Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dukungan Dari Orang terdekat
Setelah melahirkan, Amira menjalani masa-masa awal sebagai seorang ibu dengan penuh perjuangan. Tangisan bayi yang tak mengenal waktu membuatnya sering terjaga hingga larut malam, sementara tubuhnya masih lemah pasca-melahirkan.
Bu Sari, yang sangat peduli pada Amira, memutuskan untuk sering menginap di kontrakan kecil itu. "Kamu jangan khawatir, Nak. Ibu ada di sini. Biar Ibu aja yang bantu jaga bayimu, kamu butuh istirahat," ujar Bu Sari suatu malam saat melihat Amira hampir tertidur sambil menggendong bayinya.
Amira mengangguk lemah. "Makasih banyak ya, Bu. Aku nggak tahu apa jadinya kalau tanpa ada Ibu," katanya sambil menyerahkan bayi mungilnya ke pelukan Bu Sari.
Setiap hari Bu Sari mengajari Amira banyak hal tentang cara merawat bayi. Mulai dari cara memandikan, mengganti popok, hingga menenangkan bayi yang rewel.
"Merawat bayi itu butuh kesabaran, Mira. Kalau bayimu menangis, itu bukan berarti kamu gagal sebagai seorang ibu. Kadang, dia cuma butuh pelukan," kata Bu Sari sambil mengayun-ayun bayi Amira.
Amira memperhatikan dengan saksama. Ia ingin memastikan dirinya bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya. "Aku hanya takut salah, Bu. Kadang rasanya aku merasa belum cukup baik menjadi seorang Ibu untuk anakku," ucap Amira pelan.
Bu Sari tersenyum lembut. "Jangan bilang begitu. Semua ibu belajar dari awal. Kamu sudah melakukan yang terbaik, dan itu lebih dari cukup."
___
Reza dan Loli juga sering datang membantu. Reza dengan senang hati membelikan kebutuhan bayi atau sekadar membantu memperbaiki peralatan rumah yang rusak. Loli, yang kini semakin dekat dengan Amira, juga sering membantu memandikan bayi atau memasak makanan untuk Amira.
"Keponakanku ini lucu banget, Kak Amira," kata Loli sambil menggelitik kaki mungil bayi Amira.
Amira tersenyum. "Makasih banyak, Loli. Kamu udah banyak membantu."
"Ini hal kecil, Kak. Aku senang bisa dekat sama Kakak dan bayi ini, nggak seperti Nia yang setiap harinya selalu ngasih perintah, udah kayak Tuan Putri aja," jawab Loli.
"Wajar aja kan sekarang, Nia sedang hamil besar. Oh iya sepertinya masa persalinan Nia akan segera tiba ya?" tanya Amira.
"Belum ada tanda apapun, Kak. Padahal udah lewat dari perkiraan. Anaknya aja malas keluar Kak nggak mau lihat Ibunya."
"Nggak boleh ngomong gitu, sebenarnya itu bahaya kalau bisa segera dibawa ke rumah sakit," jelas Amira.
"Gimana nggak keluar tuh anak, Kak. Jalan aja malas itu Kuntilanak," ucap Loli memberikan julukan kepada Nia.
Amira hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat Loli yang ceplas-ceplos.
"Oh iya, Kak. Jadi gimana Kakak masih mau kerja atau gimana kalau udah sehat? Aku bisa bantu Kakak jagain bayi ini kalau Kakak mau kerja lagi nantinya."
"Sepertinya, aku bakalan lama nggak kerja, Lol. Aku nggak tega ninggalin bayiku sama kamu, ngurusin bayi itu nggak mudah," jelas Amira.
"Iya juga sih, Kak. Aku dengar bayi ini nangis aja udah baby blues," kata Loli.
"Kamu tenang aja, Loli. Bu Sari tiap malam selalu datang kesini buat bantu aku, dan bila nanti aku nggak kerja di laundry lagi mungkin aku harus cari kerja lain tapi nggak usah ninggalin anak kalau bisa."
"Oh gitu, nanti deh, Kak. Aku cariin loker yang pas buat Kakak."
Amira mengangguk pelan tanda setuju.
Amira memutuskan untuk tidak bekerja sementara waktu. Ia ingin fokus memulihkan kesehatannya dan merawat bayinya hingga cukup kuat. Meski begitu, ia sebenarnya merasa sedikit gelisah karena tidak bisa membantu Bu Sari di laundry.
Hari-hari berlalu, dan Amira mulai merasa lebih kuat. Bayinya pun tumbuh sehat dengan dukungan orang-orang di sekitarnya. Di tengah cobaan hidupnya, Amira menemukan kebahagiaan baru sebagai seorang ibu.
Ia sering memandangi wajah mungil bayinya saat tidur. "Nak, kamu adalah alasan Ibu untuk terus kuat. Ibu janji, akan memberikan yang terbaik untukmu," bisiknya sambil mencium kening bayi itu.
"Kamu adalah anugerah terindah yang udah Tuhan kasih ke Ibu, Nak. Ibu ingin memberikan nama yang bagus untuk mu. Arka itulah adalah nama yang bagus. Jadi sekarang Ibu akan panggil kamu dengan nama Arka yang berarti kuat dan tangguh."
Amira mengelus lembut pipi bayinya yang masih merah tersebut yang tanpa sadar meneteskan air mata diantara kedua mata lelahnya.
