Milan selalu punya ide gila untuk selalu menggagalkan pernikahan Arutala. semua itu karena obsesinya terhadap Arutala. bahkan Milan selalu menguntit Arutala. Milan bahkan rela bekerja sebagai personal asisten Arutala demi bisa mengawasi pria itu. Arutala tidak terlalu memperdulikan penguntitnya, sampai video panasnya dengan asisten pribadinya tersebar di pernikahannya, dan membuat pernikahannya batal, Arutala jadi penasaran dengan penguntitnya itu, ia jadi ingin lebih bermain-main dengannya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tyarss_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Understand
Milan merasa tidak enak hati karena Arutala merawatnya. Seperti saat ini, Arutala menyuapinya sup hangat. Penuh kehati-hatian. Milan menerima setiap suapan dengan perasaan takut. Takut jika Arutala mengetahui jika dirinya berbohong, akan semarah apa pria itu.
"Ini suapan terakhir. Setelah ini kau harus meminum obatmu."
Milan menerima suapan terakhir itu. Dia tidak banyak membantah.
Melihat Milan begitu menurut padanya malam ini, membuat Arutala tersenyum puas. Meletakkan mangkok yang di pegangnya pada nakas samping ranjang Milan, Arutala kemudian mengecek suhu tubuh Milan menggunakan telapak tangannya. Menempelkannya, pada kening wanita itu. Tidak hangat. Sudah Arutala tebak.
"Ini minum obatmu." Arutala menyodorkan segelas air dan obat yang telah di belinya.
Milan menerima itu, mengikuti instruksi Arutala. Meski sebenarnya Milan tidak benar-benar sakit, tapi Milan harus menelan pil pahit itu. Tidak mungkin bukan jika Milan langsung berkata dia sembuh.
Setelah melihat Milan mengikuti perkataanya, Arutala berniat mengembalikan alat makan yang sudah selesai di gunakan. Tangan Milan mengenggam lengannya. Menghentikan dirinya.
"Kau mau kemana?" tanya Milan dengan wajah cemas.
Arutala mengusap kepala Milan, meyakinkan wanita itu. "Aku tidak akan pergi. Aku hanya ingin menaruh ini di dapur." Tunjuknya pada alat makan yang berada di nakas.
Lega karena Arutala tidak akan pergi meninggalkannya, Milan melepaskan tangannya dari lengan Arutala.
Setelah itu Arutala beranjak menuju dapur. Melihat bagaimana rapinya sandiwara yang di lakukan Milan. Arutala tau jika apartemen ini bukanlah tempat tinggal Milan yang sebenarnya. Namun Milan dapat dengan cepat merubahnya. Seakan-akan wanita itu memang tinggal di sini.
Ponselnya Arutala berbunyi, lekas pria itu menerima panggilan itu.
"Aru, kau sudah sampai?" tanya Davina.
"Iya. Maaf karena meninggalkanmu Davina. Lain kali kita atur ulang pertemuan kita." Balasnya. Merasa tidak enak karena sudah meninggalkan wanita itu.
Jujur saja Arutala sangat panik saat Milan tiba-tiba menelponnya dan mengatakan bahwa wanita itu sedang sakit. Jadi, Arutala langsung bergegas menemui Milan.
"Okay. Good night Aru. Aku akan sangat merindukanmu."
Arutala tidak membalas kalimat manis itu dan langsung menutup sambungan telponnya.
Tatapan Arutala menggelap. Jarinya mengetuk meja pantry. Berpikir cukup keras. Dia tidak bisa jika terus-terusan begini. Dia harus membuat Milan mengakui siapa dirinya sebenarnya. Apa mungkin Arutala harus menangkap basah Milan saja.
Ponsel Arutala kembali berdering, kali ini bukan dari Davina. Melainkan dari Banura.
"Ada apa? Tumben sekali kau menghubungiku." Tanya Arutala to the point. Ada dua kemungkinan ketika Banura menelponnya, kemungkinan pertama untuk menyampaikan soal pekerjaan, dan kemungkinan kedua Banura akan memberitahukan kabar buruk.
"Ini mengenai orang-orang yang menyerang kita malam itu Kak. Rupanya bukan Kak Aru yang menjadi tujuan mereka." Penjelasn itu membuat Arutala semakin penasaran.
"Lalu siapa target mereka?"
"Milantika Pramoedya." Sebuah nama yang terucap dari Banura membuat tubuh Arutala menegang.
Milan dalam bahaya. Tanpa wanita itu sadari.
"Cari tau apa motif mereka. Kita akan membahasnya besok pagi. Di rumah papa."
"Baik kak." Panggilan terputus. Jika seperti ini, akan tidak aman untuk Milan berkeliaran sendirian.
