Elowen, seorang wanita muda dari keluarga miskin, bekerja sebagai asisten pribadi untuk seorang model internasional terkenal. Hidupnya yang sederhana berubah drastis saat ia menarik perhatian dua pria misterius, Lucian dan Loreon. Keduanya adalah alpha dari dua kawanan serigala yang berkuasa, dan mereka langsung terobsesi dengan Elowen setelah pertama kali melihatnya. Namun, Elowen tidak tahu siapa mereka sebenarnya dan menolak perhatian mereka, merasa cemas dengan intensitasnya. Lucian dan Loreon tidak menerima penolakan begitu saja. Persaingan sengit antara keduanya dimulai, masing-masing bertekad untuk memenangkan hati Elowen. Saat Elowen mencoba menjaga jarak, ia menemukan dirinya terseret ke dalam dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan, dunia yang hanya dikenal oleh mereka yang terlahir dengan takdir tertentu. Di tengah kebingungannya, Elowen bertemu dengan seorang nenek tua yang memperingatkannya, “Kehidupanmu baru saja dimulai, nak. Pergilah dari sini secepatnya, nyawamu dalam bahaya.” Perkataan itu menggema di benaknya saat ia dibawa oleh kedua pria tersebut ke dunia mereka, sebuah alam yang penuh misteri, di mana rahasia tentang jati dirinya perlahan mulai terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Two Alpha's And Mate
Loreon Valtor melangkah keluar dari lift yang berhenti di lantai 7, menaiki koridor yang panjang menuju pintu apartemen Valerie. Meskipun langkahnya tenang, aura yang ditinggalkannya terasa berat dan tegang. Setiap langkahnya menggema di lorong yang sunyi, menciptakan ketegangan yang tak terkatakan.
Namun, saat ia mendekati pintu apartemen itu, sesuatu yang tak terduga tercium olehnya. Sebuah aroma harum yang sangat khas, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah wangi yang memikat, sekaligus menyengat, membuat perasaan yang selama ini tertahan seakan terbuka. Aroma itu bukan hanya sekedar bau—ia adalah sesuatu yang menggetarkan naluri liar dalam dirinya.
"Mate...," suara dalam dirinya, Leon—werewolf yang ada dalam dirinya—terdengar begitu jelas, memekakkan telinga. Jeritan itu terdengar seolah menggelegar, memanggil dengan penuh keinginan, "Kita akhirnya menemukannya! Dia... Mate kita! Cepat temukan dia, Loreon! Kita telah mencarinya selama ribuan tahun!"
"Diamlah, Leon!" Loreon hampir tidak bisa menahan suara kasar yang keluar dari mulutnya. "Ini bukan saatnya. Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan. Jangan mengganggu."
Sifat dingin dan tajam Loreon terasa begitu kuat. Dalam sekejap, ia menekan perasaan yang mulai terbangun di dalamnya, berusaha untuk tetap fokus pada misi yang lebih penting. Tidak peduli seberapa kuat naluri werewolf-nya mendesaknya, tugas adalah prioritas utamanya. Tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang ada. Hubungan dengan wanita? Itu bukan urusannya. Bukan saatnya untuk membiarkan perasaan menguasainya.
Loreon adalah seorang Gamma dalam keluarga Valtor, jauh lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan saudara tirinya, Lucian, seorang Alpha. Lucian, yang memiliki kekuasaan lebih besar, tak jarang dianggap lebih unggul dalam segala hal. Loreon tahu tempatnya, dan tidak pernah mencoba mengubah takdirnya, meskipun nalurinya selalu berontak. Semua yang dia inginkan sekarang adalah menjalankan misinya dengan sempurna. Itu jauh lebih penting daripada apa pun.
Akhirnya, ia berdiri di depan pintu apartemen Valerie, merasakan bagaimana perasaan Leon semakin kuat. Tapi Loreon tahu, ini bukan waktunya untuk berurusan dengan mate-nya. Misi dan tujuan yang lebih besar menantinya.
Loreon mengetuk pintu apartemen Valerie dengan dua ketukan tegas, tanpa jeda, seperti dirinya yang selalu langsung pada intinya. Ia tak peduli apakah Valerie sedang sibuk atau bahkan tertidur. Waktu adalah sesuatu yang tidak ia buang percuma, terlebih dengan misi mendesak yang sedang ia emban.
Beberapa detik berlalu, dan suara langkah kaki terdengar dari balik pintu. Loreon berdiri diam, tangannya disilangkan di dada, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Begitu pintu terbuka, Valerie muncul dengan gaun santainya, rambut pirang panjangnya tergerai. Raut wajahnya sedikit terkejut saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
"Loreon?" Valerie memiringkan kepala, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Aku tidak menyangka kau akan datang langsung. Bukankah biasanya kau hanya mengirim pesan?"
Loreon tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Valerie dengan mata kelabu yang dingin, membuat wanita itu sedikit bergidik meski ia sudah cukup mengenal Loreon selama bertahun-tahun.
"Ada yang perlu dibahas," jawab Loreon akhirnya, suaranya rendah dan berat, seolah setiap kata yang keluar adalah bagian dari perintah. "Penting. Aku tak punya banyak waktu."
