Anzela Rasvatham bersama sang kekasih dan rekan di tempatkan di pulau Albrataz sebagai penjaga tahanan dengan mayoritas masyarakat kriminal dan penyuka segender.
Simak cerita selengkapnya, bagaimana Anz bertahan hidup dan membuktikan dirinya normal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ruang Berpikir, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22_Pesisir Pantai
"Ada akses jalan yang lebih dekat menuju ke pesisir pantai yang saya maksudkan tanpa melewati hutan yang ada di pikiran Anda itu, yang pernah Anda lewati. Kita akan tetap melewati jalanan aspal yang kita tapaki ini," menunduk melihat jalanan aspal di mana langkah mereka sedang berada.
"Berapa jam perjalanan?"
Senyum simpul Ahmed lakukan dan beralih menatap teduh mata Anz "sekitar tiga jam."
"Tidak bisa," jawab tegas Anz.
"Tidak perlu khawatir nona, Anda akan tetap bisa dinas kembali besok pagi, hanya saja ..." mengantungkan kalimat dan menatap langit yang di tutupi sebagian oleh dedaunan.
Anz tidak bertanya dengan kata namun pandangan matanya menunjukan rasa ingin tahu, kenapa.
"Hanya saja," ulang kata Ahmed "waktu istirahat Anda, tidak bisa Anda gunakan selayaknya istirahat."
Hembusan napas panjang Anz lakukan, menatap lurus ke depan.
"Mari nona."
Mereka terus berjalan hampir satu jam kemudian. Tapakan langkah kaki mereka sudah berada di pusat perbelanjaan yang pernah Anz datangi bersama rekannya sehari sebelumnya, waktu itu.
"Ini pusat perbelanjaan, nona. Apakah Anda sudah mendatangi tempat ini sebelumnya."
Anz mengangguk mengiyakan.
Orang-orang yang dilihat Anz waktu itu tidak ada bedanya dengan yang di lihatnya sekarang, hanya saja dagangan mereka sangat jauh berbeda dengan dagangan mereka di hari itu.
Anz mengusap tengkuk lehernya sendiri "kita ngapain di sini," menyapu pandangan melihat besi berbagai macam bentuk dari yang tajam sampai yang tumpul. Tidak hanya itu, berbagai macam dagangan lain tersusun rapi di masing-masing lapak meja mereka.
Ahmed melihat Anz sekilas, senyum singkat ia pancarkan.
Anz berjalan lebih dekat lagi dengan Ahmed, pandangan mata Anz melihat sekelilingnya, kabur, karena kegelapan malam menghiasi. Anz berjalan dalam kegelapan itu mengunakan insting seperti arahan Abi di waktu lalu.
Suara bagaikan decitan dari makhluk berkaki empat terdengar keras dan dekat, suara apa itu, monolog Anz berteriak, mendekat ke Ahmed dan memegang ujung baju Ahmed.
"Hey, kenapa," tanya Ahmed yang di respon gelengan kepala oleh Anz dan raut wajahnya yang ,menunjukan ketakutan.
Anz merasakan banyak tatapan tertuju padanya, tatapan mengintimidasi. Dalam bayangan, semampu Anz melihat, tidak ada perempuan di tempat ia berada kini, semuanya laki-laki.
"Perjalanan kita sekitar dua jam lagi jika berjalan kaki. Kita naik kuda berjalan ke sana ya," mengusap-ngusap kepala kuda.
"Aku tidak bisa menunggangi kuda."
Hm," berdehem singkat "begitu ya. Tidak apa-apa, Anda naik satu kuda bersama saya nona."
Anz tidak menjawab dan tidak merespon apa-apa hanya instingnya terus mengatakan tempat ia berada sekarang bukanlah tempat yang aman.
Ahmed sibuk membantu petugas penjaga kuda tersebut memasang pelana pada kuda yang akan di tungganginya itu. Sesekali kuda itu bersuara dengan suara khasnya itu dan sesekali juga Ahmed mengusap punggung kuda itu memberikan kenyamanan sebagai bentuk pertemanan dirinya dengan kuda.
"Tolong lepaskan baju saya nona!" Tersenyum, melihat Anz.
Anz dengan segera melepaskan ujung baju Ahmed, pandangan matanya sedikit mendongak ke atas melihat Ahmed yang sedang naik ke atas kuda itu.
Tidak lama setelahnya, Ahmed yang duduk di atas kuda itu, menyodorkan tangannya ke bawah "pegang tangan saya nona dan injak saja kaki saya. Naiklah."
