Dena baru saja selesai menamatkan novel romance yang menurutnya memiliki alur yang menarik.
Menceritakan perjalanan cinta Ragas dan Viena yang penuh rintangan, dan mendapatkan gangguan kecil dari rival Ragas yang bernama Ghariel.
Sebenarnya Dena cukup kasihan dengan antagonist itu, Ghariel seorang bos mafia besar, namun tumbuh tanpa peran orang tua dan latar belakang kelam, khas antagonist pada umumnya. Tapi, karena perannya jahat, Dena jelas mendukung pasangan pemeran utama.
Tapi, apa jadinya jika Dena mengetahui sekelam apa kehidupan yang dimiliki Ghariel?
Karena saat terbangun di pagi hari, ia malah berada di tubuh wanita cantik yang telah memiliki anak dan suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salvador, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 : Si kecil Ghariel
...****************...
Araya tiba di sekolah Ghariel lima menit sebelum bel pulang berbunyi. Ghariel bersekolah di salah satu International School terkenal di kota ini.
Awalnya Araya kira anak yang belum genap berusia tujuh tahun itu masih TK, ternyata sudah awal kelas dua sd. Itu pun ia bertanya pada Bastian tadi, karena tak ada ingatan Araya tentang anaknya itu, yah Araya memang tak sepeduli itu.
Bastian memperhatikan majikannya itu dari spion depan, ia hanya berharap Araya tidak membuat keributan di sini.
Ketika bel berbunyi dan gerbang di buka, Araya memilih untuk menunggu di luar. Ia memperhatikan beberapa anak yang di jemput oleh orang tuanya, beberapa ada yang berpakaian seperti babysitter atau sopir keluarga.
Sampai tatapan Araya melihat anak perempuan kecil yang berdiri sendirian di dekat mobilnya. Kepang duanya terlihat begitu imut, Araya memilih untuk menghampirinya.
Ia berjongkok mensejajarkan tubuh dengan anak itu, “Kamu nunggu jemputan?” Tanya Araya lembut.
Anak itu menoleh dan mengangguk dua kali, “Iya, aunty.”
Omg lucu banget, pipinya gembul ihh. Batin Araya menahan gemas. Ia paling suka dengan anak kecil cantik terawat seperti ini.
“Namanya siapa cantik?”
“Lavina aunty.”
“Lavina nunggu mama nya ya?” Tanya Araya lagi.
“Laviena aunty, bukan Lavina. Oh ya, aku nunggu nanny.” Jawab gadis kecil itu.
“Oh Laviena?”
“Laviena bukan Laviena, auntyy.” Ralat anak kecil itu terlihat menahan kesal.
Araya terkekeh kecil mengetahui maksud bocah ini, “Oh, Raviena, ya?”
Raviena mengangguk lagi dua kali, “nah itu aunty cantik.”
Eh, Raviena? Batin Araya menyadari nama yang persis seperti protagonist wanita itu.
Ia memperhatikan anak ini, kecantikannya sudah menguar sejak umur sekecil ini. Aura feminine nya kuat, membuat siapapun pasti akan berniat melindunginya.
Feeling Araya kuat jika gadis kecil inilah yang akan di perebutkan Ghariel dan Ragas di masa depan.
Sebuah pikiran terlintas di kepalanya, apa ia dekatkan saja anaknya dengan Viena sejak kecil? Agar Viena memilih Ghariel ketika dewasa nanti.
Tapi itu mengacaukan alur. Apa gapapa?
“Aunty cantik nunggu siapa?” Tanya Viena kecil.
Araya sedikit bertemu mendengar panggilan itu, anak kecil tidak pernah bohong, kan?
“Aunty nunggu anak aunty, dia sekolah di sini juga.”
Viena membulatkan bibirnya berucap ‘oh’, lalu terus menatap wajah wanita cantik didepannya ini.
“Muka aunty kayak gak asing, deh.” Gumamnya kecil, Samar-samar Araya mendengarnya.
“Kamu ngomong sesuatu?”
“Mama?”
Panggilan dari Ghariel mengalihkan Araya. Terlihat anak kecil itu terkejut melihat keberadaannya di sini.
“Nanny aku udah dateng, aku pulang dulu ya, Aunty, dadah..” Viena menghampiri mobil yang baru tiba.
“Iya, hati-hati.” Ujar Araya melihat gadis kecil itu berlari kecil.
Kini Araya tertuju pada bocah laki-laki yang tadi memanggilnya ‘mama’.
Kata yang terlintas di pikiran Araya pertama kali melihatnya adalah, tampan dan lucu. Tidak ada raut menyeramkan seperti di deskripsi novel melihat Ghariel kecil ini.
Tapi, Araya menyadari, tatapannya terlihat takut melihat padanya.
“Halo, Ghariel. Mama ke sini mau jemput kamu, ayo kita pulang sayang.” Ujar Araya ramah.
Ia langsung menggenggam tangan kecil Ghariel, yang mana empunya masih mematung mendengar ucapan lembut dari sang ibu.
“Kenapa Mama di sini?” Tanya Ghariel pelan kala Bastian mulai melajukan mobil menuju mansion mereka.
“Kan Mama udah bilang mau jemput kamu?” Ujar Araya lembut dengan senyuman manisnya.
Berbanding dengan Ghariel yang langsung mengalihkan pandangannya, ia tidak tahu apa maksud di balik senyuman ibunya itu.
“Kenapa Mama mau jemput aku?” Tanyanya lagi.
“Karena mama ingin jemput anak mama ini.” Jawab Araya santai.
