dengan gemetar... Alya berucap, "apakah kamu mau menjadi imam ku?? " akhirnya kata kata itu pun keluar dari lisan Alya yg sejak tadi hanya berdiam membisu.
"hahhh!!! apa!!... kamu ngelamar saya? "ucap afnan kaget
sambil menunjuk jari telunjuknya ke mukanya sendiri.
dengan bibir yg ber gemetar, Alya menjawab" i ii-iya, saya ngelamar kamu, tapi terserah padamu, mau atau tidaknya dgn aku... aku melakukan ini juga terpaksa, nggak ada pilihan.... maaf kalo membuat mu sedikit syokk dgn hal ini"ucap Alya yg akhirnya tidak rerbata bata lagi.
dgn memberanikan diri, afnan menatap mata indah milik Alya, lalu menunduk kembali... karna ketidak kuasa annya memandang mata indah itu...
afnan terdiam sejenak, lalu berkata "tolong lepaskan masker mu, aku mau memandang wajahmu sekali saja"
apakah Alya akan melepaskan masker nya? apakah afnan akan menerima lamaran Alya? tanpa berlama-lama... langsung baca aja kelanjutan cerita nya🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tangisan di tengah malam
Sesampainya di rumah sakit, Gus Afnan segera keluar dari mobil, dengan hati-hati membopong tubuh kecil Nia yang lemas. Alya menyusul dengan langkah cepat, mendahului Afnan untuk mencari bantuan.
"Suster! Cepat, tolong anak kecil ini!" ucap Alya tegas, suaranya sedikit meninggi, membuat para staf rumah sakit langsung sigap.
"I-iya, Mbak," jawab salah satu suster yang segera mendorong ranjang pasien ke arah mereka.
Dengan hati-hati, Gus Afnan membaringkan tubuh Nia di atas ranjang itu. Wajahnya penuh perhatian, memastikan Nia tidak merasa kesakitan. Setelah itu, mereka mengikuti suster ke dalam ruang perawatan.
Namun langkah mereka terhenti ketika seorang petugas administrasi rumah sakit mendekat. "Maaf, Mbak dan Mas, tolong isi formulir identitas pasiennya dulu, ya," katanya sopan sambil menyerahkan berkas.
Alya yang tidak tahu apa pun tentang anak kecil itu menatap Gus Afnan, berharap dia mengambil alih. Tatapan Alya cukup untuk membuat Afnan mengerti. "Biar saya yang isi," ucap Afnan lembut, lalu menerima formulir tersebut.
Sambil mengisi data, Afnan berusaha menebak informasi dari sedikit yang ia tahu, termasuk nama lengkap Nia dan perkiraan usia. Agam yang sejak tadi mengikuti mereka hanya diam, memperhatikan dengan tenang situasi itu.
Setelah selesai, Gus Afnan menyerahkan formulir tersebut kepada petugas. "Sudah, ini datanya," katanya.
"Baik, terima kasih, Mas. Kami akan langsung menangani pasien," jawab petugas itu dengan ramah sebelum bergegas masuk ke ruang perawatan bersama Nia.
Alya, yang sejak tadi diam sambil menyaksikan, menatap pintu ruang perawatan yang tertutup. Hatinya sedikit lega, tetapi juga tetap khawatir
. Gus Afnan berdiri di sampingnya, tanpa berkata apa-apa, memberikan ruang bagi Alya untuk menenangkan diri.
"Terima kasih, Gus," ucap Alya akhirnya, meski dengan nada datar seperti biasa.
Afnan tersenyum kecil, menatapnya dengan lembut. "Nggak perlu terima kasih. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya."
Agam, yang berdiri di belakang mereka, menahan diri untuk tidak berseloroh. Tapi dalam hatinya, ia kagum pada cara Afnan menangani situasi ini—penuh perhatian dan tenang, terutama pada Alya, meskipun gadis itu tetap saja bersikap dingin.
Anis berdiri tak jauh dari Alya, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Air matanya mengalir deras, dan isak tangisnya membuat hati Alya semakin terenyuh.
"Kak Alya, Nia nggak apa-apa kan? Nia pasti sembuh, kan?" tanyanya dengan suara gemetar, memandang Alya penuh harap.
Alya berjongkok, menyamakan tinggi badannya dengan Anis. Ia menatap mata anak itu, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri belum tenang.
"Anis, dengar ya," kata Alya lembut, menghapus air mata di pipi Anis. "Nia sekarang sedang diperiksa dokter. Kakak yakin dokter akan membantu supaya Nia sembuh. Kamu harus tetap kuat, ya. Kalau kamu nangis terus, siapa yang akan kasih semangat buat Nia?"
Anis mengangguk kecil, meski air matanya belum sepenuhnya berhenti. "Tapi… aku takut, Kak. Nia sering bilang badannya sakit banget. Aku nggak tahu harus gimana."
Alya meraih tangan kecil Anis, menggenggamnya erat. "Kamu sudah melakukan yang terbaik, Anis. Kamu kakak yang hebat buat Nia. Sekarang serahkan semuanya sama Allah. Doa kamu sangat penting buat Nia."
