Sinopsis:
Melia Aluna Anderson, seorang manajer desain yang tangguh dan mandiri, kecewa berat ketika pacarnya, Arvin Avano, mulai mengabaikannya demi sekretaris barunya, Keyla.
Hubungan yang telah dibina selama lima tahun hancur di ulang tahun Melia, saat Arvin justru merayakan ulang tahun Keyla dan memberinya hadiah yang pernah Melia impikan.
Sakit hati, Melia memutuskan untuk mengakhiri segalanya dan menerima perjodohan dengan Gabriel Azkana Smith, CEO sukses sekaligus teman masa kecilnya yang mencintainya sejak dulu.
Tanpa pamit, Melia pergi ke kota kelahirannya dan menikahi Gabriel, yang berjanji membahagiakannya.
Sementara itu, Arvin baru menyadari kesalahannya ketika semuanya telah terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhat Dengan Gabriel
Sinar matahari pagi kembali menerobos lembut ke halaman rumah keluarga Anderson. Melia duduk di teras sambil menyesap teh hangatnya, memandangi bunga-bunga mawar yang bermekaran. Ketenangan kota B terasa begitu kontras dibanding hiruk-pikuk kehidupan yang ia jalani di kota N.
Namun, di balik ketenangan itu, hatinya masih menyimpan luka yang belum sembuh. Pikirannya terus melayang pada kenangan bersama Arvin, kenangan yang kini terasa seperti ilusi pahit.
“Pagi, Melia.”
Suara Gabriel memecah lamunannya. Melia menoleh dan melihat Gabriel berjalan mendekat dengan senyum ramah, membawa dua cangkir kopi.
“Pagi,” jawab Melia singkat, berusaha tersenyum.
Gabriel duduk di kursi di sebelahnya dan meletakkan satu cangkir kopi di meja kecil di antara mereka. “Kamu kelihatan termenung lagi. Apa yang kamu pikirkan?”
Melia terdiam sejenak, menatap jauh ke arah taman. Pertanyaan itu sederhana, namun menusuk tepat di titik rapuhnya. Akhirnya, ia mendesah pelan.
“Aku hanya... masih sulit percaya ini semua terjadi,” ujarnya lirih. “Lima tahun hidupku aku habiskan bersamanya. Aku pikir kami punya masa depan yang indah bersama. Tapi ternyata...”
Gabriel mendengarkan tanpa menyela, memberikan ruang bagi Melia untuk melanjutkan.
“Ternyata semua hanya perasaanku saja. Semua janji, semua impian, ternyata tidak berarti apa-apa baginya.” Suara Melia bergetar, dan matanya mulai memanas.
Gabriel memandang Melia dengan lembut, merasakan betapa dalam luka yang ia bawa. “Kamu tahu, Mel? Kadang kita percaya pada orang yang salah. Itu bukan kesalahan kamu, itu hanya pelajaran.”
Melia menatap Gabriel lama. “Mungkin aku terlalu bodoh karena tetap bertahan selama ini. Bahkan ketika semuanya mulai berubah, aku masih mencoba memaklumi. Aku pikir dia hanya lelah atau sibuk. Tapi semakin lama, aku merasa seperti orang asing baginya.”
Bercerita Tentang Arvin
Melia meletakkan cangkir tehnya dan menunduk. Gabriel tetap diam, membiarkan Melia bercerita.
“Awalnya, Arvin adalah lelaki yang sempurna bagiku. Dia selalu perhatian, mendukung karierku, dan membuatku merasa beruntung memilikinya.”
“Kapan semuanya mulai berubah?” tanya Gabriel hati-hati.
“Beberapa bulan terakhir,” jawab Melia, suaranya bergetar. “Saat Keyla muncul di hidupnya.”
Melia mengepalkan tangannya di pangkuan. Kenangan itu kembali berputar di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak.
“Dia bilang Keyla hanya sekretaris barunya, bahwa dia tidak punya siapa-siapa di kota itu dan butuh bantuan. Awalnya, aku percaya. Tapi lambat laun, semuanya berubah. Arvin jadi lebih sering bersama Keyla, katanya demi pekerjaan. Tapi kenyataannya... dia mulai mengabaikan aku.”
Melia berhenti sejenak, berusaha menahan air mata yang mulai jatuh.
“Aku sakit, Gabriel. Aku terbaring di kamar dengan demam tinggi, tapi dia tidak datang menjengukku. Dia bilang sibuk. Tapi kemudian aku tahu, dia pergi menemani Keyla yang katanya ‘kesepian.’”
Gabriel mengernyit, matanya memancarkan kemarahan yang ia tahan. “Dia meninggalkan kamu begitu saja?”
Melia mengangguk pelan. “Aku mencoba bicara, Gabriel. Aku bilang padanya bahwa aku merasa diabaikan. Tapi dia malah menyalahkanku. Dia bilang aku mandiri, aku punya semuanya, sedangkan Keyla tidak. Dia bilang aku egois karena tidak bisa memahami keadaan Keyla.”
