Sayangi aku.. Dua kata yang tidak bisa Aurora ucapkan selama ini.. Ia hanya memilih diam saat mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang- orang di sekitarnya bahkan keluarganya. Jika dulu dia selalu berfikir bahwa kedua orang tuanya itu sangat menyayangi dirinya karena mereka yang tidak pernah memarahi bahkan menuntut dirinya untuk melakukan apapun dan sangat berbanding terbalik dengan perlakuan ke dua orang tuanya pada kakak dan adiknya.. Tapi semakin dewasa Aurora menyadari bahwa selama ini ia salah.. Justru keluarganya itu sedang mengabaikan dirinya.. Keluarganya tidak peduli dengan apapun yang ia lakukan ...
INGAT !!! Ini hanya cerita fiksi dimana yang mungkin menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin menjadi mungkin..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22
Happy Reading..
.
.
.
Makan malam di rumah Dika malam ini di isi dengan kecanggungan. Karena paksaan dari Citra akhirnya Lyra pun mengiyakan ajakan makan malam di sana.
"Tante lupa kalau teman Dika pasti teman kamu juga." Ucap Citra sambil menggenggam tangan Rora. Sedangkan Rora hanya bisa tersenyum. "Pokoknya meskipun nanti Dika dan Rora sudah menikah dan mereka tidak tinggal disini. Kamu harus tetap main kesini ya. Kapan pun itu." Ucap Citra lagi.
"Tentu saja tante. lyra akan tetap mengunjungi tante setiap kali Lyra merasa kangen sama tante." Saut Lyra sambil tersenyum ke arah Citra.
"Apa kamu tahu sayang?" Tanya Citra sambil menatap Rora. "Lyra ini semakin cengeng. Dia mudah sekali menangis apalagi saat kangen dengan mamanya. Ia pasti langsung ke sini meminta mama untuk memeluknya." Citra memberikan penjelasan kepada calon menantunya.
Rora tak menyahut. Ia lebih memilih untuk diam.
"Ma.. Kapan kita makannya? Dika sudah lapar." Ucap Dika memecah kecanggungan antara Rora dan Lyra.
.
.
.
"Bagaimana dengan persiapan pernikahan kamu?" Tanya Laura sambil menatap sinis ke arah Rora.
Rora tersenyum. " Sudah hampir 80% ma." Ucapnya. Ia merasa senang meskipun Laura bertanya dengan nada acuh tak acuhnya. Ia merasa paling tidak mamanya itu masih peduli dengan dirinya meskipun hanya sedikit.
"Baguslah."
Rora tersenyum.
"Paling tidak saya bisa merasa lebih tenang karena kamu tidak akan merepotkan keluargaku." Lanjut Laura yang membuat senyum di wajah Rora luntur. "Ngomong- ngomong saya kesini ada yang ingin saya beritahukan kepada kamu." Laura menjeda ucapannya. "Suami saya tidak bisa menjadi wali kamu di pernikahanmu nanti."
Rora terdiam. Sebenci itukah papa dan mamanya kepada dirinya. Bahkan menjadi wali dalam pernikahannya pun tidak bisa.
"Apa kamu tidak mau bertanya apa alasannya?" Tanya Laura saat melihat Rora yang terdiam. "Karena kamu bukan anak kandung kami."Ucap Laura tajam.
Rora masih memproses ucapan mamanya. "Apa maksud mama/" Tanyanya lirih.
"Kamu bukanlah anak kandung kami. Jadi suamiku tidak bisa menjadi wali kamu."
Jadi ini alasan kenapa papa dan mamanya tidak peduli dengan dirinya. Inikah alasan dirinya selalu di abaikan. Jika dirinya bukan anak dari papa dan papanya. Lalu anak siapakah dirinya?
"Jadi ini alasan mama dan papa tidak pernah menyayangi aku? Jadi ini alasan kalian
mengabaikan ku?" Tanya Rora. "Kalau aku bukan anak kalian, lalu aku anak siapa?" Tanya Rora lagi sambil berkaca- kaca.
"Kamu anak hasil dari..."
"Cukup mbak." Potong Elina. "Cukup." Ulang Elina emosi sambil berjalan mendekati Rora.
"Kenapa kamu marah? Aku hanya menjawab pertanyaannya." Ucap Laura menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa sambil menyilangkan kedua tangannya. "Lagi pula seharusnya kalian berterima kasih kepadaku karena aku sudah memberitahu yang sebenarnya. Bukankah dengan memberitahunya aku akan membuat penikahannya sah. Bayangkan kalau ia tetap menikah dengan suamiku yang menjadi walinya. Pernikahannya akan menjadi tidak sah dan ia akan di anggap berzinah seumur hidupnya."
