"Dia bukan adik kandungmu, Raja. Bukan... hiks... hiks..."
17 tahun lamanya, Raja menyayangi dan menjaga Rani melebihi dirinya. Namun ternyata, gadis yang sangat dia cintai itu bukan adik kandungnya.
Namun, ketika Rani pergi Raja bahkan merasa separuh hidupnya juga pergi. Raja pikir, dia telah jatuh cinta pada Rani. Bukan sebagai seorang kakak..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Kehidupan Rani dan Hani
Langit siang itu membentang luas, biru tanpa awan, dengan angin pegunungan yang berhembus lembut.
Hari ini Raja dan Rani libur sekolah. Hari ini mereka akan bersepeda ke perkebunan teh dan menghabiskan sore dengan memancing di danau kecil di ujung desa.
"Kak Raja!" suara Rani terdengar nyaring dari halaman rumah.
Raja keluar sambil mendorong dua sepeda mereka. "Sabar, Rani. Jangan teriak-teriak."
Rani menghampiri sepedanya dengan wajah antusias. "Aku sudah tidak sabar, Kak! Sudah lama kita nggak main seharian bareng."
Raja tersenyum tipis. "Iya, iya. Tapi jangan kebut-kebutan, ya."
Mereka mulai mengayuh sepeda perlahan, menyusuri jalan setapak yang membelah perkebunan teh. Suasana begitu indah, daun-daun teh yang hijau terhampar luas, angin berhembus lembut, dan aroma tanah yang khas tercium setiap kali roda sepeda menggilas jalanan tanah merah.
"Kak, lihat deh! Itu burung elang, kan?" Rani menunjuk langit, di mana seekor burung besar melayang tinggi.
"Iya, elang jawa," jawab Raja. "Keren, ya?"
Rani tersenyum lebar dan mengangguk, lalu tiba-tiba mengayuh lebih cepat. "Kak, ayo balapan!" ajaknya yang sudah melaju lebih cepat.
"Rani! Jangan ngebut, nanti jatuh!" seru Raja dengan wajah khawatir.
Tapi terlambat. Ban sepeda Rani mengenai batu kecil, dan ia kehilangan keseimbangan. Wajah Rani menjadi panik.
"Kak Raja!"
Brukkk
"Rani!"
Raja segera menghentikan sepedanya, bahkan melemparkan sepedanya begitu saja untuk bisa berlari menghampiri Rani yang terjatuh di tanah.
Rani meringis, melihat lututnya yang tergores.
"Aduh...."
"Kan udah dibilang jangan ngebut," Raja berlutut di sampingnya. "Sakit?" tanyanya dengan wajah cemas.
Rani menahan tangis. Karena dia melihat wajah kakaknya yang cemas, dia sekuat tenaganya menahan tangisnya. Supaya kakaknya tidak lebih khawatir. Karena ini memang salahnya.
"Sedikit" gumamnya pelan.
Raja menghela napas, lalu mengeluarkan tisu basah dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia membersihkan luka di lutut Rani.
"Jika perih, tidak apa-apa kalau mau menangis" ucap Raja pelan, sambil sesekali meniup luka gores di lutut Rani.
"Aku nggak akan nangis…" suara Rani bergetar.
Raja menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Hebat."
Mata Rani berbinar mendengar pujian itu. "Aku kuat, kan, Kak?"
Raja mengangguk. "Iya, Raniku memang sangat kuat.Tapi lain kali hati-hati, dan dengar apa yang kakak katakan!"
Rani mengangguk dengan cepat.
Setelah memastikan luka Rani sudah aman, karena Raja sudah memberikan krim dan menutupnya dengan plester luka, mereka kembali bersepeda dengan lebih santai. Rani tetap ceria, meskipun sesekali meringis ketika lututnya terasa perih.
Melewati kebun teh, mereka pun sampai di danau. Mereka tiba di danau kecil yang tenang, dikelilingi pepohonan rindang. Raja segera mengeluarkan pancing dan umpan yang sudah mereka siapkan di ranselnya.
Rani duduk di atas batu besar, menggoyang-goyangkan kakinya dengan semangat. "Kak, aku mau pasang umpan sendiri!"
Raja menatapnya ragu. "Bisa?"
"Tentu saja! Aku udah belajar dari Kakak waktu itu."
Rani mengambil cacing kecil dan mencoba memasangnya di kail, tapi wajahnya meringis geli.
"Ew… Kak, ini... tidak bisa, ini menggeliat..."
Raja tertawa. Melihat adiknya yang ingin mandiri, tapi tetap tidak bisa memegang umpan cacing itu dengan benar.
"Sini! kakak bantu"
Rani mengangguk cepat. Dia memberikan dua benda di tangannya itu pada Raja.
Setelah memasang umpannya, mereka melemparkan kail ke danau dan menunggu dalam keheningan yang nyaman. Angin sore berhembus lembut, membawa suara gemerisik dedaunan dan percikan air.
Beberapa menit berlalu, dan tiba-tiba…
"Kak! Kailku bergerak!"
Raja segera menoleh. "Tarik pelan-pelan!"
