Di sebuah sekolah yang lebih mirip medan pertarungan daripada tempat belajar, Nana Aoi—putri dari seorang ketua Yakuza—harus menghadapi kenyataan pahit. Cintanya kepada Yuki Kaze, seorang pria yang telah mengisi hatinya, berubah menjadi rasa sakit saat ingatan Yuki menghilang.
Demi mempertahankan Yuki di sisinya, Ayaka Ito, seorang gadis yang juga mencintainya, mengambil kesempatan atas amnesia Yuki. Ayaka bukan hanya sekadar rival cinta bagi Nana, tapi juga seseorang yang mendapat tugas dari ayah Nana sendiri untuk melindunginya. Dengan posisi yang sulit, Ayaka menikmati setiap momen bersama Yuki, sementara Nana harus menanggung luka di hatinya.
Di sisi lain, Yuna dan Yui tetap setia menemani Nana, memberikan dukungan di tengah keterpurukannya. Namun, keadaan semakin memburuk ketika Nana harus menghadapi duel brutal melawan Kexin Yue, pemimpin kelas dua. Kekalahan Nana dari Kexin membuatnya terluka parah, dan ia pun harus dirawat di rumah sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Ibadurahman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29.
...Lapangan belakang sekolah ...
Di sisi lain, siswa kelas 1 yang menunggu di luar mulai bergerak ke lapangan belakang. Ketika mereka tiba, pemandangan yang sudah mereka duga tersaji di depan mata, kelas 2 sudah berbaris rapi, siap bertarung.
Namun, ada yang menarik perhatian Yuki. Pemimpin kelas 2, Kexin Yue, tidak berdiri di depan pasukannya seperti biasa. Sebaliknya, dia duduk di atas sebuah kontainer besi yang sudah lama terbengkalai, dengan kakinya berayun santai. Di sampingnya, seorang gadis berambut panjang berdiri tegak dengan ekspresi dingin. Itu Zelda Aisha, tangan kanan Kexin.
Sementara itu, barisan pertama dari kelas 1 diisi oleh Yuki, Kai, Yui, Nana, dan Yuna.
Yuki melihat ke sekeliling. Semua anak kelas 2 mengenakan ikat kepala putih. Itu masuk akal. Dengan seragam yang sama, sulit membedakan mana kawan dan mana lawan dalam pertempuran antar angkatan. Sementara itu, di pihak kelas 1, mereka tidak memiliki tanda pengenal khusus. Mereka hanya mengingat dan mengingat dalam pertempuran ini.
Kai takashi yang melihat kexin tidak ikut turun, "Yuki, sebaiknya lu jangan ikut bertarung sekarang," kata Kai tanpa menoleh. "Simpan tenaga lu buat lawan Kexin."
Mereka semua setuju. Yuki masih belum dalam kondisi terbaiknya, dan jika dia jatuh terlalu cepat, peluang mereka akan semakin kecil.
"Yui, temani Yuki di belakang," tambah Kai.
Yuki dan Yui akhirnya mundur ke belakang, naik ke atas kontainer lain untuk mengamati jalannya pertempuran.
Di kejauhan, Kexin mengangkat satu tangannya ke udara. "Maju," ucapnya santai.
Kai tidak mau kalah. "Maju!" teriaknya lantang.
Dan dengan itu, pertempuran dimulai.
Yuki menyaksikan dari atas dengan rahang mengeras. Dia tahu kelas 1 bukan tandingan kelas 2 dalam hal pengalaman, tapi yang mengejutkannya adalah Nana.
Di tengah pertarungan brutal, Nana bertarung dengan begitu liar, tidak seperti yang pernah Yuki bayangkan sebelumnya. Pukulan dan tendangannya begitu keras hingga beberapa siswa kelas 2 langsung tumbang hanya dalam beberapa serangan.
"Dia gila…" gumam Yuki tanpa sadar. Tapi pandangannya segera tertuju pada sosok gadis cantik di samping Kexin.
"Yui, siapa dia?" tanya Yuki.
"Zelda Aisha," jawab Yui tanpa berpaling dari pertarungan.
"Dia kuat?"
Yui mendengus pelan. "Tanpa dia dan Kexin, kelas 2 bukan apa-apa."
Yuki menyipitkan mata. "Kalau begitu, kenapa dia nggak turun? Kenapa cuma diam?"
"Mungkin, dia nunggu waktu yang tepat," jawab Yui. "Atau, lebih tepatnya, dia ngulur waktu."
Yuki merasa ada yang tidak beres. "Maksud lu?"
"Kalau dia turun dari awal, kita udah kalah dari tadi," jawab Yui, nadanya serius.
