Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
【Hope to Doubt】
Belle berdiri di depan mimbar, menggenggam pinggirnya dengan erat, sehingga tulang-tungkuk jarinya tampak pucat menempel pada kayu yang mengkilap.
Suara Belle terdengar jelas dan tegas ketika ia menyampaikan kalimat-kalimat terakhir dengan sepenuh keyakinan yang ia punya.
"Sudah terlalu lama, kita diajarkan bahwa tempat kita ditentukan sejak lahir.
Tapi itu tidak benar.
Kekuatan kita ada pada keinginan kita, bukan pada garis darah kita.
Dan jika kita mau berusaha, kita bisa melampaui apa pun yang mereka bayangkan."
Kata terakhir itu menggantung di udara, tajam dan bergema, seakan menantang ruangan untuk merespon.
Sesaat, keheningan menyelimuti ruangan bagai beban, dan jantung Belle berdegup kencang.
Kemudian, seperti batu yang jatuh ke air yang tenang, tepuk tangan pun mulai terdengar—tersebar dan tidak merata.
Di bagian kiri auditorium, tempat duduk para siswa biasa, beberapa tangan bertepuk dengan penuh semangat, meski iramanya agak tidak serempak, namun ketulusannya nyata.
Beberapa bangsawan tingkat menengah ragu sejenak, lalu ikut bertepuk tangan dengan sopan dan terukur, wajah mereka mengungkapkan ketidaknyamanan.
Sementara itu, bangsawan tingkat tinggi sebagian besar tetap diam, ada yang duduk dengan ekspresi tidak setuju, dan ada pula yang bertepuk tangan dengan lambat, seolah hanya ingin melunakkan situasi daripada benar-benar merayakannya.
Di antara semua suara itu, satu irama tepuk tangan menonjol—tepuk tangan yang sengaja, keras, dan lambat, iramanya tajam menarik perhatian.
Seorang anak laki-laki dengan rambut pendek yang tidak rapi dan penampilan agak kasar menyandarkan tubuhnya di kursi, wajahnya menunjukkan campuran antara geli dan sesuatu yang sulit dibaca.
Matanya yang gelap terus terpaku pada Belle, sementara tangannya tetap bertepuk dengan ritme yang mantap, seakan ingin menyampaikan pesan.
Kehadirannya yang kuat membuat orang-orang di sekitarnya melirik, namun tak satu pun yang berani menatapnya.
Belle, yang berdiri di bawah lampu sorot yang menyilaukan, hanya menangkap suara tepuk tangan itu tanpa menyadari nuansa di baliknya.
Hatinya berdebar, jantungnya berdebar kencang karena kegembiraan.
"Mereka bertepuk untukku," pikirnya.
"Mereka mengerti."
Setiap tepuk tangan kecil, setiap bisikan jauh, setiap anggukan, baginya merupakan bukti bahwa kata-katanya diterima.
Ketegangan yang terselubung, kesopanan yang terjaga, bahkan keheningan dari yang lain—semuanya lenyap dalam cahaya kebanggaan yang semakin tumbuh di dirinya.
Saat Belle melangkah mundur dari mimbar, dengan kepala tegak, wajahnya yang berbintik berseri-seri karena kemenangan.
Matanya menelusuri seluruh penonton untuk terakhir kalinya, sementara cahaya lampu menyamarkan kompleksitas ekspresi mereka.
Bagi Belle, tepuk tangan itu adalah bukti bahwa pesan yang ia sampaikan berdampak dan didengar.
Menghadap ke arah tirai, tepuk tangan pun mulai mereda, tergantikan oleh bisik-bisik pelan yang menyebar di ruangan.
Suara-suara itu mengandung rasa penasaran, skeptisisme, dan ketidaksetujuan, namun Belle tidak mendengarnya.
Ia melangkah ke belakang tirai tebal itu, dengan jantung berdebar dan pikiran terus memutar momen paling berani dalam pidatonya.
Jari-jarinya menyentuh sisa-sisa kertas yang telah ia sobek-sobek, yang semula ia siapkan dengan rapi dan disimpan di saku.
Kebanggaan memenuhi dirinya.
"Aku berhasil. Mereka mendengarku."
Dalam benaknya, terdengar suara anak-anak panti asuhan yang bersorak, keyakinan mereka padanya semakin kuat dengan apa yang ia anggap sebagai momen kemenangan.
Namun, saat ia berdiri di belakang panggung, kepercayaan diri Belle tetap tinggi, didorong oleh tepuk tangan pelan yang masih terdengar melewati tirai.