Rani berusaha menarik jorannya, tapi tangannya gemetar. "Kak, ini ikan atau paus, berat sekali..."
Raja kembali terkekeh, dia segera melepaskan pancingannya dan membantu Rani.
Keduanya berusaha menarik joran, tapi sepertinya ikan yang memakan umpan pancing Rani sangat besar. Keduanya bahkan sampai terjatuh karena ikan itu tiba-tiba terlepas dari kail.
Brakk
"Ha ha ha"
Keduanya malah tertawa bersama.
Mereka terus memancing hingga matahari mulai tenggelam di balik perbukitan, menyisakan cahaya keemasan yang memantul di permukaan air.
Raja dan Rani duduk berdampingan di tepi danau, menikmati langit senja yang indah.
"Kita tidak dapat ikan satupun" kata Rani melihat ke arah danau.
Raja membelai lembut kepala Rani.
"Tidak apa-apa, ternyata memang lebih mudah membelinya di pasar"
"Ha ha ha" Rani terkekeh mendengar ucapan kakaknya.
Rani mendesah, menghela nafas berat.
"Kakak sebentar lagi SMA, kita pasti tidak akan bisa main seperti ini lagi!"
Raja terdiam sejenak. Ia tahu, sebentar lagi waktunya akan lebih banyak dihabiskan untuk belajar dan mempersiapkan diri masuk SMA. Tapi melihat wajah Rani yang sedih, ia mengulurkan kelingkingnya.
"Kakak janji, kita tetap main bareng, kapan pun kamu mau."
Rani menatap kelingking Raja, lalu tersenyum dan mengaitkan jarinya. "Janji, ya?"
"Janji."
Mereka saling tersenyum, menikmati kebersamaan di bawah langit senja yang perlahan berubah menjadi petang. Bagi Raja, Rani bukan sekadar adik. Ia adalah teman terbaiknya, bagian dari hatinya yang akan selalu ia lindungi.
Dan bagi Rani, Raja bukan hanya kakak. Ia adalah pahlawan kecilnya, tempatnya bermanja, dan seseorang yang akan selalu ada untuknya.
Hari itu, mereka pulang dengan hati yang hangat, membawa kenangan yang akan mereka simpan selamanya.
Dan begitu sampai di rumah, Retno sudah menunggu keduanya di depan pintu.
"Raja, Rani, kalau main ingat waktu dong. Kalian pasti belum makan kan? mandi dulu, lalu makan ya!" ujar Retno yang khawatir.
"Maaf Bu!" ucap Raja.
"Tidak apa-apa, masuk. Mandi ya, lalu makan" kata Retno lagi.
Keluarga itu terlihat begitu bahagia. Sementara ada keluarga lain yang sedang sangat kesulitan saat ini.
Di rumahnya, Murni di datangi mandor perkebunan yang mengatakan Hani mencuri.
"Tidak Bu! kenapa tidak percaya! periksa saja!" tantang Hani.
Mandor itu tampak sangat marah.
"Aku lihat kamu ada di sekitar mejaku tadi. Dan uang untuk bayar para buruh hilang Rp 10.000. Itu pasti kamu kan?" tanya mandor itu.
"Gak, bukan aku!" kata Hani kekeuh.
"Maaf pak mandor, saya sudah periksa. Tidak ada uang di tubuh dan pakaian Hani" kata salah satu tetangga Murni.
"Kamu sembunyikan dimana?" pekik Mandor itu.
"Aku tidak ambil!" Hani sangat berani membantah.
Sementara yang di lakukan Murni hanya menangis dan menangis saja.
"Murni! mulai sekarang, aku gak mau lihat anak kamu di perkebunan ya! Kecil-kecil sudah jadi pencuri! sudah besar mau jadi apa kamu? Hah, sudahlah!"
Akhirnya mandor itu pergi dengan kesal. Para tetangga juga hanya bisa menatap curiga pada Hani.
"Murni, kamu didik anak kamu dengan benar. Bukan gak percaya sama kamu, tapi Hani memang nakal!" ujar salah satu tetangga.
Hani hanya mendengus kesal lalu masuk ke dalam rumah.
Setelah semua tetangga pergi, Murni masuk rumah. Dia melihat Hani mengeluarkan uang Rp 10.000 dari dalam kerah bajunya.
"Ha ha, ada gunanya juga kerah baju ini bolong. Bisa di buat menyembunyikan uang ini!"
"Ya Tuhan, Hani! Kamu benar-benar mencuri uang pak mandor?" tanya Murni yang sangat terkejut dengan apa yang di lakukan anaknya.
"Ck, ibu diam saja ya. Awas kalau sampai ngadu ke siapa-siapa. Hani akan pergi meninggalkan ibu!" ujarnya yang langsung pergi meninggalkan Murni.
Baru 10 tahun, anak itu baru 10 tahun sudah seperti itu. Bagaimana kalau dia besar nanti. Murni sungguh takut, sepertinya benar kata orang-orang, Murni sudah salah mendidik Hani. Karena Hani bukan anak kandungnya, dia tidak berani marah, tidak berani hukum, tidak berani pukul. Tapi, Hani malah jadi seperti itu.
***
Bersambung...