Sementara itu, Zelda yang masih berdiri di atas kontainer mulai mengernyitkan dahi, melihat pasukannya yang semakin terdesak.
"Gue turun sekarang?" tanyanya pada Kexin.
Kexin menghisap lolipopnya sebelum akhirnya mengangguk. "Kalau lu diam terus, kita bisa kalah."
Zelda bersiap untuk turun, tapi sebelum itu, Kexin memperingatkan. "Tunggu, hati-hati sama Nana Aoi."
Zelda mengangkat sebelah alis. "Serius? Gue lihat, pertarungannya biasa aja."
Kexin melotot. "Iya, tapi kalau dia serius, lu bisa mati lawan dia."
Zelda mendecih, tidak percaya. Namun, begitu dia turun ke arena dan mulai bertarung, semuanya berubah.
Hanya dalam hitungan menit, siswa kelas 1 yang tadinya mulai unggul sekarang berjatuhan satu per satu. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi kecepatan dan kekuatan Zelda.
Dari atas kontainer, Yuki melihat pertarungan Zelda, ia berdiri. "Sial, kita terpojok" "Kita turun, Yui," ucapnya.
Yui mengangguk, dan mereka berdua melompat turun ke arena.
Namun, bahkan dengan tambahan tenaga dari Yuki dan Yui, keadaan tetap tidak berubah. Siswa kelas 1 tumbang begitu cepat.
Pada akhirnya, hanya tersisa lima orang, Kai, Yui, Yuna, Nana, dan Yuki.
Di sisi lain, masih ada puluhan siswa kelas 2 yang berdiri di belakang Zelda, dan Kexin masih tetap duduk santai sambil menikmati lolipopnya.
Pertarungan berhenti sejenak. Zelda menyapu pandangannya ke lima orang yang tersisa, lalu menunjuk ke satu orang. "Lawan gua," katanya. Sambil menunjuk Nana.
Kai, Yui, dan Yuna terkejut.
Kexin, yang masih duduk di atas kontainer, menghela napas panjang. "Bodoh," gumamnya.
Nana melangkah maju, berhadapan langsung dengan Zelda.
Sementara Yuki, kai, Yuna dan Yui harus menghadapi puluhan siswa kelas 2 yang tersisa.
Pertarungan kembali dimulai.
Namun, Yuki tidak bisa fokus pada lawannya sendiri. Matanya terus tertuju pada Nana. Dia melihat bagaimana Zelda menghujani Nana dengan pukulan bertubi-tubi tanpa perlawanan.
"Kenapa gua merasa kasihan sama dia?" gumam Yuki dalam hati. "Apa karena dia di pihak kawan? Atau ada sesuatu yang lain?"
Darah sudah membasahi wajah Nana. Zelda tersenyum sinis. "Orang lemah kayak gini yang ditakuti Kexin?" pikirnya.
Dengan pukulan terakhir, Zelda mengayunkan tinjunya ke wajah Nana yang sudah hampir tidak bisa berdiri.
Namun, Bukan wajah Nana yang terkena pukulan itu, tapi Yuki. Dia berlari ke depan Nana tepat sebelum pukulan itu mengenai mendarat di wajah Nana. Tubuh Yuki terpental jauh, terhempas ke tanah. Zelda terkejut. Dia tidak menyangka Yuki akan melindungi Nana seperti itu.
Nana merasakan dunia seakan membeku. Suara pertarungan di sekelilingnya memudar. Yang ada hanya Yuki. Cowok yang ia cintai, Cowok yang selama ini ada di hatinya, Kini terbaring tak berdaya karena Zelda. Sesuatu dalam dadanya terasa pecah. Sebuah perasaan panas, mendidih, meledak tanpa bisa dikendalikan. Napas Nana memburu. Tangannya mengepal hingga kukunya menusuk telapak tangannya sendiri. Matanya perlahan berubah, Kegelapan menyelimuti tubuhnya, seakan menariknya masuk ke dalam jurang kesadaran.
Ketakutan, kesedihan, dan amarah bercampur menjadi satu, berubah menjadi sebuah kekuatan. Nana tidak lagi merasakan lelah. Tidak lagi merasakan sakit. Yang ada hanya satu hal dalam pikirannya. Menghancurkan Zelda.
Yuna melihat perubahan itu. "Sial, dia sudah kehilangan kontrol," gumamnya cemas.
Zelda juga membeku. Keringat dingin mengalir di pelipisnya saat melihat perubahan Nana. Untuk pertama kalinya, ia merasa takut. "Apa ini yang dimaksud Kexin?" pikirnya.