Gus Afnan yang berdiri di dekat mereka, hanya bisa mengamati percakapan itu. Ia tertegun melihat sisi lembut Alya yang jarang ia lihat. Meski dingin di luar, Alya memiliki hati yang sangat hangat dan penuh kasih.
Agam, yang mendengar dari jauh, ikut terenyuh. "Afnan, aku rasa, Alya lebih dari sekadar gadis yang ceria, dia bisa tegas dan mandiri. Dia juga penuh empati," bisiknya pelan.
Afnan hanya mengangguk, pandangannya tak lepas dari Alya. Dalam hati, ia semakin yakin bahwa Alya adalah wanita yang luar biasa, wanita yang ingin ia lindungi selamanya.
# #
Alya berdiri dengan gelisah di depan Afnan. Udara malam yang dingin seakan menjadi saksi ketegangan di antara mereka. Tatapan mata Alya memancarkan keraguan, tapi dia tetap berusaha terlihat tegar.
“Gus, Gus Afnan... mending pulang deh. Udah larut malam,” ucap Alya pelan, nadanya penuh rasa tak enak hati. Afnan baru saja menghabiskan waktu berjam-jam membantunya menyelesaikan tanggung jawab yang berat itu.
Afnan mendongak, menatap Alya dengan lembut namun penuh ketegasan. “Kamu juga udah malam, Alya. Kamu perempuan. Mending pulang aja. Aku yang urus semua ini.”
“Tapi Gus…” Alya mencoba menyela, namun Afnan mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Alya sebelum sempat keluar.
“Udah, Alya. Biar aku aja yang disini. Aku terbiasa begadang sambil ngaji kitab. Lagian ini nggak terlalu berat buat aku.”
Alya menggigit bibirnya, hatinya bertarung antara menerima bantuan atau tetap bersikeras. “Gus, aku yang bertanggung jawab atas ini semua. Nggak adil kalau aku pergi dan ninggalin kamu sendirian.”
Afnan menghela napas panjang, suaranya berubah lebih tegas namun tetap terdengar lembut. “Alya, aku suamimu. Kalau ada sesuatu yang melibatkan kamu, itu tanggung jawabku. Kamu nggak perlu khawatir.”
Alya terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti petir di tengah malam. "Aku suamimu." Kalimat itu terus berputar di kepalanya. Matanya membelalak, bingung sekaligus tak percaya. “Apa… apa maksudnya, Gus?” tanyanya dengan suara bergetar.
Afnan menyadari apa yang baru saja ia katakan. Wajahnya menegang, namun ia tidak bisa menarik kembali kata-katanya.
Ia menatap Alya dalam-dalam, seperti mencoba menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. “Alya… aku nggak berniat bilang sekarang. Tapi ini kenyataannya. Aku memang suami kamu.”
Langkah Alya goyah. Ia mundur selangkah, menatap Afnan dengan tatapan penuh luka dan keterkejutan. “Kenapa… kenapa aku nggak tahu apa-apa? Apa maksudnya, Gus? Jelaskan sekarang!”
“Alya, dengarkan aku,” kata Afnan, mencoba menenangkan. Ia mendekat, akan tetapi
Alya melangkah mundur dengan air mata yang menggenang di matanya. “Jangan mendekat, Gus,” katanya dengan suara gemetar. Ia memalingkan wajahnya, seakan tidak sanggup melihat Afnan lagi.
Tanpa menunggu jawaban, Alya berbalik dan berlari meninggalkan Afnan. Ia hampir tersandung langkahnya sendiri, tapi tetap memaksakan diri menuju motornya.
Tangannya gemetar saat ia menyalakan mesin. Tanpa berpikir panjang, ia melajukan motornya, membelah jalanan malam yang sunyi.
Pikiran Alya penuh dengan keraguan dan kekacauan. Kata-kata Afnan terus bergema di telinganya. “Aku suamimu.” Kalimat itu seperti beban berat yang menghantam dadanya tanpa ampun.
Air matanya mulai jatuh satu per satu. “Ya Rabb…” ucapnya pelan, suara lirihnya tersapu angin malam. “Apakah ini benar? Atau hanya ilusi yang membuatku gila?” Ia mengusap wajahnya dengan tangan yang bergetar, namun air mata itu terus mengalir deras, tak terbendung.
Hatinya terasa remuk, seperti ada sesuatu yang tak terlihat menghimpitnya. Ia memperlambat laju motornya, lalu berhenti di pinggir jalan. Tangannya mencengkeram setang motor dengan erat, tubuhnya berguncang karena isak tangis yang tak bisa lagi ia tahan.
“Ya Rabb…” lirihnya lagi, kali ini lebih penuh kepasrahan. “Jika ini memang kenyataannya, kuatkan aku. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tolong hamba-Mu ini menghadapi semuanya.” Suaranya pecah di tengah malam, seiring dengan tangisnya yang kian menjadi.
Alya memejamkan mata, mencoba mencari kekuatan dalam doanya. Tapi kekacauan dalam hatinya tak kunjung reda. Di tengah gelap malam itu, ia hanya bisa bersandar pada satu hal—keyakinan bahwa Tuhannya tidak akan pernah meninggalkannya, meski dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung.
baper