Ia mengerti kebingungan Ghariel, sangat mengerti. Ia akan menjelaskan pelan-pelan pada bocah kecil ini jika ia bukan lagi Mamanya yang kejam.
***
Belum cukup Ghariel merasa heran kehadiran Araya di depan sekolahnya, kini ia terus menatap bagaimana jemari lentik itu menggenggam tangannya memasuki mansion, bahkan sampai ke kamarnya.
Ghariel tidak tahu apa yang menyebabkan kemarahan ibunya itu saat ini, sudah pasti ia akan di marahi lagi, kan?
Araya menutup pintu kamar Ghariel. Setelahnya tersenyum manis pada anak kecil yang kini duduk di atas kasurnya itu.
“Biasanya pulang sekolah, Ghariel ngapain?” Tanya Araya.
Ghariel terlihat ragu-ragu untuk menjawab, ia memainkan kakinya yang tak menyentuh lantai dengan gelisah.
“Emm, makan.” Jawabnya.
“Ghariel mau makan siang bareng Mama, gak?”
Anak yang belum genap berusia tujuh tahun itu mengangguk pelan menjawab.
“Ya udah, mama minta pelayan di dapur masakin kita dulu, ya.” Ujar Araya hendak berbalik keluar.
Tapi, cekalan kecil menahannya, Araya menatap jemari kecil itu mencekal lengannya.
Ghariel yang sadar segera melepaskan tangannya, “Maaf, mama. A-aku gak sengaja.” Ujarnya takut. Mamanya tidak suka jika Ghariel mencoba bersentuhan dengannya.
“Hei, gapapa sayang.” Araya kini beralih duduk di sebelah anaknya itu, “Mama kan, mamanya Ghariel. Jadi Ghariel boleh kok nyentuh Mama.”
Araya perlahan mengelus surai yang menunduk itu. Ia benar-benar prihatin pada anak ini, menyentuh ibunya saja sudah begitu takutnya, terlihat bagaimana trauma Ghariel pada ibunya sendiri.
“Mama, gak marah?” Tanya Ghariel.
Araya mencoba menahan tawa melihat lucunya bibir kecil yang tertekuk itu, “Enggak, sayang.”
“Ghariel, dengerin Mama, ya.”
Araya menggenggam kedua sisi tangan mungil itu, “Mama, Mama mau minta maaf sama Ghariel.”
“Selama ini, Mama udah jadi orang tua yang buruk buat kamu. Mama sadar, Mama adalah ibu yang gagal,”
Araya menetralkan nafasnya sejenak, “Mama juga jahat sama Ghariel. Mama sering marahin kamu, nyalahin kamu atas hal yang enggak kamu perbuat. Maaf Ghariel, mama menyesal, nak.”
Suara Araya sedikit serak, diingatannya terlihat jelas bagaimana kelakuan buruk Araya yang asli, seolah benar-benar ia yang melakukan sendiri.
“Mama mau berubah, mama pengen jadi orang tua yang baik untuk kamu.”
Ghariel menatap mata berkaca-kaca ibunya, tak bisa di pungkiri ia senang mendengarnya. Bukankah itu berarti ibunya akan menyayanginya?
Tapi sayangnya, ia tak bisa percaya semudah itu, apalagi atas apa yang telah ia alami selama ini.
Anak kecil itu menarik pelan tangannya dari genggaman Araya, “Kenapa Mama mau berubah?” Tanyanya.
“Karena, Mama mau jadi ibu yang baik buat kamu. Mama akan menebus semua kesalahan Mama, sayang.” Ujar Araya tulus.
“Mama gak akan bentak aku? Mama gak akan pukul aku lagi, kan?”
Hati Araya seolah tersayat mendengar pertanyaan itu, “Enggak, Mama gak akan ngelakuin itu.”
Ghariel terdiam sebentar, sampai satu kata tercetus di bibir kecilnya.
“Bohong,”
“Belum satu minggu ini Mama nampar aku karena gak sengaja pecahin guci Mama,” Ujar Ghariel.
Semua orang memang melarangnya menuju lantai dua yang merupakan kediaman Mamanya, tapi saat itu Ghariel cukup penasaran karena sudah beberapa hari tak melihat sang ibu.
Walau ibunya terus memarahinya, Ghariel tetap merindukan melihat wajah cantik itu di rumah ini. Karena itu ia nekat menuju lantai dua, niatnya hanya untuk mengintip memastikan sang ibu ada di kamarnya, tetapi ia malah memecahkan salah satu guci ibunya.
“Mama gak akan gitu lagi, Ghariel. Mama janji.” Ujar Araya meyakinkan.
Tapi anak itu tetap menggeleng, “Aku, benci mama.”
Astaga, apa yang lebih buruk dari mendengar ungkapan benci dari anak yang dilahirkan sendiri? Araya benar-benar mengumpati kelakuan pemilik tubuh ini.
Ghariel mengalihkan pandangannya ke arah lain, “lebih baik Mama pergi. Makasih karena gak marahin aku hari ini.” Ujarnya.
Araya mengangguk mengerti, “Gak papa kok, kalau Ghariel belum mau maafin mama. Mama akan terus berusaha dapat maaf dari anak mama ini.” Ujar Araya tersenyum, tapi terluka. Ia pun memilih keluar dari kamar Ghariel saat ini.
Araya sadar jika ia harus sabar melakukan pendekatan pada Ghariel. Tak apa, ia sudah bertekad memberikan kebahagiaan untuk anak lucu itu, ia hanya perlu berusaha lebih keras lagi.
...****************...
tbc.
Jangan lupa tinggal kan jejak berupa like, komen, vote and gift nya♡♡♡