“DASAR WANITA PEMBAWA SIAL KAU, DHIEN! Karena mu, putraku meninggal! Malang betul hidupnya menikahi wanita penyakitan macam Mamak kau tu, yang hanya bisa menyusahkan saja!”
Sejatinya seorang nenek pasti menyayangi cucunya, tetapi tidak dengan neneknya Dhien, dia begitu membenci darah daging anaknya sendiri.
Bahkan hendak menjodohkan wanita malang itu dengan Pria pemabuk, Penjudi, dan Pemburu selangkangan.
"Bila suatu hari nanti sukses telah tergenggam, orang pertama yang akan ku tendang adalah kalian! Sampai Tersungkur, Terjungkal dan bahkan Terguling-guling pun tak kan pernah ku merasa kasihan!" Janji Dhien pada mereka si pemberi luka.
Mampukah seseorang yang hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama itu meraih sukses nya?
Berhasilkah dia membalas rasa sakit hatinya?
Sequel dari ~ AKU YANG KALIAN CAMPAKKAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
B ~ Bab 18
Tak cukup bermodalkan mulut tajam, dan tenaga bak tukang pukul, kau juga harus memiliki sedikit harta. ~ Nur Amala.
......................
Kejadiannya begitu cepat, sekilat tangan Wahyuni menyentak cengkraman tangan Nek Blet pada lengan Emak Inong, lalu menarik Ayie sampai berhadapan dengan ibunya sendiri.
PLAK.
Tamparan keras itu bukan mengenai sang menantu, tetapi putri kandungnya sendiri.
Dhien yang kalap, sampai tidak mampu berpikir, lantas mengayunkan tangannya.
PLAK.
AKH ....
Nyaris bersamaan, dua wanita berteriak kesakitan.
Pipi Ayie memerah akibat tamparan Nek Blet. Sudut bibir Winda berdarah, tenaga Dhien bukan main kuatnya menampar bagian samping pipi dan mulut sepupunya.
“Maaf, Nak. Mamak tak sengaja!” Netra Nek Blet berkaca-kaca, seumur hidup baru kali ini dia menyakiti Ayie, walaupun tidak sengaja.
“Mamak, Nenek!” Winda mengadu seraya menyeka setitik darah di sudut bibirnya, lalu memeluk sang ibu yang sedang didekap oleh Nek Blet.
Wahyuni merangkul Emak Inong, mereka mundur beberapa langkah.
“Berani kau menyakiti cucuku?!” Jari telunjuk berkulit keriput itu bergetar menuding wajah Dhien yang berdiri satu langkah dihadapannya.
“Mengapa tak berani? Membunuhnya pun aku bernyali! Nenek sendiri menangis karena tak sengaja mengasari Bik Ayie. Lantas, mengapa aku harus menjaga diri bila ada yang ingin menyakiti Emak ku!” Dhien menatap penuh benci.
“Seandainya saja tadi Nenek berhasil menampar Emak ku, mungkin saat ini rumah sakit lah tempat mu dirawat. Bisa jadi juga, tertidur dalam timbunan tanah!” Nada suara Dhien bergetar dikarenakan amarah yang memenuhi dada.
“DHIEN! Keterlaluan kau!” Zulham maju, siap membela sang nenek, sekaligus hendak menyakiti adiknya.
“CUKUP! Jangan sampai ku panggilkan Polisi kesini!” Hasan berseru lantang, menghentikan niat jahat Zulham.
Nek Blet dan lainnya tentu takut, belum pernah mereka berurusan dengan pihak berwajib dikarenakan tindakan kriminal, dulu cuma sekali sewaktu meninggalnya Syamsul, itupun perihal urusan kelancaran pencairan uang kematian.
“Pulang sana! Rumah ni sudah berganti pemilik! Bila tetap ingin direcoki, berarti urat malu kalian sudah putus!” tanpa sungkan Dhien mengusir keluarga durjana.
