Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terror Untuk Aparat Hukum
Darma duduk di lantai gudang tua yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Di depannya, sebuah ponsel menyala, memperlihatkan berita tentang dirinya yang kini menjadi buronan. Foto wajahnya terpampang jelas, dan polisi menyatakan bahwa ia adalah tersangka utama dalam serangkaian pembunuhan brutal, termasuk insiden di Gedung Menara Permata dan kematian Pak Jaya.
Darma hanya tersenyum tipis.
"Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Itu sebabnya aku ada di sini."
Ia menarik napas dalam, lalu mengambil ponselnya. Ada satu orang yang bisa membantunya: Rini.
Suaminya dulu seorang polisi yang jujur. Dia terbunuh karena mencoba mengungkap kebusukan di dalam kepolisian. Rini pasti tahu sesuatu.
Darma menekan nomor Rini.
Nada sambung terdengar.
Tak lama, suara Rini menjawab.
"Halo? Darma?"
"Aku butuh bantuanmu," suara Darma terdengar dalam dan dingin.
Di ujung sana, Rini terdiam sesaat, lalu berkata, "Apa yang kau mau, Darma?"
"Daftar polisi yang terlibat dalam permainan ini. Polisi yang bermain di bawah perintah Wali Kota. Kau pasti tahu sesuatu dari almarhum suamimu."
Hening.
"Darma… Kau benar-benar ingin melawan mereka?" suara Rini terdengar khawatir.
"Aku sudah melewati batas untuk kembali, Rini. Aku tidak peduli berapa banyak orang yang harus mati. Mereka semua bagian dari kebusukan kota ini."
Rini menarik napas panjang di ujung telepon. "Tunggu aku. Datanglah ke rumahku besok malam. Aku akan menyiapkan sesuatu untukmu."
Darma menutup telepon tanpa berkata apa-apa lagi.
Ia menatap gelapnya malam dari balik jendela.
Malam ini adalah awal dari perburuan barunya. Jika sebelumnya ia memburu Raden Wijaya dan orang-orangnya, sekarang ia akan berburu polisi-polisi yang telah menjual keadilan demi uang dan kekuasaan.
Dan di antara mereka, ada satu orang yang menjadi target utama.
Orang yang telah membunuh suami Rini.
Darma mengepalkan tangannya.
Besok malam, ia akan mendapatkan daftar itu. Dan setelahnya, ia akan mulai memburu mereka satu per satu.
Malam ini, Darma tidak bisa menunggu sampai besok. Ia harus mulai dari sesuatu yang kecil, dari mereka yang ada di bawah dulu—Polsek Sentral Raya.
Ia mengenakan kembali kostum hitamnya. Trench coat panjang yang pernah menjadi milik Sinta kini berkibar tertiup angin malam. Dua cerulit tergantung di punggungnya, sementara dua shotgun terikat di pahanya.
Darma menatap cermin kecil di sudut ruangan. Matanya yang dulu penuh dengan kehidupan kini hanya menyisakan kegelapan. Ia meraih topeng tengkoraknya dan mengenakannya kembali.
Malam ini, iblis akan datang mengetuk pintu mereka.
Dengan langkah pasti, ia keluar dari tempat persembunyiannya. Motornya terparkir di sudut gang, mesin masih dingin. Ia menghidupkannya, suara knalpot menderu tajam menusuk kesunyian malam.
Tanpa ragu, Darma menarik gas dan melaju kencang menuju Polsek Sentral Raya.
Polsek Sentral Raya – 23:45 WIB
Malam itu, kantor polisi terlihat sepi. Hanya beberapa polisi berjaga di pos keamanan depan, dua lainnya merokok di pinggir trotoar.
Darma menghentikan motornya di seberang jalan, mematikan mesin, lalu turun dengan tenang.
Ia menatap gedung Polsek itu dengan tatapan kosong. Di balik topengnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman dingin.
Ia mengambil dua granat asap dari sakunya. Tanpa pikir panjang, ia menarik pinnya dan melemparkannya ke depan pintu utama.
DUMM!
Asap putih mulai mengepul.
Para polisi yang sedang berjaga langsung panik.
"Apa-apaan ini?!"
"Siaga! Siaga!"
Tapi sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, Darma sudah bergerak.
Dari balik asap, ia muncul dengan kecepatan mengerikan, menerjang polisi pertama dengan hantaman cerulit ke tenggorokan. Darah menyembur deras saat pria itu roboh dengan mata membelalak.
