Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Hati, Luka Tubuh
"Sayang! Kenapa keadaan kamu seperti ini?" Ucap Fahmi ketika memeluk tubuh Ayana.
Zidan tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melihat Ayana dari jarak dekat saja.
Wajahnya pucat, ia begitu kasihan terhadap Ayana.
"Nak, kamu kenapa bisa sampai seperti ini?" Tangis Bu Fatimah pecah.
"Sayang? Ceritakan! Kamu kenapa?" Tanya Fahmi sekali lagi.
Ayana memandang lemas manik-manik mata Fahmi. Tubuhnya tidak kuat berdiri kembali.
"M-Mas, A-Aku terserempet m-mobil... " Belum sempat Ayana menceritakan semuanya. Ia sudah jatuh pingsan.
Dengan segera Fahmi menangkap tubuh mungil Ayana.
"Ayana!" Teriak kompak Fahmi dan Zidan.
"Ya Allah, mengapa bisa terserempet mobil sih, Nak?" Tangis Bu Fatimah kembali kencang.
Fahmi langsung membopong tubuh Ayana dan membawanya di sofa panjang rumahnya.
Tidak peduli dengan pakaian basah kuyup yang telah bercampur dengan darah. Saat ini tujuan utama adalah segera menolong Ayana yang sedang tidak baik-baik saja.
Fahmi sesekali memeluk tubuh Ayana, Zidan dengan sigap langsung mengambil kotak p3k.
Bu Fatimah langsung menyiapkan handuk, dan air hangat.
"Ya Allah, sayang. Mengapa kamu bisa terserempet sih?" Ucap Fahmi seraya mengusap-usap lembut tubuh Ayana.
Bu Fatimah tampak telaten membersihkan noda bekas darah yang menempel pada tubuh Ayana.
Ia juga memberikan minyak angin agar Ayana segera sadar.
Zidan kemudian pergi ke dapur untuk membuatkan teh hangat untuk Ayana yang akan diminumkan ketika nanti Ayana sudah sadar.
Dalam hatinya, ia merutuki dirinya yang telah mengabaikan Ayana.
(Maafkan aku, Za. Aku telah mengabaikan kamu, sehingga kamu bisa menjadi seperti ini. Semua ini aku yang salah. Maafkan aku, Za.)
Batin Zidan ketika dirinya terlihat sibuk di dapur.
Berkat Bu Fatimah, Ayana kembali sadar sedikit demi sedikit.
"Sakiiitttt... Mas sakiiitt Mas..." Ucapnya lirih.
Zidan datang membawakan segelas teh hangat.
"Ini Fahmi." Zidan menyodorkan segelas teh hangat untuk Ayana.
Fahmi menerima teh hangat dari Zidan.
"Sayang, sayang. Diminum dulu yuk tehnya, supaya tubuh kamu sedikit lebih enak." Pinta Fahmi kepada Ayana.
"Sakit, Mas..." Lagi-lagi Ayana merintih kesakitan.
"Iya, sayang. Diminum dulu. Nanti supaya tidak sakit." Pinta Fahmi kembali.
"Diminum dulu tehnya, nak. Bagian mana yang sakit?" Tanya Bu Fatimah.
Ayana meminum sedikit teh hangat yang dibuatkan oleh Zidan.
Kemudian Ayana menarik celana kulot panjang yang membalut bagian kakinya, ia menunjukkan kepada Fahmi bagian mana saja yang terasa sakit.
Bagian betis kanan yang dekat dengan tulang depan, terlihat lebam dan terluka.
Bagian pundak kanan juga terluka, namun Ayana tidak menunjukkan saat itu juga, karena ia sadar sedang ada Zidan didekatnya.
Kepala bagian kananpun juga terluka, tubuh bagian kanan Ayana semuanya terluka.
Ayana sedikit demi sedikit menceritakan kejadian yang telah menimpanya.