Sosok bayangan—seorang professor yang hendak berbicara dengannya—hampir tak disadari di pinggiran penglihatannya.
Tanpa menyadari bahwa pidatonya telah menimbulkan reaksi yang terpecah-pecah, harapan dalam dirinya tetap menyala terang, menutup dari penilaian-penilaian tak terucap yang berkumpul di antara audiens di luar momen kejayaannya.
Tak lama kemudian, professor tersebut yang berada tidak jauh dari situ muncul dalam pandangan pinggir Belle.
Belle menoleh sedikit, mengira itu adalah tanda penghargaan atau ucapan selamat.
Namun, wajah guru itu tampak datar, sulit dibaca.
Sebelum sempat ia mengumpulkan pikirannya, tangan guru itu menggenggam lengannya dengan tegas, namun tidak kasar.
"Ikuti saya," kata sang guru singkat, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
Belle berkedip, terkejut oleh ketegasan itu.
Anggapan awalnya—bahwa mereka datang untuk memujinya—mulai goyah.
Meski begitu, ia tersenyum tipis dan berbisik, "Oh, tentu saja, Professor."
Professor itu tidak membalas, malah mulai mengantarnya melalui lorong-lorong belakang panggung dengan langkah pasti.
Awalnya, Belle mencoba mengisi keheningan dengan kata-kata yang ragu-ragu.
"Apakah... apakah Bapak menyukai pidato saya? Saya gugup, tapi saya rasa hasilnya baik," ucapnya dengan suara penuh harapan.
Namun, keheningan dari sang guru terasa semakin berat, genggamannya pun sedikit mengencang saat membawa Belle menuju sebuah ruangan yang remang-remang di lorong.
Langkah Belle mulai ragu, kepercayaan dirinya yang tadinya tinggi perlahan digantikan oleh kebingungan.
"Apa ada yang salah?" tanyanya pelan.
Guru itu tetap tidak merespon.
Sesampainya di depan pintu, dada Belle terasa sesak, kebanggaan yang semula ia rasakan berubah menjadi ketidakpastian yang mendera.
Ia menoleh ke belakang, melihat lorong yang lebih terang yang baru saja mereka lewati, namun tangan guru itu mendorongnya untuk terus maju.
Metek masuk ke dalam sebuah ruangan. Di dalam ruangan memperlihatkan suasana penuh dengan percakapan yang keras—suara-suaranya saling bertabrakan, menciptakan ketegangan di udara.
Terkejut, Belle ragu sejenak, intensitas suasana membuatnya terhenti.
"Duduk di sana," perintah professor itu sambil menunjuk ke sebuah kursi kecil di dekat tembok.
Suaranya terdengar tajam, dan Belle pun patuh tanpa mempertanyakan, kepercayaan dirinya kini berubah menjadi keraguan.
Saat ia duduk, matanya yang lebar melirik sekeliling ruangan.
Debat sengit di antara staf akademi dan para professor seakan berputar di sekelilingnya seperti badai.
Kata-kata yang penuh kemarahan dan kepanikan saling bertukar, dan meskipun Belle tak sepenuhnya memahami maksudnya, suasana yang penuh permusuhan itu membuat jantungnya berdegup kencang.
Ia menggenggam pinggiran kursinya, kebanggaan yang tadi dirasakannya kini menjadi kenangan yang jauh, sementara ia menunggu seseorang untuk berbicara kepadanya.
"Ini bencana!" seru seorang guru, sambil menggebrak meja dengan telapak tangan.
"Apakah kau tahu apa akibatnya bagi reputasi akademi ini?"
"Dia telah memalukan kita di depan seluruh aula," desis guru lain.
"Saint's Scholar seharusnya menjadi simbol martabat, kebijaksanaan, dan keunggulan, bukan... entah apa itu!"
Di dekat tengah ruangan, Jacob berdiri dengan wajah merah karena frustrasi. Semua suara menuju ke dirinya.
"Saya tidak memberikan otorisasi untuk versi pidato itu!" tegasnya, dengan nada yang defensif.
"Seharusnya dia membaca versi yang sudah kita setujui. Jika dia keluar dari naskah, itu bukan tanggung jawab saya."
Seorang professor tinggi dengan tatapan tegas menatapnya, tangan disilangkan di dada.
"Bukan tanggung jawabmu? Kamu yang bertugas mengawasinya. Dia masih anak-anak! Bagaimana ini bisa terjadi tanpa bimbinganmu?"
Jacob mengangkat tangannya ke udara dengan keputusasaan.