Valerie menghela napas kecil, lalu mempersilakannya masuk. "Baiklah, masuklah. Tapi aku tidak mau berurusan dengan masalah besar seperti terakhir kali. Rumahku hampir berantakan karena itu."
Loreon melangkah masuk, aroma mate itu kembali menusuk indra penciumannya. Ia menggertakkan rahangnya, berusaha mengabaikan keinginan Leon yang terus memberontak dalam pikirannya.
"Dia ada di sini," Leon kembali berteriak, penuh semangat. "Mate kita dekat! Kau bisa merasakannya, bukan? Harum itu... dia ada di sini! Jangan abaikan aku, Loreon!"
"Diam, Leon!" Loreon mendesis pelan, cukup hanya untuk dirinya sendiri. Ia menggenggam tinjunya erat, berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku bilang diam. Ini bukan waktunya. Kau tahu apa yang sedang kita hadapi."
"Loreon?" Valerie menatapnya bingung, menyadari ketegangan di wajah pria itu. "Kau baik-baik saja?"
Aku akan ke kamar mandi dulu. Tunggu sebentar," ujarnya santai sambil melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.
Loreon hanya mengangguk kecil, mengambil tempat di sofa tanpa melepas ekspresinya yang datar. Tangannya menyentuh pinggir sofa, sementara pikirannya sibuk menekan gelombang emosi liar yang terus dihembuskan oleh Leon. Aroma itu masih terasa jelas, menusuk dan mengganggu, seperti magnet yang tak henti menarik perhatiannya.
Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara langkah kaki cepat dari arah pintu. Sebuah suara ceria memecah keheningan.
"Vale! Di mana kau? Cepat keluar! Aku bawa sesuatu untukmu!"
Loreon segera menajamkan indra pendengaran dan penglihatannya. Suara itu berasal dari seorang perempuan yang baru saja masuk ke apartemen, menenteng sebuah kotak besar di tangannya. Sosok itu melangkah masuk dengan santai, tanpa menyadari keberadaannya di ruang tamu.
Wanita itu—muda, berpenampilan sederhana, tetapi memancarkan keanggunan alami—berjalan mendekat dengan ekspresi penuh semangat. Matanya yang besar tampak bersinar saat ia memanggil nama Valerie lagi.
Namun, bagi Loreon, semua itu hanya menjadi latar belakang. Yang benar-benar menyita perhatian adalah aroma itu. Wangi yang sejak tadi mengganggunya kini menjadi semakin kuat, menguasai seluruh pikirannya.
"MATE!" Leon berteriak liar dalam pikirannya, memaksa kontrol Loreon hampir runtuh.
Tanpa berpikir panjang, Loreon berdiri dari sofa dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya melesat seperti bayangan. Dalam hitungan detik, tangannya yang kuat sudah melingkar di leher wanita itu.
Sosok wanita itu terhenti, matanya melebar dalam keterkejutan yang penuh ketakutan. Kotak yang dibawanya terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan bunyi keras.
"Siapa kau?" suara Loreon rendah, tajam, dan penuh ancaman. Matanya yang kelabu bersinar dengan intensitas yang mematikan, seperti mata seekor predator yang menemukan mangsanya.
Wanita itu, yang tak lain adalah Elowen, berusaha menarik napas dengan susah payah. Tangannya memegang erat pergelangan tangan Loreon, mencoba melepaskan cengkeramannya. Tapi kekuatannya jelas tak sebanding dengan pria itu.
"Lepaskan... Aku... aku hanya ingin..." suaranya terputus-putus, tergagap karena tekanan di lehernya.
"Loreon, hentikan! Apa yang kau lakukan?!" Valerie muncul dari kamar mandi, matanya melebar melihat pemandangan di depannya. Ia berlari mendekat, mencoba menarik tangan Loreon yang masih mencekik Elowen.
"Dia siapa?" Loreon bertanya lagi, suaranya tetap dingin, seolah tidak peduli dengan interupsi Valerie.
"Dia temanku! Elowen! Dia tidak ada hubungannya dengan ini, Loreon! Lepaskan dia!" Valerie berseru panik, berusaha menghentikan kekuatan yang jelas jauh melampaui miliknya.
Loreon akhirnya melepaskan Elowen, yang terjatuh ke lantai sambil terengah-engah, memegangi lehernya yang memerah. Tapi tatapan Loreon tidak pernah surut. Matanya tetap menatap Elowen dengan intens, mempelajari setiap detail dirinya.
"Dia..." Leon kembali bersuara dalam pikiran Loreon, kali ini dengan nada penuh kemenangan. "Dia adalah mate kita. Kau tidak bisa menyangkalnya, Loreon. Itu dia."
Loreon tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya masih keras dan tak terbaca. Tapi di dalam dirinya, perang antara naluri dan logika baru saja dimulai. Elowen, wanita yang tampak rapuh di depannya, adalah mate-nya—takdir yang selama ini ia coba hindari.
oh iya mampir juga yuk dikarya baruku, judulnya ISTRI PENGGANTI TUAN ARSEN😁🙏