"Tapi tidak dengan cara seperti ini. Mbak bisa memberitahunya dengan perlahan." Ucap Elina masih dengan emosinya. "Biarkan aku saja yang memberitahu Rora. Biar aku yang menceritakan semuanya. Lebih baik sekarang mbak pergi dari sini." Ucap Elina dengan nada tidak sukanya.
Laura meraih tasnya lalu menyampirkan di bahunya. Ia berdiri lalu merapikan pakaiannya. "Aku akan pergi. Lagi pula aku kesini hanya untuk memberitahukan itu. Permisi." Ucap Laura lalu berjalan pergi.
Elina mendudukkan dirinya di samping Rora. Ia meraih tangan Rora lalu menggenggamnya erat. "Sayang." Panggil Elina.
"Jadi tante tahu." Ucap Rora lirih. "Tante tahu bahwa aku bukan anak kandung papa dan mama?" Tanya Rora.
"Tante tahu." Jawab Elina penuh rasa bersalah.
"Lalu kenapa tante diam saja? Kenapa tante tidak memberitahuku?" Tanya Rora lagi.
"Maaf. Tante benar- benar tidak bermaksud untuk menyembunyikannya dari kamu.. Tante..."
"Beritahu Rora tante." Potong Rora.
"Sebenarnya mama kandung kamu adalah sahabat tante. Sedangkan papa kandung kamu adalah adik kandung dari mama kamu. Tante, om dan kedua orang tua kandung kamu bersahabat." Ucap Elina sambil mengenang masa lalunya.
"Om Mario. Tante Lilyana."
"Hm." Ucap Elina sambil menganggukkan kepalanya. "Selama satu tahun awal pernikahan mama dan papa kamu mereka terlihat sangat bahagia sampai malam dimana kejadian itu terjadi." Elina menjeda ucapannya. Ia menarik nafas lalu menghembuskannya sedikit berat. "Malam itu rumah kalian di masuki beberapa orang yang tidak di kenal. Mereka tidak hanya merampok rumah kamu, tapi mereka juga memperkosa mama kamu sayang." Rora meremat tangan Elina tanpa ia sadari. "Setelah kejadian malam itu mama kamu benar- benar terpuruk."
"Apa papa meninggalkan mama?" Tanya Rora lirih.
Elina menggelengkan kepalanya." Tidak sayang. Papa kamu tidak meninggalkan mama kamu. Papa kamu selalu berada di sisi mama kamu. Mario tidak pernah meninggal Lilyana." Elina mengusap punggung tangan Rora. "Empat bulan setelah kejadian itu mama kamu dinyatakan hamil sehingga membuatnya kembali terpuruk sampai ia berulang kali melakukan percobaan bunuh diri. Dan papa kamu selalu berhasil untuk menggagalkannya. Papa kamu sangat yakin dan mengatakan kepada mama kamu bahwa bayi yang di dalam kandungannya adalah miliknya."
FLASH BACK ON
"Apa yang kamu lakukan disini?" Tanya Lilyana sambil menatap sendu sahabatnya.
"Apa dengan begini kamu akan bahagia? pikirkan juga nasip calon anak kamu yang sama sekali belum melihat dunia tapi kamu ingin membawanya pergi." Ucap Elina.
"Untuk apa aku tetap berada disini. Lebih baik aku pergi membawa anak ini. Aku tidak tahu ini anak siapa? Aku lelah, benar- benar lelah." Ucap Lilyana sambil menangis. Ia mengingat kembali bagaimana keluarga Mario yang selalu mencibirnya. Mereka mengatakan bahwa bagaimana dirinya yang tidak tahu malu karena tetap mempertahankan anak haram yang sekarang ada di dalam kandungannya.
"Elina aku tidak mau anak ini." Ucap Lilyana pada Elina sambil menangis.
"Kenapa? Dia darah daging kamu."
Lilyana memeluk kedua kakinya. "Tidak ada seorang pun yang mau menerima kami disini."
"Siapa bilang. Masih ada Mario. Ada aku.. Ada Devano juga." Bantah Elina. "Kamu masih punya kami."
"Apa yang di ucapkan Elina benar sayang. Kamu masih punya aku.. Kamu masih punya sahabat- sahabat yang selalu ada untuk kamu.. Kamu masih punya kami." Saut Mario. "Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu. Aku akan menjaga kamu dan calon anak kita."
"Tapi.."
"Dia anakku.. Darah dagingku.. Aku yakin itu." Ucap Mario sambil mengusap kedua pipi sang istri.
FLASH BACK OFF
"Setelah kamu lahir mama kamu mengalami pendarahan dan meninggal satu minggu setelah kelahiran kamu. Setelah kepergian mama kamu, papa kamu jadi sering sakit- sakitan..."
"Cukup tante." Potong Rora lalu berdiri dari duduknya dan melangkahkan kakinya dengan sedikit cepat sambil meraba- raba.
"Sayang." Panggil Elina ingin mencegah Rora.
"Rora ingin sendiri tante."
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...