Tapi sebelum ia bisa bergerak, Nana melesat, dan dengan satu pukulan, Zelda terpental jauh.
Kai dan Yui menatapnya dengan mata terbelalak. "Ini bukan lagi Nana," bisik Kai. "Dia kayak monster yang haus darah."
Namun, Nana tidak memberi Zelda kesempatan untuk bangkit. Dia melompat ke atas tubuh Zelda dan mulai menghujani gadis itu dengan pukulan bertubi-tubi.
Zelda hanya bisa menahan dengan kedua tangannya yang sudah lemah. Matanya mulai kehilangan fokus. Darah berceceran di tanah. Namun, Nana tidak berhenti. Dia terus menghajar Zelda, seakan ingin memastikan lawannya mati.
Yuki, yang perlahan mulai bangkit, melihat Nana dalam kondisi itu. Ada sesuatu yang terasa familiar, perasaan aneh mulai mengusik hatinya. Ini seperti Déjà vu.
Bayangan samar muncul dipikirannya, Nana sedang memukuli dirinya, seperti Nana memukul Zelda saat ini.
Sesuatu di dalam kepalanya terasa bergetar. Ia tidak tahu kenapa, tapi melihat Nana dalam kondisi seperti itu membuat dadanya sesak.
Lalu, matanya tertuju pada Zelda. Gadis itu sudah hampir tidak bergerak. "Tidak,,,," Jantung Yuki berdegup kencang. "Zelda bisa mati." Tangannya mengepal. "Gur nggak mau Nana jadi pembunuh."
Yuki berlari mendekati Nana yang terus menghantam wajah Zelda yang sudah tak sadarkan diri. "Nana! Hentikan!" teriak Yuki.
Namun, Nana tidak peduli. Pukulannya terus menghantam wajah Zelda yang sudah terkapar.
"Tolong, Nana,, gue mohon," suara Yuki bergetar.
Di kejauhan, Yuna yang melihat situasi ini langsung berteriak, "PELUK DIA, YUKI!!"
Yuki terkejut. Entah kenapa, tubuhnya langsung bergerak tanpa berpikir. Dia melompat dan memeluk Nana dari belakang. Pelukannya erat, seakan ingin menarik gadis itu kembali dari kegelapan. "Tolong, hentikan, Nana,,," bisiknya pelan di telinga Nana.
Sejenak, pukulan Nana masih berlanjut. Namun, perlahan, gerakannya melambat, Dan akhirnya, tangannya jatuh lemas. Nana kehilangan kesadarannya di pelukan Yuki.
Keheningan menyelimuti lapangan.
Semua siswa yang tersisa hanya bisa menatap pemandangan di depan mereka dengan diam.
Kexin berjalan menuju tempat Zelda terkapar. “LEMAH.” Tanpa ekspresi, dia menyeret tubuh Zelda yang sudah babak belur menjauh. Setelah itu, dia berbalik, berjalan menuju Yuki yang masih berlutut sambil memeluk Nana.
Namun sebelum ia bisa mendekat, Suara menggelegar bergema di seluruh lapangan. "HENTIKAN."
Semua orang langsung berhenti bertarung.
Pandangannya tertuju pada Ayaka Ito yang berdiri di atas kontainer. Angin bertiup kencang, mengibarkan rambut panjangnya. Dengan suara tegas, dia berkata, "Sudah cukup. Jangan dilanjutkan."
Kexin menatapnya dengan ekspresi kesal. Dia tahu siapa Ayaka. Jika dia sudah turun tangan, tidak ada yang bisa menolak. Namun, rasa frustrasinya tetap membara. Dia ingin bertarung dengan Yuki. Dan sekarang, pertarungan itu batal. Tapi dia tidak bisa melawan Ayaka. Maka, dengan penuh amarah, dia hanya bisa mengepalkan tangannya dan membuang napas kasar.
Sementara itu, Ayaka masih menatap ke bawah. Pandangannya tertuju pada Yuki yang masih memeluk Nana dengan erat. Dalam hatinya, ada perasaan tidak nyaman. "Apakah Yuki sudah mengingat semuanya?"
Ayaka turun dari kontainer, melangkah perlahan menuju Yuki. Di saat yang sama, Yuna juga mendekat. "Biarkan gue yang membawa Nana," ucap Yuna dengan suara lembut.
Ayaka ikut berbicara. "Sayang," katanya pelan. "Berikan Nana pada Yuna."
Yuki menatap Nana di pelukannya untuk terakhir kali. Kemudian, dengan berat hati, dia menyerahkan Nana kepada Yuna.