Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelaki Amnesia
"Tok tok tok”.
"Assalamualaikum Pak... Pak Arya... ".
Suara teriakan dari luar pintu membangunkan keluarga Pak Arya dari tidur lelapnya.
"Astagfirullah, suara siapa itu Pak malam-malam teriak-teriak di depan?" gerutu Bu Indi, istri dari Pak Arya. Sambil menguap Bu Indi mengambil ikat rambut dan langsung mengikatnya, duduk menyender di kepala ranjang. Pak Arya pun ikut duduk, memasang kaca mata minusnya dan melirik jam didinding "Jam satu lewat empat puluh lima menit", gumamnya. "Sebentar Bu, biar Bapak lihat dulu", kata Pak Arya sambil berjalan keluar kamar.
"Saya ikut Pak", sahut Bu Indi yang juga penasaran.
"Assalamualaikum Pak.. Pak Arya". Teriakan serta gedoran pintu di luar semakin keras, Pak Arya hanya bisa menghela nafasnya lantas membuka pintunya.
"Wa'alaikumsalam", ucap pak Arya setelah pintu terbuka.
"Maaf Pak, kami mengganggu malam-malam".
"Iya tidak apa-apa. Ada apa Pak Sugeng sama Pak Herman datang kesini malam-malam?".
"Maaf Pak, saya membawa kabar penting ini Pak. Tadi diperjalanan pulang ke rumah setelah ronda, saya melihat neng Nara membawa laki-laki masuk ke dalam rumah Pak".
Pak Arya mengernyit "Neng Nara yang tinggal di kontrakan saya Pak Sugeng?"
"Iya Pak benar".
"Selama ngontrak disini, Neng Nara itu orangnya baik, sopan, ramah, gak pernah neko-neko kok Pak, masak iya , dia membawa lelaki masuk ke rumah, jam segini lagi", Bu Indi yang sbelumnya hanya diam ikut angkat bicara.
"Benar Pak, Bu, saya jadi saksinya, saya juga melihatnya",ujar Pak Sugeng.
"Ya sudah, ayok Buk, coba kita lihat kesana, takutnya ada fitnah, salah paham nantinya", ajak Pak Arya.
"Ayok Pak, mari-mari”.
••
Di sebuah kontrakan sederhana inilah Nara dan lelaki itu berada sekarang. Kontrakan yang hanya memiliki satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Sebenarnya dulu Nara tinggal berdua dengan teman kerjanya, hanya saja temanya dipindahkan ke toko roti yang berada di cabang luar kota, sehingga Nara menempatinya seorang diri saat ini.
"Kamu duduk disini dulu ya", ucap Nara pada lelaki itu sambil membantunya duduk.
"Iya, terimakasih".
Nara berjalan menuju dapur, diambilnya dua gelas kosong dari rak, dan mengisinya dengan air putih, gadis itu mengambil satu gelas lalu meminumnya hingga tandas, tak lupa satu gelas lainya dia bawa ke tempat lelaki tadi berada. Mendengar suara langkah kaki mendekat lelaki itu lalu membuka matanya, yang awalnya menyender lalu duduk tegap.
"Ini minum dulu". Nara menyodorkan satu gelas air. Lelaki itu mengambil gelas dari tangan Nara lalu meminumnya.
"Terimakasih", ucapnya.
Hening, keduanya saling diam sibuk dengan pemikiran masing-masing. Nara melirik lelaki yang duduk dihadapannya dalam diam.
“Huuuuh”, suara hembusan nafas keluar dari mulut Nara. "Kamu beneran gak ingat rumah kamu dimana dan nama kamu siapa?", suara Nara memecah keheningan.
"Saya tidak ingat, yang saya tau terakhir di rumah sakit mereka memanggilku dengan nama Al….vian".