“Ku sumpahi hidup kau penuh kesialan, Dhien! Persis julukan mu selama ni, Wanita Pembawa Sial!” Ayie menyumpah serapah, dirinya masih tidak terima terkena tamparan menyasar.
CUIH.
Dhien meludah tepat di samping kaki bibinya. “Sebelum menyumpahi ku, harap berkaca terlebih dahulu! Manusia tak beriman seperti mu, apa pantas mengatai bahkan mendoakan diri ku? Sholat pun setahun sekali, tu juga dikarenakan mau pamer mukenah baru! Bibik … Bibik, kau dan laki mu yang modal Totong (Burung) tu, betulan Benalu!”
UHUK.
Hasan terbatuk-batuk mendengar kalimat sarkas sahabat istrinya ini, yang kalau berucap sering membuatnya menahan napas, tidak jarang juga malu sendiri.
Wahyuni mengulum senyum, sedangkan Emak Inong menunduk menyembunyikan wajahnya.
‘Kau lihat Bang! putri kita setangguh nama pemberian mu.’
Berduyun-duyun Nek Blet dan para antek-anteknya masuk ke dalam mobil minibus, mereka datang dengan wajah sangar, lalu pulang membawa rasa kecewa serta geram.
Selepas kepergian para perusuh, Dhien memeluk ibunya, mengecup sayang kening wanita yang rambutnya sudah banyak uban.
“Semuanya telah usai, Dhien! Kau hebat, berhak bahagia dan berdiri di atas kakimu sendiri! Masih sulit percaya, bila sahabat ku tak lagi memilih diam serta menahan diri.” Wahyuni menyeka air matanya, dirinya terharu sekaligus berempati terhadap nasib buruk sahabat dari masa dalam kandungan ibu mereka.
Dhien melerai pelukan ibunya, lalu berganti mendekap sahabatnya. “Mengapa tak memberi kabar kalau pulang kampung, Yun?”
"Kau sendiri juga sama saja! Bukannya mengabari ku lewat surat atau telepon umum, malah mengambil tindakan penuh resiko!” Wahyuni mengeratkan pelukan mereka.
“Jantungku hampir copot, sewaktu Bang Agam menceritakan tentangmu, Dhien! Diri ini merasa bersalah dan tak berguna. Seandainya saja kita tinggal berdekatan, pasti aku ikut serta membantai si Fikar!” Wahyuni berkata lirih sembari mengusap punggung Dhien.
Dhien menyudahi acara pelukan mereka, jemarinya menghapus air mata di pipi Wahyuni.
“Mana bisa macam tu, kau harus menjadi sarjana tepat waktu! Lagipula ada keponakan ku yang perlu kau utamakan lebih dulu. Sungguh tak mengapa, jangan merasa bersalah, Yun! Sudah ada Mala, serta biang rusuh Meutia yang membantu ku!”
“Siron sekarang sama siapa, Yun?” tanyanya setelah selesai menghapus air matanya sendiri.
“Tadi digendong neneknya, mungkin sekarang dijadikan mainan oleh Makwa (Tante) Meutia nya!” Wahyuni tertawa kecil, adiknya itu memang paling suka menjadikan sang anak layaknya boneka.
Dhien dan lainnya ikutan tertawa dengan air mata masih berderai.
“Kertas ni mau diapakan, Dhien?” Hasan kembali mengeluarkan kwitansi yang tadi dimasukkan kantong lagi.
“Bakar saja!” seru Wahyuni dan Dhien bersamaan.
“Nanti malam selepas Isya kau dan Emak harus datang ke acara makan-makan di balai ya? Awas bila tak hadir!” Wahyuni pura-pura mengancam.
Sudah menjadi kebiasaan keluarga Siddiq, bila anggota mereka berkumpul lengkap, maka akan mengadakan makan bersama tetangga di bangunan samping rumah yang dulu dijadikan tempat mengaji anak-anak sebelum memiliki masjid besar.
“Baiklah. Kami pasti datang!”