"Adharma!" salah satu polisi menjerit saat melihat sosok bertopeng tengkorak itu.
Darma tidak menjawab. Ia berputar, menendang dada seorang polisi hingga terpelanting ke kaca mobil patroli.
Polisi yang tersisa mulai menarik senjata.
"Tembak dia!"
Darma berlari ke arah mereka dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Sebelum peluru pertama bisa dilepaskan, ia sudah mengayunkan cerulitnya.
SYAT!
Tangan seorang polisi terpotong seketika, pistolnya jatuh ke tanah bersama jeritannya.
"AAARRGGHHH!!"
Polisi terakhir mencoba kabur masuk ke dalam gedung, tapi Darma mengangkat shotgun dari pahanya dan—
DOR!
Peluru menghantam punggungnya, membuatnya terjerembab ke lantai.
Darma berjalan mendekat, menginjak kepala pria itu hingga wajahnya menempel ke aspal.
"Katakan padaku… siapa yang paling korup di kantor ini?" suaranya dingin dan datar.
Pria itu menangis ketakutan. "P-Pak Kapolsek… tolong… aku hanya…"
"Terima kasih."
DOR!
Peluru kedua menghancurkan tengkoraknya.
Darma berdiri di tengah tumpukan mayat, napasnya tetap stabil meski darah mengotori pakaiannya.
Ia melangkah masuk ke kantor Polsek, menaiki tangga dengan tenang. Semua yang ada di dalam sudah mendengar keributan tadi, tapi sebelum mereka bisa melakukan sesuatu—
BRRRRRTTTT!!
Darma melepaskan tembakan shotgun ke atas, menghancurkan lampu di lorong, membuat suasana menjadi gelap gulita.
Ketakutan mulai menyelimuti mereka.
Lima Menit Kemudian
Kapolsek Sentral Raya tergantung terbalik di kantornya sendiri.
Kakinya diikat ke langit-langit dengan rantai, sementara darah menetes dari hidung dan mulutnya. Ia telah dipukuli habis-habisan oleh Darma.
Sosok bertopeng tengkorak itu berdiri di depannya, mengayunkan cerulit dengan santai.
"Katakan padaku… siapa atasanmu? Siapa dalang semua ini?"
Kapolsek itu tergagap, matanya penuh dengan rasa takut. "W-Wali Kota… Damar Kusuma… T-Tolong… aku hanya mengikuti perintah…!"
Darma terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tersenyum di balik topengnya.
"Bagus. Terima kasih atas informasinya."
Tanpa peringatan, ia menarik rantai yang mengikat kapolsek itu dan menghantamkan kepalanya ke lantai dengan keras.
"AAAAARRGGGHH!!"
Retakan tulang terdengar jelas. Kapolsek itu menggeliat sebentar, lalu tubuhnya diam tak bergerak.
Darma menatap tubuh yang tak bernyawa itu. Ia tahu, ini baru permulaan.
Tapi pesan ini akan jelas bagi semua orang.
Adharma ada di sini. Dan ia akan menghakimi kota ini dengan caranya sendiri.
Darma mengambil kaleng cat semprot dari laci meja, lalu menulis sesuatu di dinding kantor polisi.
"HUKUM TELAH MATI. SEKARANG GILIRANKU."
Lalu ia pergi, menghilang ke dalam kegelapan malam.
Bab: Kota yang Diguncang Teror
Pagi ini, Kota Sentral Raya diguncang kabar mengerikan.
Semua siaran berita menayangkan hal yang sama—Polsek Sentral Raya diserang oleh Adharma.
Rekaman video amatir dari warga memperlihatkan gedung Polsek yang dipenuhi garis polisi, bercak darah di mana-mana, dan beberapa jenazah yang ditutupi kain putih.
Namun, yang paling mengejutkan adalah sebuah tulisan di meja Kapolsek, dibuat dengan darah.
"HUKUM TELAH MATI, DAN SEKARANG GILIRANKU."
Kalimat itu menjadi pusat perhatian. Para jurnalis membicarakannya, para politikus mulai panik, dan warga kota mulai berpikir.
Di sebuah siaran berita, seorang reporter melaporkan dengan suara tegang, "Serangan terhadap Polsek Sentral Raya tidak hanya menyebabkan kematian Kapolsek dan para anggotanya, tapi juga meninggalkan pesan mengerikan. Sebuah kalimat tertulis dengan darah di meja Kapolsek: 'Hukum telah mati, dan sekarang giliranku.'
