di kamar, sekarang udah berani keluar kamar?"
Mereka tertawa pelan, seakan ini hanya gurauan ringan. Tapi bagiku, setiap kata mereka adalah belati.
Aku menunduk, berusaha menahan air mata. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku kehilangan kendali. Dan akhirnya-aku menangis.
Bukan sekadar air mata yang mengalir diam-diam. Tapi tangisan yang pecah, di depan semua orang.
Ruang tamu mendadak hening.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, bahuku bergetar hebat. Aku tidak peduli lagi pada mereka. Tidak peduli dengan bagaimana mereka akan menilainya. Aku hanya ingin semuanya berhenti.
Di tengah keheningan itu, aku mendengar seseorang bergerak. Lalu, Mas Rian tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk dan menunggu.
Mbak Viola juga menatapku dengan mata penuh kekhawatiran. Dia menoleh ke Mas Rian dan berbisik pelan.
"Mas, Putri kenapa?"
Mas Rian tidak menjawab. Dia hanya menatapku, lalu pelan-pelan menarik tanganku agar aku melepaskan wajahku dari balik telapak tangan.
Aku mengangkat kepala sedikit, mata ku sudah memerah dan basah.
Semua orang menatapku. Beberapa terlihat bingung, yang lain tetap dengan ekspresi puas mereka.
Lalu, salah satu dari mereka justru tertawa kecil.
"Astaga, Putri. Kamu masih cengeng ya? Udah SMP loh."
Kata-kata itu bagaikan tamparan keras bagiku. Aku kembali menunduk, tubuhku kembali gemetar.
Aku buru-buru mengambil ponsel, memasang earphone, dan menyalakan musik sekeras mungkin. Aku berharap suara mereka akan hilang, lenyap dari pikiranku. Tapi tidak.
Aku masih mendengar mereka.
Aku masih mendengar tawa mereka.
Aku gemetar semakin hebat. Nafasku mulai tidak beraturan. Aku tahu ini bukan sekadar tangisan biasa.
Mas Rian menyadari ada yang tidak beres. Dia langsung mengusap punggung ku, mencoba menenangkanku.
Mbak Viola juga ikut panik, melihat keadaanku yang semakin memburuk. Dia menoleh ke Mas Rian, lalu berbisik, "Mas, kita harus ngeluarin dia dari sini."
Mas Rian mengangguk, lalu menatap Mamah dan Papah yang sejak tadi hanya diam kebingungan.
Tante Dian akhirnya berdiri, mengalihkan pembicaraan, dan beberapa saat kemudian, keluarga besar itu pamit pulang. Aku mendengar mereka masih berbisik sebelum keluar dari rumah.
Saat hanya tinggal kami sekeluarga, aku langsung berlari menuju ke kamar, dan begitu sampai, aku langsung duduk di sudut, menekuk lutut dan memeluk diri sendiri.
Mbak Viola memanggilku dan berjongkok di depanku, meletakkan tangannya di bahuku dengan lembut.
"Putri," panggilnya pelan.
Aku tidak menjawab.
Mbak Viola terus membujuk ku untuk kembali ke ruang tamu,"Keluar yuk, sama mbak. Sebentar,"
Aku menggeleng, "Gak mau mbak, Putri mau disini aja,"
"Udah, gapapa ayo. Sama mbak ya, ada Mas juga" Mbak Viola menuntun ku keluar.
Begitu sampai ruang tamu, ada mamah dan papah ku. Mbak Viola memintaku untuk duduk di sebelah mbak Viola.
Dia menghela napas, lalu menarikku ke dalam pelukannya.
"Are you crying?" tanyanya, suaranya sangat lembut.
Aku menggeleng, aku masih berusaha menahan semuanya.
"I don't know," jawabku.
Aku tahu kenapa Mbak Viola menggunakan bahasa inggris saat berbicara denganku, supaya mamah dan papah tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mbak Viola dan mas Rian mau menunjukkan pada orangtuaku bagaimana kondisiku yang sebenarnya. Walau mereka berdua tahu, aku pasti tidak ingin orangtua ku tahu kalau aku sedang menangis.
Mamah dan Papah tampak kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku membiarkan diriku menangis tanpa menahan apa pun.
...
Mas Rian menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas dan berdiri. "Ayo, ikut Mas."
Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan bingung. "Ke mana, Mas?"
"Kita cari angin. Keluar sebentar aja," katanya santai.
Aku menoleh ke mamah dan papah, mencari kepastian. Mereka tersenyum dan mengangguk. "Pergi aja, sekalian cari makan yang enak."