“Harus tu! Oh ya … hampir saja lupa.” Wahyuni mengambil plastik berlogo toko baju yang tadi diletakkannya di bawah pohon bunga asoka.
“Ini oleh-oleh dari kota Provinsi!”
Emak Inong yang menerima pemberian dari Wahyuni. “Terima kasih ya, Nak! Setiap kali kau pulang, pasti ada saja yang dibawa untuk kami!”
“Hanya bingkisan kecil, Emak! Lagipula wajar kan, bila seorang anak memberikan sesuatu untuk ibu dan saudaranya?”
“Sangat wajar,” Hasan yang menjawab, lalu mereka berpamitan.
Wahyuni adalah sahabat Dhien, saat ini dia sedang melanjutkan pendidikan yang tinggal sebentar lagi akan lulus . Dia dan sang suami untuk sementara waktu tinggal di Ibu Kota. Wahyuni menikah muda, dan memiliki seorang putri berumur hampir satu tahun, Siron namanya.
.
.
Malam hari di balai panggung rumah bang Agam, sudah tergelar tikar daun pandan, gelas, piring serta sendok tersusun rapi, lampu petromak menerangi ruangan papan berdinding seperempat, dan beratap daun rumbia.
"Assalamualaikum.”
"Walaikumsalam.”
“Tumben kau ikut datang, Nirma? Tak takut kah bila kulit selembut daun jambu bol penuh bintik-bintik tu digigit Nyamuk?”
Nirma mendengus, ia juga pulang kampung selama liburan semester. “Aku sudah bawa Autan.”
“Tumben pintar kau, biasanya cuma bisa mengeluh tanpa mau mencari solusi, merepotkan Kak Mala, saja!”
Nirma menatap sosok yang berdiri diteras rumah sambil bersedekap tangan. “Kau ni kenapa sih, Meutia? Bila cakap dengan ku pasti bilang, tumben-tumben terus?!”
“Ya karena kau memang ada kurang-kurangnya, jadi aku heran bila kau menjadi sedikit pintar, ingat ya cuma sedikit! Tak sedang apalagi banyak!”
“Astagfirullah. Nyak! Tengok lah anak gadismu ni! Bukannya membantu malah sibuk berkicau nya!” Wahyuni yang sedang mengangkat ceret berisi teh hangat itu menggeleng kepala melihat kelakuan adiknya.
“Bukan salah Tia, Nyak! Abang tu yang jahat! Enggan membawa Samson berobat! Tia kan jadi sedih, tak tega melihat anaknya sekarat!” Meutia meraung layaknya anak yang habis dipukul kayu oleh ibunya.
"Dhien bila kau ingin cepat maju agar bisa membalas mereka si pemberi luka, tak cukup bermodalkan mulut dan tenaga saja! Harus memiliki kendaraan ataupun pegangan sedikit harta, agar memuluskan jalannya!” Mala yang duduk di pojokan memberikan saran.
“Betul. Memang tu yang sedang ku rencanakan, Mala! Doakan ya, agar aku berhasil Merampok!”
.
.
“Kak, boleh kami bertanya? Tau tak, dimana tempat tinggalnya Bapak Abdul Siddiq?”
“Siapa kau?”
“ Perkenalkan, nama saya Ikram Rasyid.”
.
.
Bersambung.
Cie ... Cie ... yang kemarin nungguin babang Ikram mana nie suaranya? Mana ada yang mau nikung juga😁😁😁😁
Doakan ya Kak, supaya Dhien sukses merampoknya ... 🤲✌️😁😁😁
Hanya akan jadi samsak si Dhien aaja kau ni.
ra nduwe wedi trio cebol iki 🤣🤣
jan nyebut tenanan 🤣
maka udah selayaknya saling meraba perasaan masing2 ,menegaskan tanpa merasa risih hingga harus jd kakak beradik percayalah ga akan bisa jg karena hati yg sudah bertaut
sedalam itu rasamu buat Dhien
nah bangkit Dhien tunjukkan kamu setegar karang yang ga bisa dihempas siapapun