Penjaga kuda itu menunduk memberi hormat pada Ahmed yang berlalu dengan Anz dan juga kuda mereka.
Suara ketukan tapakan kuda terdengar nyaring di riuhnya suasana suara-suara manusia. Ketukan tapakan kuda itu, bersuara jeda, bagaikan ketukan melodi yang terhentak dan berirama.
Beberapa menit terselangnya waktu, keberadaan mereka mulai menjauh dari keriuhan suara-suara manusia itu "apakah Anda baru pertama kali naik kuda nona," ucap tanya Ahmed tepat di samping telinga kiri Anz. Posisi duduk mereka sangat rapat, tidak ada jeda antara dada bidang Ahmed dengan punggung lebar Anz.
"Iya. Ini baru pertama kalinya," jawab Anz, jantungnya terpompa cepat dan matanya memandang lurus ke depan. Jalanan aspal hitam pekat tanpa ada garis marka dan juga tanpa rambu-rambu lalu lintas yang menunjuki pembatas jalan. Pinggiran jalan dan trotoar jalan semua terlihat sama, jika tidak benar-benar diperhatikan pembatas di antaranya.
"Pak," panggil Anz setelah melewati beberapa waktu dalam keheningan tanpa kata hanya diiringi suara tapakan kuda dan suara lirihan angin yang kadang terdengar merdu dan terkadang terdengar menyeramkan.
"Iya nona," menarik tali kekang, mengendalikan kecepatan tapakan kuda dalam melangkah.
"Sudah berapa lama Anda bertugas di pulau Albrataz ini?"
"Lebih kurang hampir sepuluh tahun, nona!"
"Lumayan lama ya. Apakah Anda sudah berkeluarga."
Ahmed tersenyum simpul menanggapi walau senyuman itu tidak terlihat oleh mata Anz "apakah Anda mau jadi anggota kelaurga saya."
"Sepertinya Anda sangat di hormati oleh masyarakat di sini," mengalihkan pembicaraan dan merutuki dirinya sendiri yang lancang lantaran penasaran.
Ahmed masih saja tersenyum simpul menanggapi. "Pemandangan di sini sangat bagus nona, hanya saja, kita berkuda di waktu yang tidak tepat. Gelap."
"Saya tidak bisa melihat keindahan yang Anda maksudkan."
"Kenapa?" Tanya Ahmed cepat.
"Mataku lemah jika berada dalam kegelapan."
"Jadi," bingung Ahmed.
"Anda ingin bertanya kenapa saya tadi berjalan lancar tanpa kesandung di jalan? Sedangkan sekarang saya mengatakan saya mengatakan tidak bisa melihat."
Ahmed mengangguk cepat.
"Saya menggunakan insting pak. Salah satu rekan saya yang mengajarkannya."
Deheman singkat terdengar kembali dari Ahmed "saya belum terlalu mengenal rekan-rekan Anda nona. Pasti mereka orang-orang hebat."
"Tentu," tersenyum "mereka adalah orang-orang hebat dan mereka juga orang-orang yang unik. Hanya saja," mengantungkan kalimat "kadang-kadang sebagian dari mereka sangat menjengkelkan.
Angin berhembus ringan, suara lirihan dari pepohonan akibat hembusan angin terdengar merdu. Untuk beberapa saat tidak ada percakapan yang menyertai perjalanan mereka. Punggung gagah kuda berkulit coklat berjalan dengan tapakan santai akibat tali kekang yang di kendalikan tenang Ahmed.
Angin terus berhembus, menggoyangkan dedaunan dari pepohonan yang kecil maupun besar.
Baju dinas yang Anz kenakan tidak mampu menghalangi angin, sehingga menembus tulang belulang, kedinginan terus menyerang tulang belulang tiada henti usapan lembut Anz lakukan pada tubuhnya itu dan pejaman mata ia lakukan.
"Apakah Anda kedinginan, nona?"
"Sedikit. Aku masih bisa menahannya."
"Berbaliklah dan peluk tubuh saya yang penuh kehangatan ini."
Mata Anz yang terpejam dalam seketika terbuka, degupan jantung terpompa cepat "maksud Anda?" Tanya Anz cepat, lintasan senyuman wajah teduh, menenangkan Albert terlintas cepat dalam ingatan Anz.
"Maaf, saya tidak bermaksud demikian. Saya pikir karna Anda kedinginan, Anda bisa memeluk saya."
"Mohon maaf saya tidak bisa," jawab Anz berusaha masih sopan.