"Saya telah memberikan instruksi yang jelas! Dia memilih untuk mengabaikannya. Saya tidak bisa mendampingi setiap langkahnya!"
Belle bergeser di kursinya, tenggorokan kering dan dadanya terasa sesak.
Beban kata-kata mereka menekan, namun dengan segenap keberanian ia mengangkat suaranya, meskipun gemetar dan penuh kejujuran.
"Sa... Saya tidak bermaksud membuat masalah," ujarnya, suaranya terputus-putus saat semua mata tertuju padanya.
Suasana ruangan pun menjadi hening, tatapan mereka begitu berat dan tak terampuni.
Jacob menjadi yang pertama berbicara dengan suara tajam,
"Kamu tidak bermaksud membuat masalah? Lalu kenapa kamu mengabaikan pidato yang telah kita kerjakan dan menyampaikan versi aslimu?"
Genggaman Belle semakin erat pada potongan pidato yang telah ia sobek di sakunya, suaranya pun gemetar.
"Sa... Saya pikir... saya pikir itu akan lebih baik. Seseorang bilang saya diizinkan untuk menggunakannya."
Ia terdiam sejenak sebelum menambahkan, "Professor itu... di belakang panggung..."
Beberapa professor saling melirik dengan bingung, sementara yang lain mengejek dengan suara tinggi.
"Professor apa? Maksudmu siapa?"
Pipi Belle memerah.
"Dia bilang Professor Jacob yang menyetujuinya—dia bilang saya harus berbicara dari hati."
Frustrasi Jacob memuncak.
"Itu omong kosong. Tak ada yang memberitahumu hal seperti itu. Apa kau sendiri paham apa yang kau katakan?"
Seorang guru lain menyeringai, suaranya dipenuhi hinaan.
"Dia hanya membuat alasan. Tipikal. Apa yang bisa diketahui seorang gadis dari panti asuhan di pedalaman tentang berbicara di hadapan para bangsawan?"
Kata-kata itu menghantam Belle bagai pukulan.
Nafasnya tersendat, air mata mulai menggenang di matanya, suaranya pun pecah.
"Saya hanya... saya pikir itu yang benar..."
Jacob menghela napas berat, mencubit hidungnya.
"Apakah kau mengerti posisi yang kau duduki, Belle? Kau bukan hanya mewakili dirimu sendiri.
Kau mewakili akademi, para Saint's Scholars, dan semua orang yang pernah percaya padamu.
Kau tidak bisa begitu saja 'mengikuti hatimu' tanpa memikirkan konsekuensinya."
"Sa... Saya mengerti!" Belle tersendat, suaranya naik karena keputusasaan merayap.
"Saya hanya ingin membantu... menunjukkan bahwa orang seperti saya—"
"Cukup," potong Jacob dengan nada dingin.
"Ini bukan tentang dirimu. Kau bukan di sini untuk membuat pernyataan atau membuktikan sesuatu.
Kau di sini untuk menjalankan peranmu. Dan hari ini, kau gagal."
Kata-kata itu bergema dalam benak Belle, setiap suku kata terasa seperti cambukan.
Air matanya mulai mengalir, dan ia menunduk, tubuh kecilnya gemetar.
"Cukup sudah," kata seorang guru lain dengan nada kesal.
"Kita telah membuang terlalu banyak waktu dengan kekacauan ini. Jacob, tanggung jawabmu adalah mengawasi muridmu dan pastikan hal seperti ini tidak terulang lagi."
Pembicaraan itu berlanjut, para guru kembali berdebat tentang cara mengatasi kerusakan dan siapa yang harus disalahkan.
Belle duduk membeku, air matanya jatuh tanpa suara, seakan kata-kata mereka hanyut di sekelilingnya.
Mereka tidak lagi membicarakannya, seolah-olah dia hanyalah masalah yang harus diselesaikan.
Jacob menoleh ke arahnya untuk terakhir kalinya, suaranya terdengar letih.
"Kembalilah ke kelasmu, Belle. Dan lain kali... pikirkan sebelum bertindak."
Belle pun berdiri dengan goyah, lututnya terasa lemah saat ia tersandung menuju pintu.
Tak seorang pun menghentikannya.
Tak ada yang memberinya penghiburan atau kata-kata penyemangat.
Begitu ia melangkah ke luar, di lorong yang sunyi, emosinya pun meledak.
Ia bersandar ke dinding, menangis terisak-isak sambil menutupi wajahnya dengan tangannya.
Bahu bergetar, sementara beban dari semua yang terjadi—salah, hinaan, dan penolakan keras terhadap usahanya—membuatnya merasa hancur.