Adharma secara terang-terangan menantang sistem hukum kota ini. Namun, yang mengejutkan adalah reaksi sebagian masyarakat. Tidak sedikit yang mulai mendukung sosok ini, melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang sudah lama terjadi di Kota Sentral Raya."
Di kantor pusat kepolisian, Kapolri duduk diam di ruangannya, wajahnya tegang. Ia menyaksikan berita itu dengan rahang mengeras.
Seorang jenderal berdiri di sampingnya, berkata dengan suara berat, "Ini bukan lagi urusan kota. Adharma sudah menyerang institusi kita secara langsung. Jika kita tidak bertindak, kepolisian akan kehilangan wibawanya."
Kapolri menghela napas, matanya tajam menatap layar.
"Tingkatkan statusnya menjadi musuh negara. Aku ingin semua pasukan khusus turun tangan. Temukan dia. Hidup atau mati."
Di sebuah ruangan mewah di Balai Kota, Wali Kota Damar Kusuma menonton berita dengan ekspresi tenang, namun matanya penuh kemarahan.
Di depannya, Raden Wijaya berdiri dengan gelisah.
"Pak, ini sudah di luar kendali. Orang itu tidak hanya membunuh orang-orang kita, dia juga menantang hukum secara langsung!"
Damar Kusuma meneguk segelas wine-nya, lalu meletakkannya dengan perlahan.
"Adharma ingin bermain perang? Baik. Aku akan pastikan dia tidak akan bisa lagi bernapas di kota ini."
Ia lalu menatap Raden Wijaya dengan tajam. "Siapkan orang-orang kita. Kita akan buat rencana baru untuk menangkapnya. Tidak peduli harus mengorbankan berapa banyak orang, yang penting Adharma harus mati."
Reaksi Warga Kota
Di berbagai sudut Kota Sentral Raya, para warga memperhatikan berita itu dengan mata serius.
Bagi mereka yang berpikir kritis, tulisan itu lebih dari sekadar ancaman. Itu adalah cermin dari kenyataan.
Seorang pria paruh baya di sebuah warung kopi menggelengkan kepala. "Dia benar. Hukum di kota ini memang sudah mati sejak lama. Polisi lebih sering membela para pejabat dan orang kaya daripada rakyat biasa."
Seorang wanita muda menimpali, "Lihat berapa banyak koruptor yang masih bebas. Berapa banyak kejahatan yang tidak pernah diusut tuntas. Sekarang ada satu orang yang berani melawan, dan mereka langsung menyebutnya teroris?"
Percakapan seperti ini mulai terdengar di berbagai sudut kota.
Adharma bukan lagi sekadar buronan. Ia mulai menjadi simbol perlawanan.
Di rumah sederhana miliknya, Rini duduk di sofa dengan tangan menutupi mulutnya. Matanya membelalak saat melihat berita di TV.
"Darma…" bisiknya pelan.
Ia masih belum percaya kalau temannya itu benar-benar sudah menjadi sosok yang ditakuti oleh seluruh kota.
Di sampingnya, Bima, anaknya, masih tertidur pulas.
Air mata menggenang di mata Rini. "Apa yang telah kau lakukan…?"
Hatinya bimbang. Ia memahami kemarahan Darma, tapi ia juga takut jika Darma telah berubah menjadi seseorang yang tidak bisa ia kenali lagi.
Dalam hatinya, ia berharap bisa berbicara dengan Darma lagi sebelum semuanya terlambat.
Sementara itu, Darma duduk diam di dalam rumah kumuhnya.
Ia tidak menyalakan TV, tapi ia tahu apa yang terjadi. Kota ini pasti gempar.
Ia hanya duduk di kursi kayu reyot, menatap kosong ke dinding. Darah di bajunya sudah kering, tapi luka-lukanya masih terasa.
Ia meraih sebungkus rokok dari sakunya, menyalakannya, lalu menghisap dalam-dalam.
"Musuh negara, ya?" gumamnya.
Darma tidak peduli. Ia sudah melewati batas yang tidak bisa ia putar kembali.
Ia memikirkan langkah selanjutnya.
Target berikutnya: Polisi korup yang membunuh suami Rini.
Dan setelah itu? Wali Kota Damar Kusuma.
Darma tersenyum tipis di balik asap rokoknya.
Pertunjukan baru saja dimulai.