Alvian, lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, mempunyai paras yang tampan dan tubuh yang proposional. Sempurna, adalah kata yang tepat untuk mendeskripsikan sosok seorang Vian, di tambah dengan sifat dingin dan tak tersentuh nya dengan orang lain, tetapi tidak berlaku terhadap keluarganya.
(Flashback on)
Seorang perempuan tengah duduk di sofa sambil menunduk, menunggu putranya yang tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit pasca operasi setelah kecelakaan. Kecelakaan mobil yang disebabkan rem mobil blong, dan menabrak pohon besar, menyebabkan Vian mengalami benturan yang sangat keras di kepalanya, akibatnya Vian harus dioperasi.
"Akhh... kepalaku", gumam Vian yang baru sadar dari tidurnya, lelaki itu memegangi kepalanya yang terasa begitu sakit. Mendengar gumaman tersebut, perempuan paruh baya itu langsung mendongak, menatap anaknya yang tengah siuman, meringis kesakitan.
"Nak, kamu sudah bangun sayang!", ujar Arin, ibu dari Vian. Arin Puspita adalah istri dari Agam Affandi, diusianya yang menginjak empat puluh tujuh tahun itu, wajahnya masih terlihat cantik dan terawat, mempunyai sifat penyayang dan baik hati, tapi jangan tanyakan jika ia sedang marah, seorang Agam pun takut padanya.
"Saya dimana? Anda siapa?".
"Kamu di Rumah Sakit sayang, ini Mama nak, apa kamu tidak mengingat Mama?", tanya Arin yang mulai cemas, bahkan air mata sudah mulai menumpuk di pelupuk matanya. Di samping itu Vian hanya menggeleng sebagai jawaban, membuat Arin tambah merasa khawatir.
"Sebentar, Mama panggilkan Dokter ya sayang". Arin memencet tombol yang ada disisi ranjang. Tak lama seorang Dokter akhirnya datang.
"Ada apa Mbak, kenap menangis?", tanya Dokter itu, yang tak lain adalah adik kandung dari Arin.
"Aryan, Vian sudah sadar tapi dia tidak mengingat Mbak, bagaiaman ini? Apa yang terjadi padanya?".
"Mbak yang tenang ya biar Aryan periksa Vian dulu".
Aryan lalu memeriksa keadaan Vian. Saat proses pemeriksaan berlangsung,Agam datan, ia bingung melihat istrinya yang menangis sesenggukan, bahkan Arin sampai tak menyadari kehadirannya.
"Ma, ada apa Ma?".
"Pa, Vian Pa.. Vian tidak mengingat Mama Pa.", jawab Arin , menghamburkan diri ke pelukan suaminya.
Aryan yang telah selesai memeriksa Vian segera menghampiri Agam dan Arin, meninggalkan Vian yang masih terdiam di atas ranjang.
"Mas", sapa Aryan, yang hanya di angguk i oleh Agam.
"Bagaimana keadaan Vian, Yan?".
"Menurut pemeriksaan, Vian mengalami amnesia atau hilang ingatan Mas" kata Vian menjelaskan.
"Lalu, apa yang harus di lakukan, supaya ingatan Vian cepat kembali?", tanya Agam khawatir, tangannya terus mengusap bahu istrinya supaya tenang.
"Ingatan Vian dapat kembali secara bertahap dari waktu ke waktu Mas, kita bisa melakukan terapi, ada dua jenis terapi yang bisa kita lakukan yakni terapi okupasi dan terapi kognitif, di mana terapi okupasi bertujuan untuk mengajarkan pengidap cara mengenal informasi baru, sementara terapi kognitif untuk menguatkan daya ingat, jadi dukungan keluarga sangat berperan dalam kesembuhan Vian, selain melalui terapi juga harus mengkonsumsi vitamin dan suplemen untuk mencegah kerusakan otak lebih parah Mas", ucap Aryan dan Agam mengangguk mengerti.