Berawal ketika ia hendak pulang dari rumah sakit, ia ingin memesan ojek online. Namun, sialnya ponsel miliknya telah habis baterai.
Saat itu juga hujan turun dengan begitu deras, ia mengurungkan niatnya untuk menunda pulang ke rumah sampai hujan reda.
Ternyata, hujan tidak kunjung reda.
Waktu sudah malam, ia tidak mungkin terus berlama-lama hanya berdiam diri saja di tempat.
Ia tidak ingin membuat Fahmi khawatir, jika nanti Fahmi sudah pulang kerumah namun dirinya belum sampai rumah lebih dulu.
Ia memutuskan untuk mencari taksi.
Lumayan sulit untuk mendapatkan taksi saat itu.
Namun, ia tetap berjuang untuk mendapatkan taksi ditengah-tengah hujan yang begitu deras.
Dan pada akhirnya, ia mendapatkan sebuah taksi. Namun posisi taksi berada diseberang, yang mengharuskan dirinya untuk menyeberangi jalanan lebih dulu.
Dengan berlari-lari, ia mendekati taksi. Namun sayangnya, sebuah mobil melintas dan tidak sadar jika Ayana telah menyeberang.
Dengan cepat, mobil tersebut menyerempet Ayana dan langsung kabur.
Ayana terhuyung dan terjatuh. Supir taksi yang akan dinaiki Ayana pun turun kemudian menolong Ayana.
Supir itu menawarkan Ayana untuk berobat ke rumah sakit dulu atau pulang saja.
Ayana menjawab ingin segera pulang.
Dalam keadaan sudah basah kuyup, Ayana memasuki taksi dan segera diantarkan pulang oleh supir taksi tersebut dengan kecepatan tinggi. Mengingat kondisi Ayana terlihat cukup memprihatinkan.
***
"Zidan! Kamu ini bagaimana? Sudah jelas Fahmi menyarankan kepada Ayana agar dia ditemani kamu. Tapi, mengapa kamu tidak menemaninya?" Sungut Bu Fatimah kesal karena Zidan tidak bertanggungjawab atas amanah yang diberikan Fahmi dan Kyai Akbar.
Zidan menunduk. Ia sengaja menyibukkan dirinya pada pekerjaannya, namun hatinya tetap tidak tenang dan terus bergemuruh.
"Zidan! Kamu dengar Ibu, tidak?" Sentak Bu Fatimah.
Ia hanya melihat Zidan tidak menggubris pertanyaannya.
Didalam kamar Zidan, Bu Fatimah kemudian duduk diatas ranjang.
Sedangkan Zidan duduk dibangku kerjanya.
"Bukan aku tidak mau menemani Ayana, Bu. Tapi, kebetulan aku sedang tidak bisa. Aku sedang ada urusan, dan aku sudah janjian dari sebelum Ayana mengatakan tentang masalah akan mengambil hasil test di Rumah Sakit!" Jelas Zidan kepada Bu Fatimah.
Bu Fatimah menarik nafas panjangnya.
"Sepenting apakah urusanmu itu?" Hardik Bu Fatimah.
Zidan tidak mampu menjawabnya. Ia memang sangat merasa bersalah. Atas sikapnya, Ayana menjadi mendapatkan musibah seperti itu.
"Maafkan aku, Bu. Lain kali aku tidak akan seperti itu kembali. Aku berjanji." Sumpah Zidan kepada Ayana.
"Ya sudahlah, namanya musibah biar bagaimanapun akan tetap menjadi musibah. Sudah kuasa Allah juga, kita tidak bisa mencegahnya. Jika Allah sudah menginginkan terjadi, semua akan terjadi." Sahut Bu Fatimah dengan nada mulai melunak.
Zidan menghela nafasnya.
"Ya sudah, Ibu akan melihat kembali bagaimana keadaan Ayana sekarang. Setelah itu Ibu akan lanjut beristirahat. Besok pagi-pagi akan membuatkan bubur untuk Ayana." Bu Fatimah bangkit dari tempat duduknya hendak pergi meninggalkan Zidan.