Aku menoleh ke Mbak Viola, "Mbak ikut?"
Mbak Viola menggeleng,
"Kamu sama mas Rian aja ya? Mbak masih harus jaga Fattan kan, mbak titip aja okey," aku mengangguk.
Aku akhirnya bangkit dan mengikuti Mas Rian keluar. Malam itu udara cukup dingin, dan suasana jalan yang sepi dan gelap. Mas Rian mengajakku naik motor, dan aku segera naik ke boncengan belakang. Lampu jalan berpendar di atas kepala kami, menciptakan suasana yang tenang. Aku mulai merasa lebih baik, meskipun sisa perasaan tidak nyaman masih mengganjal di dadaku.
"Pegangan yang kenceng, ya," katanya sebelum menyalakan motor dan melaju ke jalanan kota.
Dengan ragu aku pun berpegangan pada jaket yang dikenakan Mas Rian.
Kami berkendara cukup lama, melewati jalanan yang mulai ramai.
Setelah beberapa menit, Mas Rian akhirnya berhenti di sebuah tempat makan pinggir jalan. Aroma makanan langsung menyambutku.
"Mas tau kamu sama Mbak Viola punya selera makan yang sama," kata Mas Rian sambil berjalan menuju salah satu gerobak. "Jadi Mas beliin kamu sesuatu yang enak."
Aku melihat ke arah menu dan mataku berbinar saat melihat beberapa makanan favoritku. "Wahh beneran mas? Boleh pizza atau burger?" tanyaku penuh harap.
Mas Rian tertawa kecil. "Iya boleh, kamu pilih aja."
Aku akhirnya memilih pizza, dan Mas Rian memesankan dua porsi-satu untukku, satu untuk Mbak Viola. Setelah itu, kami berjalan ke bagian jajanan.
"Mas gak tahu kamu lagi pengen ngemil apa," katanya sambil menyandarkan tangan di pinggangnya. "Putri pilih sendiri deh, apa yang kamu suka ambil aja."
Aku langsung excited, mataku berbinar saat melihat berbagai pilihan. Tanpa pikir panjang, aku mengambil es krim cokelat.
"Boleh beli es krim gak?" tanyaku, menatap Mas Rian dengan penuh harap.
Mas Rian langsung mengernyit. "Udah tengah malam, lho. Kalau kamu sakit gimana?"
"Gak apa-apa, Mas. Aku gak bakal sakit kok," kataku meyakinkan.
Mas Rian masih ragu, tapi akhirnya menghela napas dan mengangguk. "Ya udah, tapi jangan banyak-banyak es krim nya."
Aku tersenyum lebar
"Udah mas, Putri ambilnya kebanyakan enggak?"
Tapi Mas Rian malah tertawa kecil.
"Lho, cuman ini aja? semua yang kamu beli rasa cokelat? Kamu suka cokelat toh ternyata," katanya sambil melihat pilihan cemilanku.
Aku melirik ke dalam keranjang belanjaanku-benar saja, semuanya serba cokelat. Mulai dari Silver Queen, roti dan es krim.
Mas Rian menggeleng sambil terkekeh, lalu tanpa bertanya, dia menambahkan beberapa snack cokelat lagi ke dalam keranjang. "Nih mas tambahin, kamu ambil nya cuman sedikit doang, ambil yang banyak juga gak apa-apa."
Aku tertawa senang. "Makasih, Mas!"
Setelah selesai berbelanja, kami kembali naik motor dan pulang ke rumah. Jalanan semakin sepi, dan udara malam terasa lebih dingin. Aku menikmati perjalanan sambil sesekali mengamati bintang di langit.
Begitu sampai di rumah, suasana sudah sunyi. Semua orang tampaknya sudah tidur. Aku berjalan pelan ke dalam, lalu menuju ruang tengah, di mana Mbak Viola masih terjaga.
Begitu melihat bawaanku, mata Mbak Viola langsung berbinar. "Wah, belanja apa aja ini?"
Aku duduk di sebelahnya dan langsung mengeluarkan semua jajanan. "Lihat, Mbak! Mas Rian beliin banyak cemilan cokelat!"
Mbak Viola terkekeh. "Ckck, Putri ternyata suka cokelat rek."
"Ayo Mbak, Mas makan bareng. Oh iya mbak ini tadi ada dibeliin dua pizza."
"Wahh cocok ini, yuk di makan habis itu tidur."
Kami pun mulai menikmati jajanan bersama, berbagi tawa di tengah malam yang sunyi. Untuk pertama kalinya aku merasakan kasih sayang seorang kakak.