Pagi berganti malam, malam berganti pagi, Arin tak ada lelahnya menunggu dan menemani putra semata wayangnya itu. Tak hentinya Arin bercerita, menceritakan keseharian Vian. Apa yang disuka dan tidak disukai Vian dan lain sebagainya. Walaupun Vian sendiri tidak terlalu menanggapi, dia diam mendengarkan dan hanya satu patah kata yang keluar dari mulutnya, tapi Arin tetap semangat bercerita. Arin menunjukkan foto, KTP, ataupun benda-benda yang berkaitan dengan Vian.
"Sayang, kamu ingat foto ini, foto ini diambil lima hari yang lalu waktu ulang tahun pernikahan Mama sama Papa sayang, lihatlah kamu tampan sekali bukan, mirip seperti Papamu, coba kamu ingat-ingat sayang", kata Arin sambil menunjukkan sebuah foto kepada Vian dengan penuh harap agar Vian dapat segera mengingatnya. Vian meraihnya, melihatnya dan mencoba mengingat-ingat, namun karena terlalu memaksa mengingatnya Vian merasakan sakit di kepalanya.
"Akhh kepalaku... sakit", ucap Vian sambil memegangi kepalanya. "Akhh...".
"Ya ampun sayang, kenapa ini? Sebentar Mama panggilkan Dokter ya sayang, maafkan Mama”.
Dengan rasa paniknya Arin menekan tombol yang ada di samping ranjang. Tak lama Dokter dan satu orang suster datang, Dokter yang tak lain adalah Aryan itu langsung memeriksa kondisi Vian, lalu menyuntikkan obat ke selang infusnya, tak lama Vian pun menjadi tenang dan tertidur.
"Mbak, aku yakin Vian pasti mengingat semuanya lagi, mengingat Mamanya, Papanya, semuanya, tapi mungkin belum sekarang Mbak, semua bertahap dan perlu proses. Aryan mengerti perasaanmu Mbak, tapi tolong jangan terlalu memaksanya. Jika Vian terlalu memaksa otaknya untuk mengingat sesuatu itu akan fatal akibatnya".
"Iya, maafkan Mbak, Mbak cuma, …….". Arin tidak dapat melanjutkan ucapannya, Aryan yang mengerti keadaannya pun langsung meraih tubuh Kakaknya ke dekapannya, mencoba menenangkannya.
Ceklek.
Suara gagang pintu diputar, terbukalah pintu dan menampakkan sosok Agam yang tengah berjalan masuk ke ruangan. Biasanya jam kantor selesai pukul empat sore, tetapi karena ada sedikit masalah pekerjaan di kantornya, Agam baru pulang pukul enam sore, jadi dia baru bisa datang sekarang. Melihat sang istri masih menangis sesenggukan, Agam meminta penjelasan, Aryan lalu menceritakan kejadian barusan.
"Sebaiknya Mbak pulang, Mbak sudah menunggu Vian dari kemarin. Mbak harus istirahat di rumah", ujar Aryan.
"Mbak tidak bisa meninggalkan Vian sendiri”.
"Benar kata Aryan, sayang. Mama harus pulang dulu, disini ada Aryan, kalau ada apa-apa dia pasti langsung menghubungi kita Ma. Papa juga akan menyuruh orang kepercayaan Papa untuk berjaga disekitar Rumah Sakit ini Ma", kata Agam berusaha membujuk Arin agar mau ikut pulang bersamanya.
"Tapi Pa...".
"Tak ada tapi-tapian Ma, pikirkan kondisi kesehatan Mama juga", sanggah Agam yang tidak ingin lagi di debat.
Akhirnya dengan bujukan Aryan dan Agam, Arin mau pulang ke rumah. Sebelum pergi Arin menghampiri Vian yang tengah tertidur, ia berpamitan dengan membisikkan sesuatu di telinga lelaki itu lalu mencium keningnya. Arin pun tidak lupa mengingatkan Aryan untuk menghubunginya jika terjadi sesuatu dengan putranya dan langsung di angguk i oleh pria tiga puluh empat tahun itu.