"Sayang, temani Ibu ya? Wanita lemah ini juga butuh sandaran tempat berbagai cerita. Kuatkan Ibu disaat Ibu terjatuh ke dalam lubang terdalam. Selamatkan Ibu dari kehancuran ya, Sayang?"
Tangisan pelan itu kini menjadi tangisan yang memilukan, Amira sesegukan menahan diri agar air mata tak lagi berjatuhan, tapi semakin ditahan semakin deras air mata itu keluar, seolah paham kalau hati yang sedang menangis itu memang sangat terluka.
****
Sementara utu Nia semakin tidak sabar menghadapi kehamilannya yang terasa semakin berat. Hari perkiraan persalinan telah berlalu beberapa minggu, namun tanda-tanda kelahiran tak kunjung tiba. Rasa cemas dan frustrasi membuatnya mudah marah, bahkan kepada orang-orang di sekitarnya.
"Nia, tenanglah. Dokter sudah bilang semuanya baik-baik saja. Hanya tunggu sedikit lagi," ujar Angga mencoba menenangkan Nia yang terlihat sangat gusar pagi itu.
"Tunggu? Tunggu?! Kamu enak bilang begitu karena bukan kamuyang bawa perut sebesar ini,Mas! " Nia membentak, matanya penuh amarah.
Angga hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu keadaan ini sulit untuk Nia, tetapi ia sendiri juga mulai lelah menghadapi suasana yang terus memanas setiap hari.
Loli, yang berada di ruang tamu, mendengar keributan itu dan memutar bola matanya. "Lagi-lagi drama. Kak Angga, aku ke luar ya. Udah capek denger Nia marah-marah terus."
"Hei, Loli! Jangan pura-pura sibuk. Bantu aku ambilkan air!" teriak Nia sambil menunjuk ke arah dapur.
Loli menoleh dengan malas. "Aku bukan pembantumu. Kalau butuh minum, ambil aja sendiri!" jawabnya sambil berjalan ke luar rumah.
"Dasar, Adik Ipar nggak ada gunanya! Awas aja kalau minta uang lagi sama aku, nggak bakalan aku kasih!" ucap Nia setengah berteriak.
"Alah, berisik! tembak mati aja kalau nggak mau hamil dan udah nggak sanggup," sahut Loli yang sudah berada di luar.
"Kurang ajar kamu, Loli!" teriak Nia yang memekakkan telinga.
Sementara itu, Ratna lebih memilih menghindar setiap kali Nia meluapkan amarahnya. Ia sering pura-pura sibuk di dapur atau mengunci diri di kamar. Ratna merasa Nia yang dulunya terlihat anggun dan sempurna kini berubah menjadi sumber masalah yang terus menguras energi.
"Kenapa aku bisa setuju dengan pernikahan mereka ya dulunya? Ku kira setelah Nia menikah dengan Angga uang akan sangat mudah mengalir nyatanya Nia adalah wanita yang sangat pelit" gumam Ratna pada dirinya sendiri suatu pagi saat mendengar teriakan Nia dari kamar.
Namun, Ratna tidak berani menunjukkan ketidaksukaannya kepada Nia secara langsung. Ia tahu Nia bisa menjadi lebih marah jika merasa tidak didukung.
waktu berlalu begitu saja hingga malamnya itu, Nia kembali melampiaskan kekesalannya kepada Angga saat ia meminta pijatan untuk meredakan pegal di kakinya.
"Mas, bahkan nggak kamu peduli denganku! Apa aku harus menderita sendirian seperti ini?!"
Angga yang sedang menonton televisi menoleh dengan lelah. "Aku peduli, Nia. Tapi kamu harus sedikit tenang. Semakin stres, semakin sulit persalinan nanti mu nanti."
"Jangan ajari aku soal itu! Kamu nggak tahu,Mas mengandung itu menyebalkan. Semua badan ku sakit,tubuh ku juga rusak karena peregangan kulit di bagian perut dn dibeberapa bagusan lainnya bahkan ada yang menghitam pula," bentaknya.
Angga menghela napas dalam-dalam. Ia tahu Nia tengah berjuang, tetapi semua ini membuat rumah terasa seperti medan perang dunia kedua.
Di luar rumah, Loli diam-diam pergi ke kontrakan Amira. Ia merasa lebih nyaman berbicara dengan Amira dan Reza daripada mendengar keributan di rumah.
"Kalau dibilang menyesal, ya jelas aku menyesal dulu mendukung Nia sama Kak Angga. Baru sekarang aku sadar, Amira jauh lebih baik," ujar Loli sambil memainkan ponselnya.
Amira hanya tersenyum tipis. "Jangan begitu, Loli. Mungkin Nia juga sedang berjuang, meski caranya kurang baik. Dn cenderung terlalu emosi."
Reza, yang sedang membawa segelas teh, menimpali, "Kak Amira selalu melihat sisi baik orang. Padahal kalau aku jadi Kak Amira, aku sudah malas mendengar nama mereka."
Amira tertawa kecil. Meski masih merasa sakit hati, ia memilih tidak menyimpan dendam.
Di rumah, Angga semakin tertekan menghadapi situasi. Hubungannya dengan Nia mulai memburuk, dan ia merasa seperti terperangkap dalam keputusan yang salah. Sementara itu, Nia merasa tak ada yang benar-benar peduli padanya, bahkan Ratna mulai menjauh.
Semua tampak kacau, dan Angga mulai bertanya-tanya apakah ada jalan keluar dari semua ini.