Sementara waktu Arutala akan menyuruh beberapa pengawal untuk menjaga Milan secara diam-diam. Tidak mungkin jika dia tiba-tiba berkata pada Malik jika anaknya sedang dalam bahaya.
Jika sampai Milan terluka, Arutala bersumpah akan mengejar orang itu dan menghabisinya dengan tangannya sendiri. Amarah Arutala memuncak. Rahangnya mengetat kuat membayangkan jika sampai Milan benar-benar terluka.
Arutala menyusul Milan ke kamar setelah berhasil mengontrol emosinya.
"Kenapa lama sekali? Apa yang kau lakukan di dapur?" tanya Milan ketika melihat Arutala yang baru saja memasuki kamarnya.
"Ada beberapa panggilan yang harus ku jawab. Apa kau begitu sangat merindukanku? Aku hanya menghilang beberapa menit saja." kata Arutala melontarkan candaan.
Milan berdecak. "Bukan seperti itu-" Milan diam melihat Arutala yang ikut naik ke ranjang dan masuk ke dalam selimut yang sama dengannya. "Apa yang kau lakukan?"
"Apa lagi? Tentu saja tidur bersama mu? Bukankah kau yang menyuruh ku datang kemari untuk merawatmu?"
"Yaa.. itu.." Milan kehabisan alasan.
"Kau tidak mungkin menyuruhku tidur di lantai bukan? Milan... aku ini bos mu." Ingatnya pada Milan.
Menelan salivanya, Milan merasa kalah telak. Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkannya.
"Sudah tidak usah banyak berpikir. Sekarang tidur." Arutala menarik tubuh Milan agar berada dalam dekapannya. Menyelimuti tubuh Milan sampai leher. Membuat tubuh Milan benar-benar hangat.
Arutala yang masih memakai kemaja membuat Milan dapat dengan jelas menghirup aroma parfum pria itu. Aroma yang selalu mampu menyihir Milan dengan ketenangan. Buktinya, Milan sangat menikmati berada dalam dekapan Arutala.
"Aru, can I ask you something?"
Dengan mata terpejam karena lelah, Arutala menjawab, "Go ahead and ask away."
Ragu-ragu Milan mengutarakn beberapa pertanyaan yang begitu menganggu pikirannya.
"Apa yang membuatmu memperlakukan ku seperti ini? Aku adalah orang baru dalam hidupmu. Dan juga, aku hanyalah seorang asisten pribadimu. Apa yang kita lakukan sekarang ini salah di mata norma kesopanan."
Arutala tidak langsung menjawab. Dia membuka matanya dan menurunkan pandangannya untuk melihat wajah Milan. Yang menatapnya penuh penasaran.
"Aku tidak memiliki niat buruk terhadapmu Milan. Memang benar aku baru mengenalmu. Dan melihat dirimu yang terlihat rapuh, makanya aku ingin selalu menjagamu. Dan memberikan kenyamanan untukmu."
Tidak terima di katakana rapuh, Milan mencubit perut Arutala. "Enak saja kau bilang aku rapuh. Aku itu sangat kuat. Justru aku yang akan melindungimu. Tidak akan ku biarkan orang dengan mudah melenyapkanmu dari dunia ini. Karena aku tau, ganapatih pasti memiliki banyak musuh. Dan keselamatanmu bisa kapan saja teracam." Ujar Milan berapi-api.
Arutala menyunggingkan senyum. Andai Milan tau jika justru nyawa wanita itulah yang saat ini sedang terancam.
"Aku bisa menjaga diriku sendiri Milan. Apa itu sebabnya kau pandai dalam menggunakan senjata api?"
"Hmm. Dulu saat kuliah aku selalu berlatih menembak bersama sahabatku. Tidak ku sangka kemampuan ku itu memang sangat berguna."
"Baguslah. Aku suka dengan wanita yang tidak merepotkan ku."
Milan mendelik mendengar kata suka dari mulut Arutala. "Kau tidak berniat menjadikan ku selirmu bukan?"
"Memangnya kau mau?" Kata Arutala balik bertanya.
"Tentu saja tidak! Itu tidak akan pernah terjadi. Aku tidak ingin terlibat dalam sebuah hubungan apapun"
Dahi Arutala berkerut. "Kenapa? Apa kau tidak ingin menikah?"
"Tidak. Bukankah percakapan kita kemarin malam sudah cukup menjadi alasan kenapa aku tidak ingin menikah? Aku tidak ingin merasa kehilangan seseorang. Berada dalam zona nyaman menurutku adalah pilihan teraman untukku. Masalahnya ada dalam diriku. Bukan tentang rasa trauma akibat pengkhiantan yang di lakukan seorang pria terhadapku."
Dalam diam, Milan dan Arutala saling menatap.