Suara Melia semakin serak, dan beberapa air mata jatuh di pipinya. Gabriel menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya.
“Dan puncaknya,” lanjut Melia dengan suara parau, “di hari ulang tahunku. Dia berjanji akan menemaniku, tapi dia malah merayakan ulang tahun Keyla.”
Melia tersenyum pahit sambil menyeka air matanya. “Hadiah yang ia berikan pada Keyla adalah sesuatu yang pernah aku impikan. Aku pernah bilang padanya tentang itu, dan dia bilang akan memberikannya suatu hari nanti. Tapi dia malah memberikannya pada Keyla...”
Gabriel mengepalkan tangannya di sisi kursi, matanya tajam dan penuh kemarahan. “Arvin benar-benar tidak tahu apa yang ia miliki.”
Melia tertawa kecil, getir. “Aku bodoh, kan? Aku tetap bertahan meski tahu aku sudah tidak dianggap. Tapi malam itu, aku sadar satu hal: aku harus berhenti memohon untuk dihargai.”
Gabriel mengambil napas panjang dan menatap Melia dengan lembut. “Mel, kamu nggak bodoh. Kamu hanya terlalu mencintai orang yang salah.”
Melia menatap Gabriel lama. Kata-katanya sederhana, tapi begitu menenangkan.
“Kamu berhak dicintai, dihargai, dan diperlakukan dengan baik. Arvin tidak melihat nilai kamu, tapi itu bukan berarti kamu tidak berharga.”
Air mata Melia kembali jatuh, tapi kali ini bukan karena sakit, melainkan kelegaan. Selama ini, ia memendam semua perasaannya sendirian. Berbicara dengan Gabriel membuatnya merasa lebih ringan.
“Terima kasih, Gabriel,” bisik Melia pelan.
Gabriel tersenyum hangat. “Kamu nggak sendirian, Mel. Aku ada di sini, dan keluargamu ada di sini. Kamu hanya perlu waktu untuk menyembuhkan semua ini. Jangan terburu-buru.”
Melia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Dalam diri Gabriel, ia melihat seseorang yang benar-benar peduli padanya, tanpa syarat.
Malam itu, Melia berdiri di balkon kamarnya, memandangi langit malam yang bertabur bintang. Hatinya masih terasa berat, tapi perlahan, ada ruang kosong yang mulai terisi dengan kedamaian.
Suara ketukan pintu membuatnya menoleh. Gabriel berdiri di ambang pintu dengan senyum kecil.
“Kamu sibuk menikmati bintang-bintang?” tanyanya sambil mendekat.
Melia tersenyum samar. “Kadang mereka lebih mudah diajak bicara.”
Gabriel tertawa kecil, lalu berdiri di sebelah Melia. “Aku senang kamu mau berbicara tentang semuanya tadi. Kamu sudah menyimpan semua itu terlalu lama.”
“Rasanya lega, Gabriel,” jawab Melia jujur. “Selama ini aku takut terlihat lemah. Aku tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku terluka.”
“Melia,” kata Gabriel lembut, “menunjukkan luka bukan tanda kelemahan. Justru, dengan kamu mengakui bahwa kamu terluka, kamu jadi lebih kuat. Karena itu berarti kamu berani menghadapi kenyataan.”
Melia menatap Gabriel dengan mata yang berbinar samar. “Kamu selalu punya kata-kata yang tepat, ya?”
Gabriel tertawa kecil. “Aku cuma bilang apa yang aku pikirkan. Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira, Mel. Kamu hanya perlu waktu untuk menyadarinya.”
Melia tersenyum. Di tengah malam yang sunyi, kata-kata Gabriel terasa seperti selimut hangat yang menenangkan hatinya.
“Aku akan mencoba, Gabriel. Mencoba untuk mulai lagi,” ujar Melia dengan suara mantap.
Gabriel menoleh dan tersenyum bangga. “Itu yang aku suka dari kamu, Mel. Kamu tidak pernah benar-benar menyerah.”
Mereka berdua berdiri di sana, memandangi bintang-bintang yang bersinar terang. Di hati Melia, ada secercah harapan yang mulai tumbuh—harapan bahwa ia bisa sembuh, bahwa ia bisa bahagia lagi.
Dan di sisi lain, Gabriel berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan selalu ada untuk Melia, menemani setiap langkahnya menuju kebahagiaan yang baru.
Melia mulai berani membuka luka terdalamnya kepada Gabriel. Dengan penuh pengertian, Gabriel menjadi sandaran yang membuat Melia merasa tidak sendirian. Di tengah masa sulitnya, Melia akhirnya menyadari bahwa ada orang-orang yang sungguh peduli padanya, dan perlahan, hatinya mulai terbuka untuk menerima dukungan itu.