"Baik, Bu." Jawab Zidan.
Bu Fatimah melangkahkan kakinya keluar dari kamar Zidan.
Zidan kembali termenung dengan apa yang sudah menimpa Ayana.
Ingin sekali rasanya ia memeluk Ayana dengan erat dan merawat dengan baik. Namun, ia teringat bahwa Ayana sudah menjadi milik adiknya.
Zidan pun bangkit dari tempat duduknya, ia melangkahkan kakinya lalu berjalan menuju kamar Fahmi.
Dengan perlahan ia berjalan menuju kamar Fahmi.
Tampak dari kejauhan, kamar Fahmi masih terbuka lebar.
Disana sudah ada Bu Fatimah yang sedang melihat kondisi Ayana.
Zidan mengintip dari balik pintu kamar Fahmi, ia mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam.
"Fahmi, kalau keadaan Ayana semakin parah begini. Apa tidak sebaiknya kita bawa saja ke Rumah Sakit? Supaya bisa ditangani lebih serius oleh ahlinya. Kalau seperti ini, kita tidak tahu apa yang harusnya kita akan lakukan. Takut malah menjadi salah langkah. Nanti berdampak tidak baik pada kesehatan Ayana!"
Bu Fatimah memberikan saran kepada Fahmi.
Fahmi hanya bisa mengusap lembut pucuk kepala Ayana.
"Tadi aku sudah bilang begitu ke Ayana, Bu. Namun, dia menolaknya. Dia takut jika di Rumah Sakit tidak ada yang bisa menjaganya dan takut merepotkan. Sedangkan aku harus meninggalkannya untuk bertugas, Kak Zidan sibuk dengan Pesantrennya, tidak mungkin juga Ibu yang akan menjaga Ayana selama dua puluh empat jam." Jelas Fahmi kepada Bu Fatimah.
Ucapan Fahmi didengar oleh Zidan yang sedari tadi menguping pembicaraan antara adiknya dan ibunya itu.
"Tidak apa-apa, Fahmi. Ibu rela menjaganya." Sahut Bu Fatimah.
Fahmi menatap Ayana yang sedang terbaring dengan kondisi sudah demam dengan dahi yang telah terkompres.
Sebelum Fahmi menjawab saran dari Bu Fatimah, Zidan melangkahkan kakinya untuk tetap masuk kedalam kamar Fahmi.
"Aku bersedia menjaganya dua puluh empat jam jika memang itu dibutuhkan, Fahmi. Ibu biarkan saja istirahat di rumah. Biar bagaimanapun, musibah yang menimpa Ayana adalah karena ulahku yang tidak bersedia menemaninya. Andai aku menemaninya, mungkin tidak akan terjadi seperti ini pada Ayana." Zidan berjalan mendekati Fahmi dan Bu Fatimah.
Fahmi menoleh kearah Zidan.
"Yakin, Kakak bisa? Lalu, bagaimana dengan Pesantren?" Tanya Fahmi.
Zidan menarik nafas panjangnya.
"Itu akan menjadi urusanku, yang terpenting kita berikan yang terbaik untuk Ayana sesegera mungkin!" Jawab Zidan.
"Kalau begitu, sekarang juga kita bawa Ayana ke Rumah Sakit." Titah Bu Fatimah.
Fahmi mendekati Zidan lalu berbisik.
"Kak, tolong jaga Ayana sepenuh hati. Biar bagaimanapun, ia adalah teman Kakak sejak kecil. Apakah kakak tega melupakan begitu saja kenangan-kenangan kakak dimasa-masa itu? Anggap saja, Ayana ini adik kandungmu. Jadi, kamu bisa menjaga dan merawatnya tanpa ada kecanggungan. Aku mohon! Aku sangat menyayangi dia!"