Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan dibalik bayangan
Aku tidak bisa tidur.
Ponselku masih kugenggam erat, layar gelapnya memantulkan bayanganku yang terlihat pucat. Pesan terakhir dari nomor tak dikenal itu masih menggantung di pikiranku.
"Kenapa kamu selalu mencoba lari, Alysa?"
Aku menutup mata, berusaha mengabaikannya. Tapi bayangan sosok yang berdiri di bawah lampu jalan tadi malam terus menghantui. Aku yakin dia benar-benar ada, meski saat aku mengintip lagi, dia sudah menghilang.
Aku menarik napas panjang, menatap jendela yang sudah kututup rapat. Rasa takut menjalar perlahan.
Seseorang sedang mengawasiku. Dan dia semakin dekat.
...
Sekolah yang tak lagi sama
Keesokan harinya, aku berangkat lebih awal. Bukan karena semangat, tapi karena ingin menghindari terlalu banyak tatapan.
Tapi ternyata, tidak peduli seberapa cepat aku datang, mereka selalu ada di sana.
Bisikan-bisikan itu mulai terdengar saat aku melangkah masuk ke kelas.
"Eh, itu dia..."
"Kenapa tuh Alysa? Mukanya pucet banget."
"Tapi tetap aja sok suci. Sok lemah biar dikasihani."
Aku menunduk, berusaha mengabaikan mereka. Aku tahu siapa yang memulai ini.
Wilona.
Di sampingnya, Suci duduk dengan ekspresi datar, tapi aku tahu dia mendengar semuanya. Dulu, dia bukan seperti ini. Dulu, dia membelaku. Tapi sekarang, dia berubah—seakan pikirannya sudah diracuni, perlahan ditarik semakin jauh dariku.
Aku duduk di kursi dan mencoba fokus, tapi aku tahu hari ini tidak akan berjalan dengan baik.
Dan aku benar.
...
Terkunci di Kamar Mandi
Saat istirahat, aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, berharap dinginnya air bisa menenangkan pikiranku. Aku menatap bayanganku di cermin—mata yang terlihat lelah, wajah yang semakin pucat.
Saat aku hendak keluar, suara cekikikan terdengar di luar pintu.
Aku merasakan firasat buruk sebelum tanganku sempat meraih gagang pintu.
BRAK!
Suara keras membuatku tersentak. Pintu kamar mandi terdorong keras dari luar, lalu—klik.
Kunci diputar.
Aku langsung meraih gagang pintu dan menariknya. Tidak bisa.
Terkunci.
Aku membentur pintu, mencoba membuka paksa. "Woy siapa yang ngunciin!"
Tidak ada jawaban. Hanya tawa yang semakin menjauh.
Jantungku berdebar kencang. Aku menekan dadaku, mencoba berpikir. Tidak, aku tidak boleh panik. Aku harus tetap tenang.
Aku menunggu beberapa menit, berharap seseorang akan datang. Tapi tidak ada.
Aku mulai mengetuk pintu keras-keras. "Tolong! Ada orang di dalam!"
Tidak ada yang menjawab.
Aku terus berteriak, memukul pintu berkali-kali, tapi suara siswa di luar semakin berkurang. Waktu terasa berjalan lambat, dan rasa takut mulai merayap.
Aku tidak membawa ponsel. Tidak ada cara untuk menghubungi siapa pun.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini. Lututku mulai lemas.
Jam pelajaran berakhir.
Bel pulang berbunyi.
Aku bisa mendengar suara langkah kaki siswa berhamburan di lorong, obrolan mereka yang semakin lama semakin jauh.
Hari sudah semakin larut, kamar mandi semakin gelap. Kebetulan lampu kamar mandi sedang rusak.
Aku kembali menumbuk pintu, kali ini lebih lemah. "Tolong..." suaraku serak.
Tapi tidak ada yang mendengar.
Hingga suara langkah lain terdengar mendekat.
Seseorang berhenti di depan pintu.
Aku menahan napas.
"Loh, ada orang di dalam?" Suara Katy.
Aku hampir menangis lega. "Katy! Aku di sini! Pintu ini dikunci!"
Katy mencoba membuka pintunya. "Kuncinya nggak ada," katanya, suaranya terdengar cemas. "Tunggu sebentar, aku panggil penjaga sekolah!"
Aku mengangguk, meskipun dia tidak bisa melihatku. Aku mendengar suara langkah kakinya menjauh.
Beberapa menit kemudian, suara lain datang. Suara berat milik penjaga sekolah.
"Anak-anak zaman sekarang makin keterlaluan saja," gumamnya sambil mencongkel kunci pintu dengan obeng. Aku mundur selangkah, mendengar bunyi besi yang bergesekan.
Lalu—klik.
Pintu terbuka.
Udara segar langsung menyentuh wajahku, dan aku hampir terjatuh saat melangkah keluar. Katy menangkap lenganku, matanya penuh kekhawatiran.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
Aku mengangguk, meskipun tubuhku masih gemetar. "Makasih, Katy..."
Penjaga sekolah menghela napas. "Siapa yang ngelakuin ini?"
Aku terdiam. Aku juga tidak tahu jawabannya, apakah yang mengunci ku dikamar mandi itu Wilona?
"Saya juga tidak tau," kataku akhirnya.
Katy menatapku ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia tidak memaksaku bicara.
Aku berjalan meninggalkan kamar mandi dengan langkah berat. Rasanya aku ingin pulang, tapi aku tahu itu bukan pilihan.
Aku masih harus menghadapi mereka.
Dan lebih dari itu—aku masih harus menghadapi dia.
...
Pesan Baru
Malamnya, aku berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar. Kepalaku terasa berat.
Aku ingin tidur. Aku ingin melupakan semua ini.
Tapi ponselku bergetar.
[Nomor Tidak Dikenal]
"Gimana sekolah nya hari ini hm?"
Aku duduk tegak, napasku tercekat.
Tangan gemetar, aku mengetik balasan.
Anda
"Siapa kamu?"
Pesan itu hanya centang dua. Tidak ada balasan.